Serpihan Agresi Militer Belanda II di Tuban-Bojonegoro (24)
Prambonwetan Melawan
blokbojonegoro.com | Tuesday, 29 August 2017 12:00
Sebagai desa yang menjadi kantong gerilya, rakyat Prabonwetan dan sekitarnya cukup akrab dengan desing peluru. Selasa pagi, 23 Juli 1949, terjadi pertempuran yang sangat merugikan pasukan Belanda. Pertempuran yang membuat Belanda kalap dan menghujani desa ini dengan peluru.
Reporter: Edy Purnomo
blokBojonegoro.com - Kepala Desa Prambonwetan, Suratni, gugur ketika memimpin penghadangan pasukan Belanda di wilayah utara Rengel pada 17 Juli 1949. Selama Agresi Militer Belanda ke II di Tuban, Prambonwetan merupakan daerah penting yang selalu ramai lalu lintas pasukan gerilya.
Di desa ini, salah satu regu andalan militer Belanda, yakni pasukan yang dipimpin Teeken berhasil dilumpuhkan. Beberapa prajurit tewas di tangan rakyat, dan sisanya berhasil ditawan. Aksi yang membuat Belanda murka dan melancarkan aksi balas dendam.
Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe:1985, mengupas bagaimana awalnya pasukan Belanda meremehkan sisi utara Bengawan Solo. Mereka menganggap pasukan di utara Bengawan yang masuk wilayah Tuban hanya sedikit dan takut dengan keberadaan Belanda yang mempunyai senjata modern.
Alasan di atas membuat pasukan Belanda terlalu berani meninggalkan pos mereka di Rengel untuk menyusuri desa-desa dengan jarak 10 sampai 15 kilometer. Mereka terkadang melakukan patroli hanya berkendara jeep, karena merasa tidak akan ada perlawanan yang berarti.
Baca juga [Pertempuran Penghabisan Letda Soetjipto]
22 Juli 1949, Lettu Teko dari kedudukannya di Bojonegoro bergeser ke utara Bengawan memasuki wilayah Tuban. Sebelumnya, dia telah membagi tugas dengan menempatkan regu-regu pasukan di kantong-kantong gerilya. Desa Prambonwetan dipergunakan militer Indonesia menanam regu dan petugas-petugas untuk mengintai dan menyerang Belanda ketika diperlukan.
Prambonwetan membawa dampak besar bagi perjuangan militer di Tuban. Itu karena Kepala Desa Suratni, sering memimpin sendiri perlawanan-perlawanan dengan bantuan dari pagar desa. Masih segar diingatan rakyatnya, ketika Suratni menghela nafas terakhir ketika sedang berjuang menghadang pasukan Belanda bersenjata lengkap. Granat tangan yang dia siapkan untuk melempar Belanda terlepas sehingga mengenai tubuhnya.
“(Prambonwetan) satu-satunya desa di Karasidenan Bojonegoro yang menerima penghargaan bintang gerilya kepada kepala desa pada tahun 1950,” catatan kaki Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe:1985:374.
Sebulan setelah gugurnya Kepala Desa Prambonwetan, pagar Desa Banjararum, Rengel, mengabarkan adanya pasukan Belanda yang berupaya masuk ke Desa Prambonwetan. Masuknya patroli Belanda ke desa ini terjadi pada hari Selasa, 23 Juli 1949, pukul 06.00 pagi.
Anggota TNI, Letmuda Noorcahyo yang ada di desa ini langsung bergegas menyusun pertahanan. Karena waktu yang sangat mepet, dia menjadikan semak-semak, parit, pohon, dan juga bangunan-bangunan untuk dijadikan pertahanan paralel.
“Pemuda-pemuda desa, anggota pasukan Safii dan Sutadi yang berada di desa tersebut ikut masuk stelling, karena patroli begitu cepat dan mendadak tidak ada kesempatan bagi pasukan untuk memilih medan yang lebih baik,” Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe:1985.
Selain pemuda, semua penduduk diminta keluar rumah dengan membawa senjata yang bisa dipergunakan. Mereka bersiap dan bersembunyi di tempat-tempat yang ditentukan. Sepertinya, gugurnya kepala desa sebulan sebelumnya menjadi salah satu pelecut semangat perlawanan rakyat.
Tidak butuh waktu lama, Prambonwetan seperti desa mati. Sepi menyambut kedatangan 12 orang Belanda yang sedang berpatroli.
“Salvo...” teriak Noorcahyo, yang memimpin baris pertahanan pejuang dan pemuda.
12 Serdadu Belanda dari pasukan yang dipimpin langsung komandan Teeken itu tidak menyangka tempat mereka berjalan menjadi intaian pasukan pribumi. Mereka tidak bisa langsung membalas tembakan, tapi meloncat dan memasuki parit dan menjadikan jalan sebagai tanggul pertahanan.
Pertempuran tidak terelakkan. Selain suara tembakan yang saling berbalas, suara kentongan dan teriakan rakyat di belakang pertahanan pasukan juga turut bergema. Menambah semangat tempur para pasukan.
Beberapa waku tembakan kedua kubu mengendor karena masing-masing harus berhemat peluru. Karena sudah menguasai situasi, sebagian regu pasukan Indonesia memblokade rute utara desa, yang bisa dipergunakan pasukan lawan untuk melarikan diri.
Di sela saling menunggu dengan sedikit berbalas tembakan, rupanya barisan rakyat yang berada di tempat pertempuran sudah tidak sabar. Mereka nekat menyerbu pertahanan lawan bersenjatakan bambu runcing, tombak, dan senjata tajam yang dimiliki.
Pasukan pimpinan Noorcahyo tidak bisa mengendalikan kemarahan rakyat yang terus menerjang barisan lawan dan berhasil membunuh beberapa serdadu Belanda. Sebagian pasukan lari ke arah utara dengan membuang senjata menghindari kejaran bambu runcing. Sisa serdadu itu berhasil dibekuk barisan gerilya yang dipimpin Sanyoto yang memang sudah memperkirakan arah lari mereka ke utara.
Empat orang serdadu yang berhasil dibekuk Sanyoto dan anak buahnya termasuk mujur. Karena mereka tidak sampai jatuh di tangan rakyat yang mengejarnya. Pasukan militer Indonesia meminta rakyat tidak menyentuh mereka karena sudah tidak bersenjata dan tidak berdaya.
Hasil pertempuran itu, empat orang serdadu berhasil ditawan dan delapan serdadu sisanya meregang nyawa.
Para prajurit sudah memperkirakan akan ada aksi balasan. Mereka berusaha menyusun pertahanan dan mempersiapkan jalur mundur. Penduduk desa diminta secepatnya untuk mengungsi di tempat aman atau ke selatan bengawan solo.
Hiruk pikuk dan suara tembakan di Prambonwetan sebenarnya terdengar di Pos Belanda di Rengel. Hanya saja pasukan di pos itu tidak berani bergerak menyongsongnya karena komandan mereka, Letnan Teeken, sendiri yang memimpin patroli itu. Mereka hanya berani menunggu di titik penjemputan tanpa berani melakukan tindakan.
Karena kunjung tidak ada kabar, Belanda mengirim bantuan ke Pos Rengel untuk melakukan operasi pencarian. Sore hari, 23 Juli 1949, Desa Prambonwetan dibombarbdir pasukan Belanda. Rumah-rumah penduduk dan tempat persembunyian gerilyawan dihujani peluru mortir.
Pasukan Belanda semakin kalap, setelah merasa aman di pagi harinya, 24 Juli 1949, mereka masuk lagi ke desa. Penduduk yang tidak mengungsi dan dicurigai Belanda mengalami nasib tragis dengan ditembak, dan rumah-rumah yang dicurigai menampung pasukan gerilya dihanguskan.
Peristiwa di Prambontergayang menyita perhatian publik Belanda, bahkan termuat juga di surat kabar negara kincir angin itu. Di Prambonwetan sendiri, peristiwa itu diabadikan dengan keberadaan monumen palagan.
Tag : belanda di bojonegoro
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini