Jl. Desa Sambiroto, Kec. Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Blok Buku

Diary Hitam Putih

blokbojonegoro.com | Saturday, 15 September 2018 06:00

Diary Hitam Putih

Peresensi : Akhmad Dwi Prastomo*

Restu RA lahir di Sumenep, 02-Juni-1982. Tinggal di Jl. Sumber Agung No. 30 RT/RW: 02/II SDN  Talang IV Serseran Talang Seronggi Sumenep Madura. Sampai sekarang masih nyantri di Pondok Pesantren Al-Amein Prenduan Sumenep Madura 69645, menyelesaikan program S1 di IDIA (institute Dirasat Islamiyah Al-Amien Prenduan )

Pernah mendapat undangan kehormatan untuk mengikuti pelatihan Apresda (Apresiasi Sastra Daerah) oleh Dirjen  Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia Tingkat SD dan SLTP pusat di Bogor pada 23-Oktobe-2005. Menjadi staf BANANSA (Bimbingan dan Pembinaan Bahasa) kepengurusan organisasi ISMITMI Al-Amein PRenduan Sumenep Madura ; staf redaktur majalah ZEAL, sebuah majalah Inggris yang ada di lingkungan pesantren ; Staf Redaktur Buletin Qiaz, hingga sekarang.

Aktivitas sekarang, membaca dan mengajak mereka yang punya kemauan keras, hobi, dan ingin mengembangkan diri di bidang tulis-menulis , seperti SSA ( Sanggar Sastra Al-Amein), menyelesaikan bebberapa novel yang masih dituliskan dalam buku kasykul,dan menjadi salah satu pengajar Bahasa Arab di pondok Pesantren Al-Amein Prenduan Sumenep.

 Seorang pemuda dengan latar belakang kehidupan yang hitam legam bak malam tanpa bulan ataupun bintang. Sebagian besar, bahkan seluruh kehidupannya ia habiskan sebagai seorang pecandu minuman keras yang sering ia sebut tuak komplit, yaitu arak muda dengan bahan dasar satu-satunya yang terbuat dari campuran air nira siwalan, la’ang, anggur, dan beras kencur. Riyan namanya. Kebiasaan buruk itu seakan menjadi teman akrabnya. Kedua orang tuanya berusaha semaksimal mungkin untuk bisa merubah tingkah laku buruknya, namun rasa takut dan cemas seringkali menghantui kedua orangtuanya, terutama sang Bapak. Kadang kata-kata mutiara yang sering diungkapakan oleh sang Bapak masih terngiang dipikirannya, tentang nilai kehidupan ataupun pedoman. Sang Bapak mencoba memperbaiki porak poranda kehidupannya dengan mengirimkannya ke pondok pesantren. Waktu itu sang Bapak mengkonsultasikan masalah yang tengah diderita Riyan kepada seorang Kiai. “Pak Kiai, Riyan adalah anak kami satu-satunya.” Itulah kata yang pertama kali diucapkan oleh sang Bapak di depan orang karismatik yang berpakaian serba putih. Sedikit demi sedikit, meluncurlah kisah kelamnya dari mulut Sang Bapak. Gemetar suaranya menyayat hati Riyan, pilu dan ngilu. Tak luput dari penuturannya pula, tentang Riyan yang suka mabuk-mabukan dengan ramuan la'ang di pedalaman Kangean.

 Hari pun berlanjut ketika dirinya telah menjadi bagian dari pondok pesantren yang terkenal sangat disiplin dan tegas tersebut. Awal mula ketika ia menginjakkan kaki di pesantren tersebut, ia hanya bisa diam terpaku menerima kehidupan pondok pesantren yang penuh aturan, jika dibandingkan dengan kebebasannya ketika berada dilingkungan rumah. Mu’allim, itulah sebutan bagi para guru ataupun pengurus dipondok tersebut. Beberapa mu’alim melakukan tugas rutinnya, yaitu membangunkan para santri untuk melaksanakan shalat tahajud, tak luput pula dengan Riyan. Namun gejolak hatinya seakan tak mau reda, merasakan hidup terkekang seperti burung dalam sangkar. Bahkan seorang Mu’allim pun sampai harus menghadapinya dengan rasa emosi dan sempat terjadi bersitegang diantara para Mu’allim dan Riyan, walaupun akhirnya dia tak juga beranjak dan tak mau menuruti perintah sang Mu’allim.

 Saat itu, sekejap badan ia tersentak merasakan deru gelombang jiwanya yang binal, serta rasa panas yang menghinggapi tubuhnya. Badannya pun ambruk digelaran tikar sembari menarik selimut untuk persembunyian tubuhnya. Rasa panas dan dingin tak henti-hentinya meneror tubuhnya. Dalam tidurnya ia mengigau dan meronta meminta “minuman”, hal itupun membuat para teman sekaligus Mu’allim yang saat itu berada di rayonnya merasa bingung, sampai salah satu dari Mu’allim menanyakan kepadanya tentang “minuman” itu, namun terus saja ia meracau meminta “minuman” itu.  

 Hari-hari dipondok berlanjut ketika rasa terkucil dan rasa dipandang sebelah mata mengusik jiwanya. Semua teman yang ada dirayonnya seakan takut dan tak menerima kehadirannya karena tingkah laku aneh dan buruk yang ia tampakkan, walaupun ia adalah seorang santri baru di ponpes tersebut. Rasa itulah yang semakin membuatnya keras dan seakan tak peduli pada semua orang yang berada di sekitarnya. Bahkan karena ulahnya yang tak mau menaati aturan itu pun sering mengundang kemarahan sang Ustadz, tak jarang pukulan hendak didaratkan dipipinya. Namun sekali lagi ia mencoba menggertak dan mengancam sang Ustadz. Dari sekian banyak teman yang membencinya, ada beberapa teman yang bisa mengerti keadaannya dan mau menerima kehadirannya. Adjie, adalah teman sekamar Riyan. Ketika Riyan tengah menghadapi teror candu minuman tuak itu, dengan sabar dan penuh perhatiannya Adjie mengantarnya kekamar dan menganjurkannya untuk beristirahat. Berbeda dengan teman lainnya yang selalu mengolok – olok dan menentang kehadirannya di pesantren tersebut.

 Berbagai masalah dihadapinya, salah satunya ketika ia mendapatkan tugas menjadi bulis ( petugas penjaga keamanan rayon), ketika para santri lain sedang melaksanakan tugas. Akan tetapi suatu kejadian ricuh terjadi dikamar empat, dimana ada salah satu penghuni yang kehilangan uang tiga puluh lima ribu rupiah. Sehingga tuduhan pun diarahkan kepada para bulis, yang terdiri dari Riyan dan dua orang lainnya. Namun, tak ada angin tak ada hujan Riyan tertuduh mencuri uang itu. Rasa tak terima, marah, dan kesal berkecambuk dihatinya. Walaupun dia mencoba menjelaskan tapi tak digubris oleh para Mu’allim. Karena masalah ini, ia pun akhirnya memutuskan kabur dari Ponpes. Di tengah malam yang sepi, tanpa sepengetahuan para santri lain ataupun Mu’allim, ia mengendap – endap dan mencoba keluar dari pondok yang hanya membuatnya terkurung tersebut, rasa bebas dan rasa amarah akan kejadian yang tengah melandanya seakan menguasai relung jiwanya, memakan semua kebaikan yang baru saja ia perbuat. Ia menunggu bus yang datang, setelah cukup lama penungguan itu, akhirnya bus yg ditunggunya datang dan langsung saja ia naik bus tersebut guna meninggalkan lingkungan yang memandangnya seperti pencuri itu. Setelah menempuh cukup jauh perjalanan, sampailah ia disebuah tempat yang tak pernah ia ketahui. Di tempat itu hanya ada sekelompok tukang ojek yang tengah asiknya bermain kartu remi ditengah sepinya malam. Ketika itu ia menanyakan jalan kepada mereka, namun hal buruk pun terjadi ketika mereka mencoba untuk merampas barang bawaannya. Namun datanglah seorang nenek tua yang mencoba untuk menolongnya. 

Akhirnya ia pun diajak oleh sang nenek tua itu untuk menginap di gubuknya untuk sementara waktu. Si nenek tua itu pun menceritakan jikalau tukang ojek tadi sebenarnya adalah para pencopet yang biasa menyamar menjadi tukang ojek untuk mencari mangsanya di malam hari. Dan ia pun menceritakan awal mula ia bisa sampai ditempat itu kepada nenek tua tersebut. Nenek tersebut sangatlah ramah dan baik hati. Esok harinya Riyan pun berpamitan kepada nenek itu untuk kembali ke pesantren lagi, karena ia menyesali apa yang telah ia perbuat meskipun rasa tak terima akan tuduhan itu masih membayanginya. Akhirnya ia pun memberanikan diri kembali ke ponpes.

 Sama seperti Arie, salah satu teman pertamanya yang baik terhadapnya serta rajin. Kini ia menemukan seorang sahabat lagi bernama Ridwan. Ridwan adalah seorang sahabat yang rendah hati dan rela membantu. Sudah beberapa minggu ia dibimbing di ponpes itu, sehingga memunculkan kesadarannya atas perbuatan buruk yang dahulu diperbuatnya. Ia bertaubat mengharapkan pengampunan Allah Swt, meskipun candu minuman keras itu masih selalu menggelayutinya. Sampai suatu ketika, Mu’allim Rowi tengah berbincang denganya dan mengungkapkan jikalau masa lalu dia sama seperti masa lalunya bahkan lebih buruk, dan tanpa ia sadari sebenarnya sampai saat ini pun Mu’allim Rowi masih mengkonsumsi minuman itu, dan bahkan mencoba memperdaya Riyan yang tengah dalam proses pendekatan diri pada Yang Maha Kuasa. 

Dengan tipu dayanya, Mu’allim Rowi mencoba untuk menggoda dan menjerumuskan Riyan kejalan hitam yang dahulu pernah ia lewati. Mu’allim Rowi menawarkan barang haram itu kepada Riyan, pertama ia hanya membuka tutup botolnya dan membujuknya agar Riyan mau meminumnya. Riyan pun sempat mengelak dan berlari menjauh darinya. Namun, kejadian suatu malam membuatnya terusik ketika teman – temanya tengah tertidur pulas. Ia mendengar suara samar – samar yang berasal dari suatu ruangan, dan setelah ia dengarkan ternyata itu adalah suara Mu’allim Rowi dan seorang temanya. Waktu itu ia mencoba memergoki Mu’allim Rowi dan temanya yang tengah mengonsumsi tuak tersebut, namun naasnya Riyan malah menjadi sasaran empuk mereka, dan mau tidak mau Riyan harus ternoda kembali oleh ganasnya candu minuman keras tersebut.

 Keesokan harinya, disaat kegiatan di pondok pesantren tengah berlangsung, Riyan dikagetkan oleh kedatangan sang Bapak. Sang Bapak datang untuk menjenguknya dan mengetahui kondisinya saat ini. Riyan menyambut dengan hangat kedatangan Bapaknya tersebut, dengan perilaku yang kini mulai membaik Riyan pun tak canggung lagi untuk berkomunikasi kembali dengan orang yang telah berjasa dalam hidupnya meskipun sudah sebulan lebih ia tak pernah bertatap muka dengan beliau. Namun, satu masalah yang kini mengusik hatinya. Akan dosa yang kemarin ia lakukan, ia merasa bersalah karena mudah terbujuk oleh rayuan setan yang ditebarkan melalui Mu’allim Rowi, untuk mengonsumsi minuman haram tersebut lagi. Ia tak ingin mengecewakan hati sang Bapak ataupun menodai kepercayaanya, dengan perasaan yang bercampur aduk ia mencoba menyembunyikan hal tersebut. Ketika itu sang Bapak pun memberitahu Riyan perihal teman -  temannya dahulu yang juga seorang pecandu tuak. Bapaknya mengabarkan bahwa mereka telah berhasil diringkus oleh polisi, dan banyak dari mereka yang mati sia” setelah menenggak minuman tersebut. Riyan pun sempat miris mendengar berita dari Bapaknya, namun ia pun juga bersyukur karena kini ia telah terselamatkan dari lingkungan hina tersebut.

 Setelah beberapa Bulan ia melewati masa – masa kritis perubahan moralnya di dalam pondok pesantren, banyak sekali perubahan pribadi yang ia rasakan. Dari yang sebelumnya buruk kini telah berangasur membaik, dari yang awalnya hitam legam kini sudah beranjak memutih. Itulah pribadi Riyan saat ini. Bahkan teman Riyan di kelas 3 Intensif E, Indra pun memuji perubahan sikap Riyan setelah tuga bulan lebih ia tinggal di lingkungan yang telah merawat, mendidik, dan membimbingnya untuk menemukan diri-Nya dan mendekatkan diri pada-Nya. Novel ini unik dibaca, dan serasa turut larut ikut dalam kisah dalam Ponpes, meskipun sejatinya kisahnya normatif sehingga pembaca bisa menebak akhir cerita.

 

Resensi novel 

Identitas buku

Judul : DIARY HITAM PUTIH

Penulis : Restu RA

Editor : Akhiriati Sundari

Cover : Imam Syahhirul

Jumlah halaman : vi +152 halaman, 11x17cm 

ISBN : 979-1283-07-9

ISBN 13 : 9789791283076

Penerbit : Matapena 

Tahun penerbit : 2007

*Mahasiswa STIKes ICsada, anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kampus Ungu

Tag : resensi, blok buku



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini