Esai Minggu
Mencintai Identitas dengan Sewajarnya
blokbojonegoro.com | Sunday, 08 January 2017 11:00
Oleh: Nanang Fahrudin
Anda termasuk pecinta kopi yang bagaimana? Apakah kopi kothok di cangkir? Atau cukup kopi saset di gelas? Lalu Anda menjadi anggota komunitas pecinta kopi dan sering bergaul dengan sesama pecinta kopi. Lalu sehari-hari Anda bekerja di pabrik teh celup dan masuk organisasi pekerja teh. Di organisasi itu, Anda menjadi ketua serikat pekerja dan sering menggelar kegiatan-kegiatan bareng.
Di rumah, Anda adalah seorang pengurus langgar RT, karena anda seorang muslim yang taat, oleh warga didapuk jadi imam sholat khusus untuk Maghrib, Isya dan Subuh. Karena Dhuhur dan Asar, Anda masih bekerja di pabrik teh. Sebagai muslim yang selalu belajar agama, Anda juga aktif di ormas Islam dan belajar kepada guru thoriqot. Sementara, di luar kerja pabrik, Anda juga membuka bisnis kecil-kecilan yakni jamur tiram. Dan Anda tergabung dalam organisasi UMKM.
Berapa identitas yang Anda sandang di diri Anda? Sangat banyak. Identitas itu boleh dinamakan identitas sosial. Anda muslim, itu adalah satu dari sekian banyak identitas yang Anda punyai. Anda di ormas Islam, itu identitas lainnya lagi. Anda bekerja di pabrik teh tapi juga aktif di komunitas pecinta kopi, itu juga identitas lain lainnya lagi. Begitu seterusnya.
Amartya Sen, meski meraih Nobel Ekonomi, tapi ia juga konsen di kajian sosial-politik dan filsafat. Salah satu buku kajiannya yang terkenal adalah tentang identitas. Judulnya Identity and Violence: The Illusion of Destiny dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas. (Marjin Kiri, 2007).
Dalam bukunya itulah dikuliti bagaimana identitas tak mungkin menjadi satu dan bersifat absolut. Identitas selalu beragam dan berkembang. Berkembang di sini bukan berubah dari satu identitas ke identitas lain, melainkan saling bekelindan. Pada konteks tertentu, identitas salah satu akan lebih dominan, sedang pada konteks lain identitas lainnya yang akan dominan. Tapi, multi identitas itu melekat pada diri seseorang.
Pada saat seseorang memaksakan diri dengan identitas tunggal, kata Sen, hal itu akan menjadi sumber kekisruhan yang bisa menjurus pada pengabaian peran nalar. “Identitas itu secara mutlak bersifat majemuk, dan bahwa taraf kepentingan suatu identitas tidak harus meniadakan kepentingan identitas lainnya”. (Hal: 27). Maka, identitas tunggal adalah hanya ilusi yang, kata Sen, bisa mengerikan.
Konflik-konflik yang terjadi dimanapun di dunia ini bisa dikaitkan dengan teropong identitas ini. Adolf Hitler yang menebarkan teror yang mengerikan bisa diliat dari kacamata identitas ras yang tunggal. Konflik-konflik bernuansa SARA juga bisa dijelaskan dengan ilusi identitas yang tunggal. Teoris yang mengebom sana-sini adalah sebuah kisah tentang pemutlakan identitas yang tunggal.
Pada skala kecil, usaha pemutlakan identitas bisa kita lihat dalam keseharian kita. Terutama di media sosial. Banyak orang yang berusaha memutlakkan identitas yang menutup diri pada komunikasi yang sehat. Identitas diri dan kelompok yang coba dimutlakkan akan mengabaikan identitas-identitas yang lain. Sehingga yang terjadi adalah saling membenci, saling memaki, saling menyalahkan, dan sebagainya. Tanpa kita disadari, kita sedang mengunggulkan identitas dengan cara membabi buta.
Cara melihat identitas yang sempit itulah yang banyak menjangkiti diri kita. Ujung-ujungnya, identitas lain (the other) akan dipandang sebagai sesuatu yang bukan “termasuk kita”. Sikap selanjutnya adalah kegemaran memonopoli tafsir kebenaran, karena identitas lain dipandangnya berada di wilayah “tidak benar” yang mengancam identitas yang dipunyai. Ketakutan akan hilangnya identitas diri inilah yang bisa memicu kekerasan dalam bentuknya yang beragam.
Memang, akan selalu ada identitas yang menonjol dalam diri seseorang. Tapi, kembali pada cara panndang Amartya Sen tadi, bahwa memaksakan identitas yang tunggal adalah sebuah ilusi. Ya, ilusi yang bisa berwujud sangat mengerikan.
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini