Jl. KS Tubun, Gang Srinayan No. 3 Kel. Mojokampung Kota Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Blok Cerpen

Menjadi 'Ya'

blokbojonegoro.com | Sunday, 11 November 2018 17:30

Menjadi 'Ya'

Oleh: Agus Salim*

Pagi masih basah, saat aku pergi ke ladangku yang kering. Hampir tujuh bulan ini, mendung tak mau singgah apalagi menitikkan air ke hamparan tanah desaku. Aku berjalan kurang lebih 20 menit, sampailah aku di pekarangan, namun belum sempat aku melihat tanaman apa pun, aku sudah dikagetkan seorang kakek yang tiba-tiba ceramah tanpa mengenalkan diri.

Seolah tiba-tiba petir menyambar diriku entah dari mana, seperti mendung dan hujan yang entah pergi kemana jauh dari desaku.

Kamu kurang ajar! Umpat kakek itu padaku, yang dilanjutkan dengan ceramahnya.

“Kau biarkan aku terlantar bertahun-tahun, tanpa makan, minum, kepanasan dan tanpa tempat tinggal. Kau harus tahu, tepat di sebelah pekaranganmu ini, dulu sebuah Desa bernama Babadan, yang luasnya 134 Ha. Ada 4780 orang penduduk hidup di sini, kita semua hidup damai sejahtera dengan tanah subur yang sekarang dilimbur sesap. Namun semua lenyap, sekarang masyarakat ikut-ikutan penguasa menyebut tanah ini, tanah GG (VrijlandDomein)*.

Keluarga kami sudah turun menurun dan beranak pinak dari zaman VOC, mendiami tanah ini. Sebab perseteruan elit-elit politik pada tahun 1965, kami warga satu desa menjadi salah satu kambing hitamnya. Entah dari mana asalnya Desa Babadan dapat imbasnya, rumah-rumah dibakar, ternak-ternak harta kami dirampas dengan tuduhan bahwa kami dianggap sebagai anggota partai yang dilarang di negeri ini. Padahal kami banyak yang tidak tahu apa-apa tentang partai itu, tahu-tahu ketika subuh masih lepuh, rumah-rumah kami ada logo partai yang menjadi alasan kita harus ditangkap dan dianiaya atas nama kestabilan keamanan. Sedangkan sebenarnya kami tak tahu siapa yang menggambar di dinding rumah kami, malam itu.”

 

Aku masih terdiam seperti diorama yang terjerat alunan music penghantar senja. Belum sempat aku bertanya, perihal semua kejadian dan apa hubungannya dengan diriku, muncul lagi seorang perempuan yang sebelumnya aku juga tak pernah bertemu sama sekali. Dia langsung memainkan lidahnya dengan lincah seperti balerina menarikan tarian angsa dan juga menudingku; bahwa aku yang harus tanggung jawab atas semua yang dia alami dan keluarganya. Sambil terisak dia terus bercerita.

“Ayah dan ibuku meninggal dibantai dan dibakar bersama rumah kami, semua harta kami dijarah dan aku diperkosa sekelompok kebiadaban, lalu dibuang di pinggir hutan dalam keadaan pingsan. Sekali lagi kau harus tahu tentang tanggung jawabmu sebelum kami semua marah” Ucap perempuan itu begitu lugas padaku.

 

Kebingunganku belum terjawab, dengan cerita seorang kakek tentang Desa Babadan dan seorang perempuan setengah baya tentang semua yang menimpa dirinya dan keluarganya, aku tertegun. Pikiranku melayang seolah memasuki perseteruan elit-elit politik tentang kekuasaan yang biasa mengorbankan rakyat jelata. Di tengah kebekuan mendengar kemarahan dan keluh kesah dua orang di depanku, tak tahu entah dari mana, seorang laki-laki dewasa dengan wajah teduh berkacamata, tiba-tiba menepuk pundakku dari belakang dan membuyarkan semua lamunanku. Sejenak aku gugup, lidahku kelu, wibawa dan ketenangannya menggambarkan bahwa dia orang yang bijaksana.

“Semua yang diceritakan kakek dan perempuan itu benar adanya.” Sambil tangannya menunjuk pada kakek dan perempuan yang datang lebih dahulu, lalu meneruskan kata-katanya. Aku gagap saat lelaki itu berucap.

“Semua penduduk Desa Babadan merasakan penindasan dan perlakuan yang tidak adil dari sekelompok elit yang berkuasa waktu itu. Termasuk saya, seluruh hak intelektual dan karya saya diberangus, dibakar, dan dilarang beredar. Waktu itu atas perintah presiden, Jaksa Agung melarang buku yang dianggap merugikan kepentingan elit tertentu melalui Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan RI no. 1381/1965 tentang Larangan Mempergunakan Buku-buku Pelajaran, Perpustakaan dan Kebudayaan. Beserta Lampiran berisi 11 daftar buku pelajaran yang dilarang pemakaiannya dan salah satunya adalah karya saya. Kerja sama informal antara jaksa agung dengan militer diformalkan pada Oktober 1989 dengan membentuk Clearing House Melalui SK No. Kep-114/ JA/ 10/ 1989. Dan sampai sekarang aturan pelarangan itu belum dicabut.

“Apa yang saya paparkan tadi semua tanggung jawabmu.” Tandas lelaki itu padaku.

 

Es masih tebal menyelimuti lidahku, beku. Bahkan tubuhku, tak bergerak sedikit pun. Hanya pikiranku melayang-layang, mencari apa yang sedang menimpaku pagi ini. Aku masih belum mengerti. Muncul lagi pemuda gondrong bertubuh kekar, penuh bekas luka. Dia langsung menyerangku dengan pukulan membabi buta. Sedangkan kakek, perempuan dan lelaki yang kuanggap bijak sana itu pun ikut menghajarku habis-habisan.

 

Siang itu, di ladangku aku dikeroyok orang yang tidak aku kenal sama sekali, darah muncrat dari mulut dan hidungku, mataku lebam, tanganku serasa tak bertulang, kakiku terasa lumpuh, mereka memukuliku seperti ingin membunuh babi ngepet yang suka mengambil harta mereka di malam buta. Mereka luapkan semua kemarahannya dengan pukulan-pukulan yang tidak mengenal titik koma. Aku tersungkur seperti sujud syukur. Hingga seorang warga bernama Pak Bagio memergoki kejadian itu, ia langsung teriak meminta tolong warga lainnya. Dengan sigap warga menolongku dan menangkap gerombolan orang-orang yang mengeroyokku. Mereka semua segera dibawa ke balai desa, begitu juga aku. Sesampainya di balai desa, Pak Harjo sebagai kepala desa bersama perangkat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan beberapa warga yang dianggap berkompeten ikut musyawarah dalam masalah yang terjadi padaku.

 

Mulai dari kakek, perempuan, lelaki setengah baya dan terakhir pemuda yang terakhir, kepala desa menanyakan apa permasalahan yang menjadikan peristiwa pengeroyokan terjadi;

Namun semua jawaban mereka sama, seperti apa yang mereka sampaikan padaku.

“Pokoknya semua tragedi kemanusian, penindasan, kesewenang-wenangan di Desa Babadan harus dituntaskan. Dan dia yang harus bertanggung jawab semuanya, sebab dia yang paling berpendidikan di desa ini.” Sambil tunjuk hidung kepadaku. Begitu penjelasan mereka.

 

Setelah kepala desa dan semua yang hadir dalam musyawarah itu mendengar satu persatu penjelasan mereka yang mengeroyokku, mereka tidak bisa mengambil keputusan. Akhirnya kepala desa langsung memerintahkah untuk membawa kami ke kantor Polisi. Beberapa warga memapahku, dengan lebam di sekujur tubuhku berdiri tegak saja aku tak mampu apa lagi berjalan. Di tengah kebingunganku dan ketidakberdayaanku, entah apa aku bisa berharap mendapat perlakuan yang adil terhadap apa yang menimpa pada diriku.

 

Dalam situasi seperti itu, aku muhasabah dan menanyakan pada diri sendiri. Apakah benar tuntutan mereka kepadaku sebagai seorang berpendidikan? Apakah benar ketika desaku mengalami kekeringan moral, berantakannya kebijaksanaan, haus akan keadilan, miskin kedamaian, kaya fitnah dan adu domba, sedangkan aku hanya terdiam? Batinku berontak.

 

Sesampai di kantor polisi satu per satu para pelaku diinterogasi di ruang yang berbeda. Aku masih tidak tahu, aku hanya bisa mendengar suara pukulan, jeritan dan teriakan kesakitan yang segera diikuti aroma amis darah dan bau kulit gosong seperti disengat setrum listrik yang menyebabkan seluruh isi perutku menggedor-gedor dari dalam sebab ingin keluar dari mulutku yang jontor. Meski begitu aku merasa sedikit lega karena polisi tahu tak ada salah padaku, walau seluruh tubuhku perih karena luka yang belum sempat aku obati.

 

Dengan menahan rasa sakit karena pukulan di seluruh tubuhku, Polisi membawaku masuk ruang interogasi. Waktu diriku dipapah untuk masuk ruangan, terbesit pesan temanku yang pengacara, dia pernah mengatakan kalau diinterogasi dalam kasus apa pun, jawaban harus tegas jelas dan tidak plinplan, sekali TIDAK tetap TIDAK, sekali YA tetap YA, kalimat itu selalu mengiang di telingaku. Aku berjalan menuju ruang interogasi. Sesampai di ruangan itu, aku melihat satu orang di kursi menghadap meja dan berhadap-hadapan dengan kursi yang disediakan untukku dan diapit dua orang yang kekar dengan dilengkapi senjata berpopor besar. Aku lihat Pak kepala desa Pak Harjo, Pak Bagio ada di ruangan ini juga. Lalu aku didudukkan di kursi itu.

 

Di ruangan itu tak ada suara sedikit pun. Semua orang hanya menatapku, entah tatapan apa itu. Setelah beberapa menit tak ada satu pertanyaan pun dilontarkan padaku, kebingungan itu semakin menjadi. Aku beranikan diri untuk bertanya.

“Pak, kapan dimulai Interogasinya?” tanyaku memburu.

Para petugas itu pun tak terucap sekecap jawab, tiga kali aku bertanya, hingga aku menggerutu.

“sudah?” sepatah kata terucap dari petugas yang di depanku yang dimaksud mungkin tanya, apakah aku sudah siap, pikirku. Segera aku menjawab

“Ya, aku sudah siap diinterogasi.” Jawabku tegas.

“Apakah cita-citamu jadi penulis?” Tanya petugas, sangat jelas dan spontan aku menjawab tegas.

“Ya.” jawabku singkat padat.

Ceprakkkk! popor senjata dari boddyguard kanan kiriku melayang di pelipis dan kepalaku, seketika luka yang belum kering akibat pengeroyokan menyemburkan lagi darah segar, begitu juga hidung dan mulutku.

“Apakah cita-citamu jadi penulis?” pertanyaan yang sama dari mulut petugas.

“Ya.” jawabku semakin tegas pula.

Ceprakkkk! popor melayang lagi di tubuhku hingga lebih tiga kali pertanyaan yang sama dan pukulan yang berbeda bobotnya.

 

Aku meringis kesakitan dan semakin kebingungan. Dalam kejadian ini, aku merasa benar tapi kenapa petugas yang menginterogasiku tidak menanyakan tentang sebab-sebab kejadian penganiayaan terhadapku, dan justru tanya cita-citaku. Aku terdiam sambil menahan bintang dan kunang-kunang dari pandanganku. Aku masih setengah sadar, samar-samar aku dengar petugas itu berkata.

“Kau harus tahu! Siapa gerombolan orang yang mengeroyokmu, mereka adalah data-data dan ide-idemu yang terlantar.”

Jika kau bersikukuh untuk jadi penulis, maka kau harus kami bunuh, sebelum tulisanmu akan mengubah menjadikan sejarah negeri ini, seketika menjadi fiksi.

Dengan kesadaranku yang hampir pingsan, aku menyatukan hati dan pikiran tanpa keraguan, bahwa di bawah ancaman dan tekanan bagaimanapun, aku akan tetap menulis, menulis dan menulis sebagai tanggung jawabku untuk menyampaikan kebenaran.

Kepada fiksi,

Aku menulis yang terbaca

dan aku membaca yang tak tertulis.

* Tanah GG (Vrijlands Domein) atau tanah negara bebas yaitu: tanah negara yang benar-benar bebas, artinya tanah tersebut belum ada atau belum pernah dilekati oleh suatu hak apa pun.

Salam Fiksi!!!

*Adalah pembelajar di Aksaraya-Society Education Centre (SEC). Menyeduh kopi di negeri copitalist, memahat kata di @pandawalaand

 

 

 

 

 

Tag : cerpen, blok



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini