Fenomena Pernikahan Dini di Malang; Potret Kompleksitas Sosial yang Mendesak Solusi
blokbojonegoro.com | Wednesday, 11 December 2024 09:00
Reporter -
blokBojonegoro.com - Pernikahan dini masih menjadi persoalan sosial yang menuntut perhatian serius di wilayah Malang, Jawa Timur. Fenomena ini mencerminkan kompleksitas sosial yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti rendahnya tingkat pendidikan, minimnya pemahaman masyarakat tentang risiko pernikahan dini, tekanan ekonomi, nilai-nilai budaya, dinamika keluarga, hingga kehamilan di luar nikah. Selain itu, persepsi agama yang sering kali disalahartikan serta dampak media massa turut menjadi pemicu tingginya angka pernikahan dini.
Data yang dihimpun dari Pengadilan Agama Kota Malang menunjukkan bahwa pada tahun 2022 terdapat 139 pasangan yang mengajukan dispensasi pernikahan dini. Mayoritas dari mereka adalah anak-anak dengan pendidikan terakhir di tingkat SMP. Situasi ini bahkan lebih mengkhawatirkan di Kabupaten Malang, dimana sebanyak 907 anak di bawah umur melangsungkan pernikahan pada tahun yang sama.
Trend serupa terlihat pada 2023, dengan 126 kasus pernikahan dini dari total 4.780 pernikahan di Kota Malang. Hingga Oktober 2024, jumlah kasus sedikit menurun menjadi 92 dari total 3.626 pernikahan.
Menurut Ketua Pengadilan Negeri Kabupaten Malang, Suhartono, tingginya angka dispensasi pernikahan dini di wilayah ini salah satunya dipengaruhi oleh populasi yang besar, terutama di daerah pedesaan. Kebanyakan pelaku pernikahan dini berasal dari keluarga dengan pendidikan rendah.
"Selain itu, daerah lain seperti Ponorogo dan Trenggalek juga mencatat tren serupa, dimana salah tafsir terhadap ajaran agam. Seperti anggapan daripada zina lebih baik menikah,"ungkap Suhartono.
Sehingga mendorong masyarakat untuk menganggap pernikahan dini sebagai solusi. Padahal, pandangan seperti ini justru dapat memperburuk kondisi sosial dan psikologis anak-anak yang menikah di usia dini.
Pernikahan dini membawa berbagai dampak serius, terutama dalam aspek kesehatan, psikologis, dan ekonomi. Secara medis, ibu muda berisiko tinggi mengalami komplikasi seperti anemia, preeklamsia, hingga kematian. Bayi yang dilahirkan juga berpotensi besar mengalami stunting, lahir prematur, atau memiliki berat badan lahir rendah (BBLR). Di sisi psikologis, pernikahan dini sering kali diwarnai ketidakharmonisan, depresi dan masalah mental lainnya, termasuk kecenderungan perceraian.
"Dampak ekonomi pun tidak kalah berat, di mana pasangan muda kerap kali bergantung pada keluarga, hidup dalam kemiskinan, dan lebih rentan terhadap kekerasan rumah tangga. Untuk menekan angka pernikahan dini, berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak terkait," ujarnya.
Kementerian Agama Kota Malang, misalnya, menjalankan program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS) yang fokus pada edukasi remaja mengenai dampak buruk pernikahan dini. Strategi lainnya mencakup pendekatan preemtif melalui penyuluhan dini kepada orang tua dan anak, promotif lewat kampanye kesehatan, serta kuratif dengan bimbingan khusus bagi pasangan muda yang telah menikah.
Fenomena ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Langkah-langkah terpadu diperlukan untuk memutus mata rantai pernikahan dini. Edukasi yang lebih masif, penanaman nilai-nilai agama yang berbasis pada pemahaman sosial dan psikologis, serta peningkatan akses pendidikan harus menjadi prioritas.
"Dengan sinergi yang baik antara pemerintah, tokoh masyarakat, dan lembaga pendidikan, pernikahan dini dapat ditekan demi masa depan generasi muda yang lebih cerah," bebernya.
*Penulis merupakan Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang
1. Lizza Arnofia
2. Putri Buah Hati RAS
3. Muhamad Iqbal
4. Samuel Barcley August Barus
5. Ngurah Yoga Prameswara.
Tag : Pernikahan dini
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini