Refleksi Hari Kebangkitan Nasional ke-117: Menyalakan Kembali Spirit Budi Oetomo di Era Digital
blokbojonegoro.com | Wednesday, 21 May 2025 18:00
Pengirim: Choirul Anam*
blokBojonegoro.com - Pada suatu pagi 20 Mei, saya membuka ponsel seperti biasa. Notifikasi grup keluarga, WA kerjaan, dan Instagram berseliweran. Tapi satu notifikasi menarik perhatian saya: "Selamat Hari Kebangkitan Nasional ke-117." Seketika saya berhenti scrolling. Bukan karena saya nasionalis garis keras, tapi karena kata “kebangkitan” itu terasa begitu megah dan ironis. Kita sedang hidup di zaman yang sangat “bangun” bangun informasi, bangun teknologi, bangun kreativitas tapi kenapa banyak yang justru tampak tertidur dalam ilusi digital?
Mari kita mundur sejenak, ke tahun 1908. Tiga kata sederhana: Budi Utomo lahir. Organisasi ini bukan partai, bukan ormas biasa. Ia adalah simbol dari kesadaran kolektif kaum terpelajar bumiputra untuk bangkit dari belenggu penjajahan. Kartini telah menyalakan lentera di sektor emansipasi, Budi Utomo datang membawa obor kebangsaan. Lahir dari rahim STOVIA sekolah kedokteran bumiputra dan dipelopori oleh pemuda-pemuda seperti Soetomo dan Wahidin Sudirohusodo, Budi Utomo tidak sekadar organisasi, ia adalah manifestasi dari semangat zaman: bahwa ilmu, kesadaran sosial, dan persatuan bisa menjadi senjata melawan ketertinggalan.
Lalu, pertanyaan kita: di era digital seperti sekarang, apa yang tersisa dari semangat itu?
Jawabannya: banyak, tetapi tersembunyi. Budi Utomo muncul di zaman ketika surat kabar adalah “Twitter,” ketika rapat-rapat organisasi adalah “Zoom meeting” para pejuang. Sekarang kita punya segala kemudahan. Media sosial bisa menjadi alat perjuangan, internet bisa menjadi ladang pembelajaran, dan kecerdasan buatan bisa menjadi pendamping berpikir. Namun, seperti dua sisi mata uang, semua itu juga bisa menjadi candu, kubangan informasi palsu, dan medan perang opini yang memecah belah.
Inilah refleksi penting Hari Kebangkitan Nasional: kita perlu menyalakan kembali semangat Budi Utomo, tetapi dengan versi 5.0.
Spirit yang Perlu Diperbarui
Ada tiga nilai utama dari Budi Utomo yang relevan hingga hari ini:
Pendidikan sebagai Pangkal Perubahan.
Budi Utomo tidak lahir dari jalanan, tapi dari ruang belajar. Ini penting. Perubahan besar tidak selalu dimulai dari revolusi berdarah-darah, tapi bisa dari diskusi di perpustakaan atau podcast di kamar kos. Era digital membuka pintu ini selebar-lebarnya. Kita bisa kuliah online, belajar coding dari YouTube, membaca jurnal internasional dari rumah. Tapi, apakah akses itu kita manfaatkan untuk tumbuh, atau sekadar untuk hiburan?
Solidaritas Antargenerasi dan Antarkelas.
Salah satu kekuatan Budi Utomo adalah jembatannya antara kaum muda dan tua, antara Jawa dan luar Jawa. Sekarang, algoritma media sosial justru membuat kita terkotak dalam “filter bubble.” Yang pro A hanya membaca yang pro A. Yang kontra B hanya bercengkerama dengan yang sehaluan. Kita lupa, bahwa kemajuan bangsa tidak lahir dari gema suara sendiri, tapi dari dialog yang sehat dan keterbukaan berpikir.
Kemandirian dan Cita-cita Kolektif.
Budi Utomo tidak meminta-minta, mereka berjuang dengan apa yang mereka punya. Di zaman digital, banyak anak muda yang justru menjadi “konsumen pasif.” Kita bangga jadi “content creator,” tapi apakah isi kontennya membangun? Kita senang jadi “influencer,” tapi apakah pengaruhnya mendidik? Budi Utomo mengajarkan bahwa kebangkitan bukan soal populer atau viral, tapi soal relevansi sosial dan komitmen moral.
Digitalisasi: Ancaman atau Peluang?
Literatur seperti Homo Deus karya Yuval Noah Harari menyebutkan bahwa manusia modern kini lebih banyak dikuasai oleh data ketimbang oleh nilai. Kita membuat keputusan bukan berdasarkan kebijaksanaan, tapi berdasarkan algoritma. Inilah tantangan kebangkitan hari ini: bagaimana kita mengembalikan manusia sebagai subjek dari teknologi, bukan objeknya?
Jika dulu penjajah datang dalam bentuk VOC dan senjata, sekarang penjajahan bisa berbentuk adiksi digital, konsumsi tanpa henti, dan disinformasi. Tapi ingat, seperti kata Soetomo: “Hanya bangsa yang cerdas dan bersatu yang bisa menentukan nasibnya sendiri.” Maka, digitalisasi hanya akan menjadi ancaman kalau kita menyerah. Sebaliknya, ia bisa jadi amunisi kalau kita melek literasi.
Menjadi Budi Utomo Baru
Bayangkan jika Soetomo hidup hari ini. Mungkin ia akan jadi dosen aktif di Instagram, membedah isu kesehatan dan sosial dalam thread Twitter. Atau jadi youtuber edukasi yang kontennya viral bukan karena sensasi, tapi karena substansi. Atau bahkan membuat aplikasi pendidikan gratis yang menjangkau anak-anak di daerah 3T. Semangatnya tetap sama: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kita pun bisa melakukan itu. Membangkitkan semangat nasionalisme lewat tulisan blog, diskusi daring, komunitas literasi digital, hingga kampanye sosial di TikTok. Tidak semua harus berlabel “perjuangan.” Kadang, satu konten edukatif bisa lebih berdampak daripada seribu orasi kosong.
Penutup: Dari Budi ke Bangkit
Kebangkitan Nasional bukan sekadar peringatan kalender, melainkan perenungan arah bangsa. Ia bukan soal masa lalu semata, tapi tentang bagaimana kita memaknai perjuangan di masa kini. Spirit Budi Utomo harus terus kita bawa, bukan dengan romantisme sejarah, tapi dengan kreativitas masa kini.
Jadi, mari kita rayakan Hari Kebangkitan Nasional ke-117 ini dengan satu tekad: menjadi versi digital dari para pendiri bangsa. Yang berpikir kritis, bertindak cerdas, dan peduli pada nasib sesama. Sebab bangsa besar tak lahir dari wacana semata, tapi dari aksi nyata di dunia nyata maupun dunia maya.
*Penulis adalah Ketua PAC GP Ansor Balen
Tag : Hari Kebangkitan Nasional
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini