Jl. KS Tubun, Gang Srinayan No. 3 Kel. Mojokampung Kota Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Computational Thinking dan Compassion, Solusi Digitalisasi Pendidikan

blokbojonegoro.com | Thursday, 20 August 2020 12:00

Computational Thinking dan Compassion, Solusi Digitalisasi Pendidikan

Oleh: Mardi Utomo*

blokBojonegoro.com - Kehidupan manusia yang selalu bergerak dinamis tentu akan melahirkan perubahan-perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. Seperti yang terjadi pada era milenial sekarang ini perubahan besar-besaran telah melanda umat manusia diberbagai belahan dunia. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia ini sering disebut dengan istilah revolusi. Seolah mengulang perubahan yang pernah terjadi di Eropa pada abad akhir XVIII dimana sejarah mencatat munculnya Revolusi Industri yang mengubah pola kehidupan manusia dalam bidang industri yang ditandai dengan penggunaan tenaga mesin dalam memproduksi atau menghasilkan barang. Namun pada saat ini revolusi yang terjadi cenderung menggiring pola kehidupan manusia kearah yang serba digital, dan publik mengenal fenomena ini dengan istilah Revolusi Industri 4.0.

Perkembangan Revolusi Industri 4.0 telah merambah berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Sebagai konsekuensi pelaksanaan Revolusi Industri 4.0, maka mau tidak mau berbagai sektor kehidupan masyarakat juga harus bersentuhan langsung dengan dunia digital serta penggunaan piranti digital yang serba modern, termasuk salah satunya adalah dunia pendidikan. Saat ini, dunia pendidikan Indonesia terus berbenah guna menyesuaikan dengan perkembangan Revolusi Industri 4.0. Digitalisasi sistem pendidikan di Indonesia terlihat jelas melalui penggunaan Buku Sekolah Elektronik (BSE), penerapan sistem e-learning, e-modul, e-Raport, penggunaan media pembelajaran yang berbasis digital, hingga banyaknya aplikasi bimbingan belajar yang bersifat daring (online) dengan memanfaatkan jaringan internet. Bahkan saat ini dalam bidang literasi pemerintah juga sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan dan mengajak generasi muda untuk gemar membaca (literasi) termasuk pengembangan literasi digital. Dalam hal ini tentunya menuntut generasi muda (baca:para siswa) untuk semakin sering bersentuhan dengan teknologi informasi utamanya adalah penggunaan komputer dan jaringan internet.

Ketika semua bidang kehidupan telah beralih pada hal yang bersifat digital, maka semuanya akan menjadi lebih mudah dan praktis. Akan tetapi kita semua sepakat bahwa dampak negatif dari penggunaan teknologi informasi utama internet juga tidak sedikit. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa berbagai kasus yang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi masih sering terjadi, mulai dari penyebaran berita bohong (hoax), ujaran kebencian, penipuan, perjudian online, pornografi, dan masih banyak lagi kejahatan atau kenakalan dikalangan para remaja yang diakibatkan perkembangan teknologi, dan bahkan tidak jarang dari beberapa kasus yang terjadi diberbagai daerah melibatkan pelaku yang masih berstatus pelajar. Dan, jika digitalisasi pendidikan benar-benar diterapkan di Indonesia, maka dunia pendidikan juga harus siap menghadapi segala tantangan dan konsekuensi dari perkembangan teknologi.

Menyadari akan hal ini, pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan dan kebudayaan berupaya untuk mencari solusi agar dampak negatif dari digitalisasi pendidikan dapat ditekan seminim mungkin. Baru-baru ini Menteri Pendidikan dan kebudayaan mengusung konsep pembaharuan dan penyempurnaan kurikulum pendidikan dengan menambahkan Computational Thinking dan Compassion. Mungkin belum banyak yang kenal dengan istilah-istilah tersebut. Computational thinking adalah merupakan aktivitas siswa (yang rencananya akan dimasukkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler) yang mengedukasi anak untuk memiliki kemampuan problem solving di era digital. Karena di era digital ini biasanya solusi banyak yang lahir berupa software dan aplikasi, maka dirasa penting bagi siswa untuk mengenal dan menguasai konsep computational thinking. Sedangkan Compassion bisa diartikan “ melakukan dengan hati nurani ”. Diharapkan ketika para siswa telah menguasi pengoperasian komputer dan berbagai platform teknologi, maka compassion inilah yang menjadi control dan penyeimbang agar setiap individu menguasi perkembangan teknologi tetapi tetap mengedepankan hati nurani dalam menjalankan ataupun mengoperasikan teknologi tertentu.

Sebuah konsep yang menarik, karena kalau semua sudah serba digital dan menggunakan komputer namun tanpa dilandasi dengan hati nurani, maka bukan tidak mungkin manusia ini akan kehilangan sisi-sisi sosialnya, menjadi sosok yang individualis, tidak memikirkan perasaan orang lain dan cenderung seperti robot, padahal pembeda antara manusia dan robot adalah terletak pada hati nurani. Sebuah pemikiran brillian yang kita patut kita acungi jempol dan kita tunggu realisasinya guna mempersiapkan generasi muda yang siap menghadapi Revolusi Industri 4.0 dan era digitalisasi pendidikan.

Namun di balik konsep pembaharuan dari menteri pendidikan tersebut ada satu hal yang juga perlu untuk dipikirkan yaitu masalah kontinuitas atau keberlanjutan dari semua program tersebut. Ada istilah yang mengatakan bahwa “membeli lebih mudah dari pada merawat”. Artinya membuat atau menciptakan suatu hal yang baru itu bagi banyak pihak dianggap lebih mudah akan tetapi bagaimana selanjutnya itu yang mungkin sampai saat ini jarang untuk difikirkan solusinya. Dalam hal ini bolehlah bapak Menteri mengusung konsep computational thinking dan compassion yang akan disisipkan dalam kurikulum pembelajaran. Artinya muatan dalam kurikulum tetap berjalan sebagaimana mestinya, namun ditambah dengan kegiatan ekstrakurikuler yang mengacu pada penguasaan teknologi yang berlandaskan hati nurani. Program tersebut akan lebih maksimal jika mungkin ditambah dengan program yang bersifat aplikatif, misalkan dengan memberikan kesempatan siswa untuk menerapkan dan mengembangkan penguasaan IT nya dilapangan secara langsung, atau dengan kata lain pemerintah juga harus memfasilitasi mereka dengan program seperti magang kerja untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan computational thinking dan compassion. Dan yang terpenting adalah konsep ini juga harus disertai dengan program penciptaan dan perluasan lapangan kerja oleh pemerintah, karena sia-sia rasanya jika kita memiliki banyak generasi muda yang unggul dalam penguasaan IT akan tetapi tidak terserap dalam dunia kerja yang berakibat pada meningkatnya angka pengangguran dan tingginya angka pengangguran yang didominasi orang-orang yang memiliki keahlian dalam bidang IT dikhawatirkan dapat memicu timbulnya kejahatan yang berbasis teknologi atau cyber crime.

Jika ini tidak dipikirkan semenjak awal, maka bukan tidak mengkin konsep ini dikemudian hari akan menimbulkan masalah tersendiri. Akan tetapi untuk saat ini mari kita dukung dan kita sukseskan program computational thinking dan compassion agar tercipta sistem digitalisasi pendidikan yang seimbang yang berujung pada lahirnya generasi muda yang unggul dalam teknologi, memiliki hati nurani dan karakter yang baik sehingga siap menyongsong ketatnya persaingan di era Revolusi Industri 4.0 dan menjawab segala bentuk tantangan perkembangan zaman.

*Penulis adalah Guru SMA Negeri 1 Gondang, Bojonegoro

Tag : Sistem, pendidikan, revolusi, industri



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini