Jalan Lurus Kang Samin (4)
blokbojonegoro.com | Tuesday, 30 May 2017 07:40
Oleh: Muhammad A. Qohhar
blokBojonegoro.com - Tanpa sadar, Kang Samin tertidur begitu pulas. Tubuhnya yang mulai ringkih tersandar di pohon pisang lapuk. Disebut lapuk, karena dibagian buahnya telah diambil sang empunya, sedangkan yang berdiri tinggal batang setengah saja. Tiupan angin pagi hari di tepi Bengawan Solo menambah nyenyak tidur Kang Samin. Tidak terasa, jam menunjukkan pukul 07.00 WIB.
Tidak jauh dari Kang Samin, dua katak sedang bermesraan dibawah tumpukan daun pisang yang mulai busuk. Apa musim kawin? Yang tau cuma mereka, karena bangsa hewan kawin atau tidaknya sesuka hati mereka saja. Bahkan, di depan khalayak juga tidak masalah. Berbeda dengan manusia yang masih terdapat norma dan juga etika.
Sementara itu, di aliran sungai terpanjang di Pulau Jawa tersebut, hilir mudik beberapa perahu yang mengangkut rata-rata dua pencari ikan. Seorang menjalankan perahu dengan alat tradisional, yakni kedower atau dayung, sedangkan yang satu orang memegang jaring dan besi yang dialiri setrum.
Satu perahu melintas, tidak lama setelah itu akan muncul perahu lain dengan model pencari ikan yang sama. Lagi-lagi dengan alat strum. Ketika pencari ikan yang kebanyakan dari warga Dusun Kendal, Desa Kabalan, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro tersebut datang, bisa dipastikan ikan-ikan berputar-putar dan bahkan bisa mabuk berat.
"Masya Allah, sudah siang ternyata. Makanya kaki kok terasa hangat. Jam berapa ini ya?" gumam Kang Samin sambil mengucek dua matanya.
Ia berdiri, memutar badan ke kanan dan kiri. Sesekali secara mendadak dan terdengar suara krekk. "Nikmat benar memang bisa istirahat sejenak." Lalu Kang Sami terkejut saat melihat ada ikat berputar-putar di tepian bengawan. Jenis tawes. Masyarakat di Kabupaten Bojonegoro biasa menyebut degan bader. Kalau menengah dinamai keplekan dan jika kecil wader.
"Mungkin terkena strum pencari ikan dengan perahu tadi? Atau karena memang sudah waktunya akan mati?"
Tidak lama setelah putarannya bertambah lambat, ikan tawes sebesar tiga jari orang dewasa itu akhirnya terbaik, dengan bagian punggung berada di bawah dan perut di atas. Ia sudah mati. Belum satu menit kagetnya hilang, tampak ikan dari koloni serupa juga bernasib sama. Namun, tawes tersebut hanya sebentar berputar, setelah itu langsung diam tak berkutik.
"Jika banyak ikan mati seperti ini, maka keberadaan mereka di Bengawan Solo juga bisa teracam," sambungnya.
Sambil sedikit berjongkok di pinggir tebing bengawan, Kang Samin menjulurkan tangan untuk mencuci tangan di air. Sambil ia mencoba mendekatkan air di hidung untuk dibau. Ternyata ada sedikit aroma bahan bakar yang kemungkinan besar turut serta membuat ikan mabuk kepayang.
"Heeiiii, ngapain kang. Mandi sana." Kang Sabar datang dengan mendorong sedikit tubuh Kang Samin ke bibir jurang. Akhirnya Kang Samin tercebur begawan. Baju dan sarung yang melekat di tubuhnya basah kuyub.
"Gila kamu Sabar. Orang tua kok diceburkan ke bengawan. Kalau tidak berenang kan bisa mati," sergah Kang Samin degan mimik muka yang tidak bersahabat.
"Aku tau kamu ka rajanya berenang. Makanya tak minta mandi sekalian, karena airnya sudah sering tersendat-sendat," tegasnya.
*Penulis: reporter blokMedia Group (blokBojonegoro.com dan blokTuban)
Tag : sastra, religi, ramadan
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini
Loading...