Jl. KS Tubun, Gang Srinayan No. 3 Kel. Mojokampung Kota Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

PDI-P dan Pembajakan Nasionalisme

blokbojonegoro.com | Thursday, 10 January 2019 12:00

PDI-P dan Pembajakan Nasionalisme

Oleh: Ichwan Arifin*

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan genap berusia 46 tahun pada 10 Januari 2019, jika dihitung dari fusi Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Murba, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katholik. Namun baru 1 Februari 1999, kata Perjuangan disematkan dalam nama partai dan mengubah nama PDI menjadi PDI-P. Sekaligus membedakan eksistensi 2 partai politik buah konflik politik pada masa itu, yaitu; PDI pimpinan Soerjadi dan kemudian Budi Harjono yang didukung penguasa Orba dengan PDI yang dipimpin Megawati Soekarnoputri.

PDI-P menjadi partai bonsai dalam sejaran pemilu masa Orba. Namun sejak era reformasi, selalu masuk dalam partai papan atas. Bahkan menjadi pemenang pada pemilu 1999 dan 2014, peringkat 2 dan 3 pada pemilu 2004 dan 2009. Serta berhasil menempatkan kedua kadernya sebagai presiden, yaitu Megawati pada 2001-2004 dan Joko Widodo 2014 sampai sekarang.

Pasang surut perjalanan politik PDI-P selama 46 tahun selayaknya disikapi dengan refleksi politik dan kajian ideologi kebangsaan, khususnya dikaitkan dengan perubahan zaman dan tantangan kekinian. Antara lain; Pertama, perubahan dunia saat ini, yaitu revolusi industri 4.0 sebagai penanda memasuki zaman baru sekaligus datangnya era kapitalisme baru. Berbeda dengan kapitalisme lama, karakter kapitalisme baru mendorong efisiensi, transparansi sekaligus memangkas mata rantai panjang sistem perdagangan. Konsekuensinya, kelompok “middle man” yang selama ini mengambil keuntungan sebagai “calo” atau pemburu rente, tersingkir dari peran percaloan tersebut. Mereka kaya karena mengambi keuntungan dari inefisiensi, praktik suap, pengaturan regulasi, penghilangan kompetisi usaha, dan sebagainya. Perkembangan teknologi informasi melalui revolusi digital menghasilkan efisiensi ekonomi serta transparansi. “Virtual market place” seperti alibaba, ebay, amazon, dan sejenisnya membuat produsen dapat berhubungan langsung dengan konsumen sekaligus memangkas biaya yang selama ini dinikmati oleh “middle man”. Peran pemerintah dalam merespon perubahan tersebut secara tidak langsung akan menggambarkan sikap politik PDI-P.

Kedua, demokrasi melahirkan situasi paradoksal. Disatu sisi, demokratisasi membawa perubahan politik dari sistem politik otoriter ke arah tatanan yang lebih demokratis. Namun disisi lain juga memuat bidang gelap, yaitu demokrasi liberal yang sarat kepentingan elite serta terperangkap pada demokrasi elektoral. Reformasi berhasil memecahkan kekuasaan satu polar menjadi multi-polar, namun sekaligus juga polarisasi sumberdaya politik, khususnya ekonomi dan kekuatan massa. Hasilnya adalah rejim dapat berganti, namun siapapun yang berkuasa tetap dalam kepungan oligarki. Partai politik tak luput pula dari penyakit oligarki akut. Akibatnya pemimpin politik yang lahir dari proses politik tersebut berpotensi besar menjadi bagian dari oligarki.

Ketiga, politik identitas yang semakin menguat dan berpotensi meretakkan sendi-sendi kebangsaan. Belakangan ini, narasi politik yang dibalut agama semakin mengemuka dan mengisi kegaduhan panggung politik Indonesia. Menyemburatkan rasa kekhawatiran karena dibalik kemasan tersebut ada indikasi kepentingan yang lebih pragmatis.

Saat ini, posisi para pemburu rente mulai terdesak dan sumber-sumber kekayaannya juga terancam arus perubahan dunia. Situasi itu membuat mereka mulai melakukan serangan balik. Dalam konteks itulah, mereka memerlukan jargon yang mampu mengglorifikasi sentimen kebangsaan sebagai narasi besar yang bersifat ideologis. Namun dibalik narasi ideologis tersebut tersembunyi kepentingan yang berlawanan dengan substansi ideologi tersebut. Tidak mengherankan jika kemudian narasi yang muncul sangat banal, misalnya; jargon-jargon seperti “anti asing, anti aseng, neoliberal” dan sebagainya.

Situasi tersebut tak ubahnya sebuah pembajakan terhadap ideologi nasionalisme. Pada awalnya, nasionalisme merupakan ideologi perlawanan terhadap kolonialisme abad 21, tereduksi menjadi ideologi palsu para pelaku ekonomi rente nasional. Pembajakan tersebut telah membelokkan nasionalisme Indonesia yang berwatak sosialis (sosio-nasionalisme) menjadi nasionalisme borjuis. Persoalannya, tidak semua elite politik, baik sedang berkuasa maupun oposisi, menyadari upaya pembajakan tersebut sekaligus memahami bahwa zaman sedang bergerak. Mereka masih sibuk memikirkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Dalam konteks itulah, PDI-P memiliki peran strategis serta tanggungjawab politik dan panggilan ideologi untuk merespon perubahan tersebut. Apalagi sebagai partai pemenang pemilu dan memiliki kader sebagai Presiden Republik Indonesia, PDI-P memiliki ruang dan infrastruktur politik yang memadai untuk memimpin gerakan politik merespon perubahan global dengan progam politik yang dapat menguatkan daya “survival”rakyat.  Karena itu, PDI-P juga tidak perlu larut dan terpancing sisi romantisme politik dalam menyikapi pembajakan nasionalisme dengan mengikuti “tarian politik” dalam irama gendang yang ditabuh kaum “middle man”.

Kaderisasi dan rekrutmen politik merupakan hal fundamental dalam upaya melahirkan kader berkualitas, berkomitmen dan loyal pada ideologi, serta mereduksi lahirnya politisi busuk akan merusak integritas PDI-P.  Sekolah politik yang digagas oleh DPP PDI-P perlu untuk dilaksanakan secara kontinyu, tidak hanya ditujukan pada kader yang sedang atau akan mengisi jabatan politik, namun untuk keseluruhan kader partai.

Dari sisi ideologi, PDI-P perlu menerjemahkan kembali nasionalisme agar dapat sejalan dengan realitas kekinian. Ideologi tersebut tidak lagi hadir sebagai jawaban, namun sekaligus juga menjadi bagian dari persoalan. Apalagi bagi generasi kekinian, memahami nasionalisme terasa absurd sehingga dibutuhkan suatu ruang dialog dan contoh nyata dari penyelenggara kekuasaan negara serta sikap politik elite dan partai politik.

Merawat nasionalisme juga tidak cukup dengan hanya menyandarkan kenangan kolektif masa lalu, termasuk romantisme tentang Soekarnoisme. Desoekarnoisasi harus dilawan dengan operasionalisasi gagasan besar Bung Karno tentang nasionalisme dan marhaenisme daripada sekadar glorifikasi. Rakyat memerlukan kebijakan politik nyata yang memberikan rasa keadilan dan anti diskriminasi dalam bidang apapun, kenyamanan dan kesejahteraan hidup dan sebagainya. Semua itu akan sangat membantu untuk menjalani kembali riwayat sebagai satu bangsa.

Eksistensi dan gerak politik PDI-P tidak dapat dilepaskan dari arus demokratisasi dan reformasi politik yang berhasil menumbangkan rejim Orba. Karena itu, PDI-P memiliki tanggungjawab sejarah menjaga perjalanan bangsa tetap dalam garis dan cita-cita reformasi. Menjaga marwahnya sebagai partai nasionalis penyambung lidah “wong cilik”, sekaligus tidak melakukan pembusukan terhadap ideologi yang menjadi platform perjuangan, dan mengkhianati kaum marhaen yang diperjuangkannya.

Dirgahayu PDI Perjuangan!

 
*Ichwan Arifin, Aktif di Alumni GMNI  dan Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Dapat di sapa di ichwan.arifin.ia@gmail.com

Tag : pdip, parpol



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini