Jl. Desa Sambiroto, Kec. Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Jalan Lurus Kang Samin (16)

Masjid Tanpa Penghuni

blokbojonegoro.com | Sunday, 11 June 2017 06:00

Masjid Tanpa Penghuni

Oleh: Muhammad A. Qohhar*

blokBojonegoro.com -
Sunyi. Suasana perbatasan antara daerah Kang Samin dengan wilayah tetangga tidak seperti biasanya. Padahal, salat Duhur di bulan puasa tersebut harusnya ramai oleh orang berjamaah. Tapi kondisi masjid yang begitu megah tersebut hanya dipakai tempat singgah pengelana atau warga yang kebetulan melintas.

Jam sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Matahari begitu terik dengan panas yang menyengat. Tak ingin semakin terbakar, Kang Samin bergegas memarkir sepeda motor tahun 1970 kepunyaannya. Di belakang, Kang Sabar mengikuti dengan wajah pucat pasih dan sudah tidak banyak berbicara.

"Kita salat Duhur dulu disini dan bisa istirahat sejenak ya." Kang Samin menengok ke arah Kang Sabar yang sejak tadi berdiri termangu di samping motor butut berwarna merah dengan kombinasi putih tersebut.

"Iya Kang, saya juga sudah kecapekan dan lemas. Sebab, sahur tadi cuma kemasukan air putih dan ketela saja," jawab Kang Sabar lirih.

Langkah gontai Kang Samin diikuti Kang Sabar. Ia melepas sandal jepit hijau di teras masjid megah berlantai granit dan kubah mewah. Dinding bangunan berornamen arab terbuat dari keramik kualitas nomor wahid dan masih ditambah kaligrafi ayat Kursi di sebelah tempat imam. Megah. itulah yang tergambar jelas jika melihat masjid yang kemungkinan baru selesai dipugar tersebut.

"Luar biasa masjid ini. Benar-benar megah dan memesona. Pasti untuk membangun membutuhkan dana miliaran rupiah." Kang Sabar kagum dengan masjid di pinggiran kabupaten tersebut.

"Sabar, ayo segera ambil wudlu, kita jamaah Duhur. Kok malah bengong disitu," kata Kang Samin dengan sedikit berteriak.

Kaget, Kang Sabar segera mengganti celana kain warna hitam yang dipakai sejak kemarin dengan sarung dari dalam tas plastik. Sekarang ia sudah siap di dalam masjid bersama Kang Samin. Hanya dua orang dan tidak ada jamaah lain mendekat ke masjid. Padahal jam dinding di gapura tempat imam memimpin sudah menunjukkan pukul 12.15 WIB.

Kang Samin tampak menoleh ke kanan dan kiri, bahkan sampai ke belakang. Belum puas mencari orang yang akan jamaah Duhur, ia berjalan menuju ke pintu utama dan di serambi masjid. Namun yang dicari lagi-lagi tidak ditemukan, termasuk warga dari rumah terdekat. Nihil. Kang Samin hanya menggelengkan kepala.

Tidak ingin membuang awal melaksanakan salat secara percuma, Kang Samin segera mengajak Kang Sabar untuk berjamaah. Namun, sebelum salat fardlu atau wajib, Kang Samin menyempatkan untuk salat sunah dua rakaat untuk masuk masjid dan dua rakaat sebelum salat Duhur. Baru setelah itu empat rakaat menjadi imam dan Kang Sabar di belakangnya sebagai makmum.

Selesai salat, mereka berdzikir sebentar dan Kang Sabar langsung menuju ke serambi untuk sekadar merebahkan badan. Berbeda, Kang Samin tetap di ruang utama masjid sambil mengambil Alquran di rak yang tidak jauh dari pintu utama. Ia melanjutkan membaca juz ke 29 untuk segera menyelesaikan penutupan yang ke tiga di Bulan Suci Ramadan. Kang Samin sejak beberapa tahun terakhir konsisten membaca Alquran satu juz setelah salat fardlu, dimanapun ia berada. Sehingga, setiap empat hari lima sampai enam hari sekali, ia akan mengkhatamkan kitab suci Agama Islam tersebut.

Setelah Alquran terbaca satu juz, Kang Samin melanjutkan dengan bermunajat kepada Allah SWT. Mulutnya komat-kamit menyebut dan menyanjung Tuhan penguasa alam. Yang maha pengasih lagi penyayang. Tak terasa, matanya terpejam. Mungkin karena lelah yang mendera begitu parah, sehingga dengan duduk pun ia bisa tertidur.

Sesosok bayangan putih dengan sorban panjang menghampiri Kang Samin. Tepatnya menuju ke bibir sungai Bengawan Solo. Syeikh yang datang menumpang perahu berukuran jumbo dan bisa ditumpangi 50 an orang itu berukir kepala naga di ujung depan. Sedangkan di buritan seperti ekor yang menyemburkan api.

"Kisanak butuh tumpangan? Kalau iya, boleh naik ke perahu saya? Ini akan menuju ke hulu di wilayah Kerajaan Surakarta," ucap laki-laki bersorban tersebut.

Kaget dengan tawaran tersebut, Kang Samin termangu. Ia tidak langsung menjawab. Namun, matanya memandangi kiai berusia sekitar 65 tahunan itu dengan seksama. Cahaya sebesar bedug masjid memancar sangat terang dari belakang sang Mahaguru. Kang Samin semakin terkesima.

"Iya Mbah Guru, saya ikut dengan njenengan," jawab Kang Samin singkat.

Tanpa basa-basi, Kang Samin langsung naik ke perahu kuno mewah tersebut. Senyum merekah dari bibir Mahaguru menyambut dan mempersilahkan tamunya duduk di kursi kayu jati berukir bunga. Tangan sebelah kanan Mahaguru memegang tongkat kayu berkepala emas dan berukir naga di sekujur tubuh tongkat.

"Mahaguru ini siapa ya kalau berkenan memberi jawaban? Terus mau menuju kemana?" Kang Samin bertanya sambil menyelidik.

Mendapat pertanyaan tersebut, Mahaguru hanya tersenyum kecil. Tatapannya terus menghadap ke depan. Perahu tidak berhenti sedetikpun melaju perlahan ke arah barat. Menyusuri bengawan dengan deket air masih cukup melimpah karena hujan tetap turun jelang kemarau. Sorban putih berkelebat tersapu angin dan Mahaguru sesekali memutar-mutar bagian kepala tongkat yang mengkilat.

"Saya hanya pengelana saja dan ingin menyisir bengawan dari hilir menuju ke hulu dan sebaliknya," jawab Mahaguru yang membuat Kang Samin bertambah bingung.

Suasana lengang sesaat. Bibir Mahaguru bergerak seperti membaca sesuatu dan Kang Samin menunduk menunggu perintah, seperti murid yang menghormati gurunya. Tiba-tiba arus bengawan menjadi sangat deras, tidak jauh dari perahu ada pusaran air sangat besar yang menghalangi perjalanan. Sekitar 10 pendayung perahu kuno itu berjuang sekuat tenaga untuk melawan arus. Anehnya, perahu tidak hanyut dan tetap bisa berjalan ke hulu.

"Ini saya beri hadiah tongkat untuk menuntunmu menuju jalan lurus," jelas Mahaguru sambil menyodorkan tongkat dengan kepala terbuat dari emas tersebut.

Dengan kaget bercampur senang, Kang Samin menerima tongkat. Saat menerima itulah ia terbangun karena mendengar teriakan Kang Sabar. "Masya Allah, saya bermimpi. Saya harus tetap di jalan lurus." [mad]

*Reporter blokMedia Group (blokBojonegoro.com dan blokTuban.com)

 

Tag : samin, kang, tanah



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini