Jl. KS Tubun, Gang Srinayan No. 3 Kel. Mojokampung Kota Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Serpihan Agresi Militer Belanda II di Tuban-Bojonegoro (6)

Pasukan Elit Tuban yang Paling Dicari Belanda

blokbojonegoro.com | Tuesday, 08 August 2017 12:00

Pasukan Elit Tuban yang Paling Dicari Belanda

Reporter: Edy Purnomo

blokBojonegoro.com –
Tragedi Kepet dan beberapa pertempuran yang ada di desa-desa di sekitar Semanding, Grabagan, dan juga Jenu, bisa jadi masih melekat di ingatan masyarakat. Tempat itu merupakan titik-titik terjadi pertempuran antara pasukan gerilya dengan pasukan Belanda.

Pasukan gerilya di era Agresi Militer Belanda II jumlahnya cukup banyak. Berasal dari berbagai latar belakang. Tidak hanya dari militer, tapi juga dari laskar-laskar perjuangan yang dibentuk masyarakat.

[Baca juga: Caluk Pejuang di Pos Belanda Kepet ]

Catatan Dewan Harian Cabang 45 (DHC 45), Peristiwa Perjuangan dalam Agresi II di Kabupaten Tuban, Pembudayaan Nilai Kejuangan (2005), di Resimen XXX Brigade Rongolawe pimpinan Letnan Kolonel Soedirman (bukan Panglima Besar Soedirman) ada beberapa pasukan yang dibentuk dan menyebar di kota Tuban, Bojonegoro, maupun Lamongan.

Selain Komandan ODM, DOU, dan SDO, juga ada Kompi Yon Abdullah, kompi Gabungan, pasukan Mujahidin, pasukan Djokowono, dan juga pasukan Combat. Yang terakhir adalah kelompok pasukan yang paling diburu serdadu Belanda.

Pasukan Combat, boleh dibilang salah satu pasukan elit yang dipunya militer Indonesia saat itu di Tuban. Pimpinannya adalah Serma Moestadjab, yang ikut melakukan penelusuran sejarah Agresi II di Tuban untuk DHC 45 bersama H.A Rakim Hadiwijoto (ketua DHC 45), Yon Mudijono (Sekretaris DHC 45), Badroen (Exponen angkatan 45/anggota pasukan Combat), dan Salekan (pengurus DHC 45).

Pasukan Combat meladeni pertempuran baik gerilya atau pertempuran terbuka beberapa kali. Pertama kalinya di era Agresi II mendapat kepercayaan sebagai pengawal kepemerintahan setelah serah terima dari sipil ke militer.

“Setelah pemerintahan dipegang militer maka kedudukan pemerintah ditetapkan di Tlogonongko, Semanding. Untuk memperkuat pertahanan didatangkan satu pasukan dibawah pimpinan Sersan Mayor Moestadjab.” Catatan Dewan Harian Cabang 45 (DHC 45), Peristiwa Perjuangan dalam Agresi II di Kabupaten Tuban, Pembudayaan Nilai Kejuangan, 2005:12)

Pasukan ini bersama dengan pengawal kepemerintahan lain melakukan pengawalan keras di tanggal 10  Januari 1949, ketika Belanda melakukan serangan fajar untuk melumat pusat pemerintahan. Desing peluru dari darat dan udara (ulasan buku Brigade Ronggolawe) tidak membuat nyali pasukan surut.

Setelah 1,5 jam menghadapi gempuran, para serdadu Belanda itu berhasil dipukul mundur dari medan laga. Meski senjata yang dipunyai kalah canggih, tidak ada korban jiwa dari pasukan Combat dan pasukan pengawal kepemerintahan, tetapi penduduk setempat justru menemukan dua orang Belanda tewas tertembus peluru.

Hari itu juga pusat kepemerintahan di pindah ke wilayah Montong demi keamanan. Tetapi pasukan Combat tetap bertahan di lokasi untuk mengecoh perhatian Belanda. Siasat ini cukup jitu, karena pasukan Belanda kembali ke tempat itu dan mengira pusat kepemerintahan masih berada di lokasi yang sama.

Pasukan ini berpindah-pindah. Biasanya lebih banyak melakukan aksi-aksi penyerangan Belanda di kawasan Grabagan, Semanding, dan Jenu. Wilayah Semanding yang berdekatan dengan Tuban menjadi salah satu lalu lintas para gerilyawan. Karena mempunyai kemampuan menampung persediaan makanan yang banyak, sawah hijau cukup luas dan juga tanam-tanaman palawija yang bisa dikonsumsi.

Gerak pasukan ini seolah tidak bisa ditebak. Sering melakukan pertempuran terbuka untuk mengganggu iring-iringan pasukan Belanda, juga melakukan taktik-taktik gerilya yang membawa kerugian cukup besar di pihak lawan.

Lambat laun pasukan Belanda merasa gerah dan ingin memusnahkan pasukan ini. Terlebih setelah mereka menyerang pos Belanda di Kepet, Desa Tunah, Kecamatan Semanding. Setelah melakukan pengintaian dibantu masyarakat, pasukan ini menyamar sebagai kuli dan mempora-porandakan pos Belanda di Kepet pada 20 April 1949. Pasukan Belanda tidak bisa berbuat banyak meskipun lawan mereka hanya bermodalkan caluk, senjata tajam tradisional yang ada di Tuban.

Aksi mereka membantai dan merampas semua senjata di Pos Kepet membuat militer Belanda berang. Sejak itulah mereka menjadi pasukan yang paling diburu untuk dimusnahkan. Setelah melakukan pembalasan dengan menembak perangkat desa di Kepet, Belanda langsung melakukan pengejaran dengan memuntahkan peluru mortir di tempat-tempat yang diduga menjadi kantong-kantong gerilya.

Beberapa upaya penyergapan-penyergapan selalu gagal dan membuat membuat lawan frustasi. Bukannya berhasil ditangkap, pasukan ini justru terus bermain-main dengan melakukan serangan demi serangan balasan.

Dua bulan tragedi Kepet berlalu, tapi tidak ada satupun pasukan Combat yang tertangkap Belanda. Pergerakan mereka terus menerus berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, dari desa satu ke desa yang lain demi menemukan “mangsa” baru.

“Suatu malam, sekitar 14 Juni 1949, pasukan Combat bersama Letda Suharjo, kordinator KODM-KODM kawedanan Tuban masuk ke wilayah Jenu. Setelah bertemu dengan komandan ODM Jenu Letmuda Moh. Mukri, maka pasukan diperintah ke arah barat sejauh 2 kilometer untuk beristirahat.” (Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985:354-356)

Di sini, pasukan masuk ke wilayah hutan jati peteng dengan berbagai pertimbangan. Selain kondisi pohon yang lebat, juga ada  beberapa ketiggian yang bisa dijadikan tempat pertahanan. Hanya saja mereka masuk ke hutan sudah terlalu gelap sehingga posisi pasukan kurang bisa disesuaikan dengan kondisi medan.

Belanda yang sudah memasang banyak mata-mata mengetahui keberadaan pasukan ini. Merekapun menyiapkan peralatan lengkap dan menyelinap masuk hutan mendekati tempat pasukan berisitirahat.

Pagi buta, pasukan Belanda menghujani peluru tempat pasukan beristirahat yang berada di barat Desa Bogang, Kecamatan Jenu. Pasukan Combat melakukan perlawanan sejadi-jadinya. Posisinya kurang menguntungkan karena wilayah itu sudah dikepung Belanda.

Akhir pertempuran, empat pejuang bernama Kunoto, Suwandi, Jayusman, dan Kamin gugur. Pistol yang mereka dapat dari Pos Belanda Kepet dirampas. Belanda juga harus kehilangan dua tentara yang mayatnya dibungkus kantong besar berwarna hijau dan dipikul penduduk. Bersambung...

Sumber:
1.  Catatan Dewan Harian Cabang 45 (DHC 45), Peristiwa Perjuangan dalam Agresi II di Kabupaten Tuban, Pembudayaan Nilai Kejuangan (2005
2. Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe, Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, 1985.
Keterangan foto:

Pasukan Belanda menghindari rintangan jalan yang dibuat gerilyawan. Dokumentasi foto milik Leen Camps - Van Der Zander, veteran Belanda yang ikut misi operasi 1948.
 

Tag : agresi, militer, belanda



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini