Jl. Desa Sambiroto, Kec. Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Jejak Sang Penyebar Islam (1)

Asal Mula Kuncen, dari Mbah Sabil dan Mbah Hasyim

blokbojonegoro.com | Saturday, 27 May 2017 17:00

Asal Mula Kuncen, dari Mbah Sabil dan Mbah Hasyim

Reporter: Parto Sasmito

blokBojonegoro.com -
Ketika melintas di Jalan Raya Bojonegoro-Cepu dari timur, tepatnya di Desa Kuncen, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro, pasti akan melewati jalan bercabang. Dan di antara dua jalan itu, ada langgar atau musala yang terkenal dengan nama Langgar Menak Anggrung Pahlawan. Tepat di belakang langgar itu, ada dua pesarean atau makam dari Sang Penyebar Islam di wilayah Kecamatan Padangan, yakni Mbah Sabil dan Mbah Hasyim.

Juru Kunci Makam, KH. Khanifuddin, melalui buku yang disusun oleh Moch. Ribchan Zaeni dan Furqon Azmi menceritakan tentang Mbah Sabil dan Mbah Hasyim, Babad tanah Rowobayan, hingga berdirinya masjid Padangan.

Salah satu penyusun buku yang juga putra dari juru kunci makam, Furqon Azmi saat ditemui blokBojonegoro.com menjelaskan, sebelum Mbah Sabil, Mbah Hasyim sudah menjadi kyai di Desa Kuncen yang saat itu belum ada namanya. Tidak ada data pasti yang menyebutkan secara detail asal usul Mbah Hasyim dengan langgar kecilnya. 

"Yang jelas, Mbah Hasyim dikenal dengan julukan Ketib Hasyim setelah kedatangan Mbah Sabil," ujar Furqon.

Sedangkan Mbah Sabil, diketahui mempunyai nama asli Pangeran Adi Ningrat Dandang Kusuma. Beliau adalah orang rantau dari Kerajaan Mataram. Pada sekitar abad ke-17, Mbah Sabil lari dan sembunyi dari kejaran Belanda menuju arah timur sampai di Dusun Jethak Bojonegoro. Karena khawatir diketahui, namanya diganti Mbah Sabil.  Dari Jethak, Mbah Sabil menyelamatkan diri sampai di Dusun Jumok yang ada di timur Ngraho, sekitar 15 kilometer dari Padangan. 

Beberapa saat setelah tinggal di Jumok, Mbah Sabil yang diketahui alumni Pondok Pesantren Ampel Denta Surabaya berencana untuk pergi ke pondok tersebut dalam waktu semalam dan dilakukan dengan cara Ngintir atau mengikuti aliran Sungai Bengawan Solo. Awalnya Mbah Sabil berjalan ke arah Ngraho dan dan berhenti di tepi bengawan. Dengan menaiki kranjang mata ero atau keranjang berlubang yang biasa dipakai penggembala untuk mencari rumput, Mbah Sabil mulai ngintir sambil membawa peralatan memasak tradisional seperti entong, kendil dan lainnya. 

"Peralatan itu, saat ini ditanam di pojok sisi timur bagian depan di dalam cungkup Mbah Sabil," lanjut pria yang akrab disapa Iponk tersebut.

Beberapa tempat yang dilalui oleh Mbah Sabil saat ngintir, akhirnya mempunyai nama di antaranya adalah Desa Dengok, karena saat di tikungan Mbah Sabil Dengongok alias anguk-anguk. Ngintir lagi ke timur, ada Dukuh Demaan, karena mendengar burung Gemak berkicau, Dukuh Jalakan, hingga Dukuh Kalangan dari kata kalangane atau daerahnya tempat sabung ayam. Sampai pada saat fajar terlihat, akhirnya tempat itu dinamakan Pajaran dari kata Paja atau Fajar. Semakin lama, Pajaran disebut Padangan, karena sudah padang alias terang.

Masih terus ngintir dengan keranjang mata ero, akhirnya Mbah Sabil bertemu dengan Mbah Hasyim. Waktu itu, Mbah Hasim melihat di bengawan ada orang yang dianggap memiliki ilmu tinggi, karena bisa terapung di atas bengawan dengan keranjang berlubang, yang tak lain adalah Mbah Sabil. Akhirnya diminta mampir di tempat Mbah Hasyim dan mengajak di langgarnya. Di sana, Mbah Hasyim berharap Mbah Sabil tetap tinggal bersamanya, karena membutuhkan bantuan untuk menyiarkan agama Islam. 

"Mbah Hasyim meminta keinginan Mbah Sabil untuk pergi ke Ampel Denta Surabaya dihentikan, alias dikunci. Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan nama Kuncen," papar penulis yang pernah mengeyam pendidikan 5 tahun di Amerika ini.

Di Kuncen, Mbah Sabil dan Mbah Hasyim menjadikan langgar yang awalnya kecil dibangun menjadi lebih besar dan bisa digunakan untuk salat Jumat, serta menjadi pesantren. Tidak ada data pasti, berapa jumlah dan dari mana saja santri berasal. Mbah Sabil dikenal sebagai pribadi mulia, tidak membeda-bedakan santri, sikap sabar, lembut, ramah dan tegas, serta istiqomah dan bersahaja menjadi ciri utama kehidupan sehari-hari. 

Sarean Menak Anggrung 


Masjid dan pesantren Mbah Sabil, pada waktu itu berada di Kuncen bagian utara saat aliran sungai Bengawan Solo masih kecil. Masjid itu, setelah lama meninggalnya Mbah Sabil dan Mbah Hasyim, oleh cucu Mbah Sabil, yakni Mbah Kyai Abdurrohman Klotok diboyong ke Dukuh Klothok, Desa Banjarejo.

Putra dari Juru Kunci Makam Mbah Sabil dan Mbah Hasyim, Furqon Azmi menjelaskan, tercatat sudah tiga kali dilakukan pemindahan. Dulunya, pertama kali jenazah Mbah Sabil dan Mbah Hasyim disemayamkan di sebelah masjidnya yang ada di tempat anggrung-anggrung alias menjulang tinggi di tepi jurang Bengawan Solo, yang dinamakan Sarean Menak Anggrung. Menak bisa diartikan orang yang terhormat, bangsawan, ningrat atau priyayi. Sedangkang Anggrung berasal dari kata anggrung-angrung.

"Karena berada di tepi bengawan, makam kedua tokoh Islam itu rawan untuk longsor akhrinya dipindahkan beberapa meter di sebelah selatan. Namun, tidak ada data yang pasti, siapa dan kapan dipindahkan," jelas putra dari KH. Khanifuddin itu.

Pemindahan makam yang ke dua dilakukan karena kondisi tanah yang sedikit demi sedikit terkisis oleh derasnya arus Bengawan Solo. Pada pemindahan ini, dipimpin oleh Mbah Kyai Ahmad Rowobayan. Namun karena kondisi yang sama terjadi, setelah bermusyawarah akhirnya para pemuka agama dan tokoh masyarakat dipimpin oleh Mbah KH Abdurrahman memindah makam Mbah Sabil dan Mbah Hasyim untuk ke tiga kalinya. Tempatnya saat ini berada di antara Balai Desa Kuncen dan Langgar Menak Anggrung Pahlawan, yakni lewat jalan sebelah selatan. 

Untuk diketahui, di tempat itu, dulunya sering disebut Alun-alun Conthong. Pada tahun 1952 di timur makam Mbah Sabil dan Mbah Hasyim mulai dibangun musala yang diberinama Langgar Pahlawan. Sebab, dulu ada beberapa makam pejuang kusuma bangsa. Antara tahun 1960 sampai 1962 makam tersebut dipindahkan di Taman Makam Pahlawan Bojonegoro. 

"Sedangkan di depan Langgar Pahlawan, ada tugu yang didirikan oleh Pemerintah tahun 1981 bersamaan dengan lewatnya api PON X (10) di daerah Padangan," lanjut Furqon.

Pria kelahiran tahun 1975 itu melanjutkan, pemindahan sarean Mbah Sabil yang ke tiga, ada cerita tersendiri. Waktu pembongkaran cungkup, warga tidak ada yang berani membongar sirap atau atap yang terbuat dari kayu, walupun sudah diperintahkan oleh KH Abdurrahman. Sebab, ada sekor ular yang lelilit di salah satu kayu yang melintang di atas bangunan dan di bawah atap atau disebut blandar. Kemudian, KH Abdurrahman dan Mbah Kyai Muntaha mengawali mengambil dan menurunkan sirap agar orang-orang tidak takut lagi. 

Dalam proses pemindahan, tidak dilakukan dengan cara dipikul atau digotong, tetapi dengan cara tunda rambat atau memindahkan antar orang tanpa melangkahkan kaki. Sebab, saking banyaknya orang yang membantu. Setelah pembongkaran cungkup, dilakukan pemindahan jenazah. 

"Menurut penjelasan dari Mbah Kyai Muntaha, setelah jenazah dipindahkan, turun hujan yang sangat lebat. Setelah reda, telihat tracak atau bekas kaki, dari harimau di sekitar makam. Konon kata orang-orang tua dulu harimau itu milik Mbah Sabil," terang Furqon.

Setelah pemindahan makam, 19 tahun kemudian, tepatnya tanggal 26 Safar 1388 Hijriah, sirap dan talang cungkup diganti oleh Mbah KH. Abdurrahman Rowobayan. Selanjutnya, tanggal 1 Muharram 1420 Hijriah atau 1 April direhab total dengan biaya swadaya dari masyarakat yang dipimpin oleh Juru Kunci Makam, KH Khanifuddin.

Pada tanggal 6 Muharram 1407 Hijriah atau 10 September 1986, atas prakarsa dari KH Khanifuddin sesuai dengan anjuran kyai sepuh, haul pertama kali dilakukan di Makam Menak Anggrung. Selanjutnya, haul diselenggarakan setiap malam Jumat Pahing bulan As-Syura atau Muharram setiap tahunnya.

Kepala Desa Kuncen, Saifudin menjelaskan, makam Mbah Sabil dan Mbah Hasyim tidak hanya dikunjungi peziarah saat haul saja. Setiap saat ada juga yang datang untuk berziarah, dan kebanyakan datang pada malam hari. Biasanya rombongan yang datang menemui juru kunci makam, yakni KH Khanifuddin, selanjutnya bersama-sama menuju makam yang ada di barat Langgar Menak Anggrung Pahlawan.

"Dari luar kota banyak, seperti Tuban, Semarang, juga Solo. Bahkan setiap tahun, menjadi tempat yang dijadwalkan bupati dalam agenda Hari Jadi Bojonegoro," papar Kades.

Para peziarah, selain mengirimkan doa kepada Mbah Sabil dan Mbah Hasyim, bisa juga membaca perjalanan perintis Islam pertama di Desa Kuncen dengan membeli buku Mbah Menak Anggur yang dijual di toko yang ada di selatan Makam. [ito/mad]
 

Tag : jejak, islam, penyebar



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini