Ramadan Perspektif Sosial
blokbojonegoro.com | Thursday, 22 June 2017 09:00
Oleh: Usman Roin*
RAMADAN adalah bulan istimewa. Saking istimewanya hingga terminologinya bisa diuraikan dalam perspektif apapun. Salah satunya adalah dari dimensi sosial, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1994:958), memiliki arti berkenaan dengan masyarakat.
Bagi penulis, bulan ramadan memiliki sesuatu yang unik bila tinjauannya dari perspektif sosial. Yakni, lahirnya rasa persamaan di antara sesama, umat yang makan dan berpuasa di waktu yang sama. Terlebih dalam perspektif sosial, kita juga bisa melihat hal-hal yang bisa menumbuhkan spirit secara komunal, menyeluruh dan dilakukan banyak orang serta menghadirkan massa kala bulan ramadan. Hal itu bisa dilihat pada hal-hal berikut:
Pertama, kepekaan sosial. Dalam arti bahwa datangnya ramadan ini membuat orang punya empati tinggi untuk berbuat baik kepada sesama. Misal dengan membagikan takjil gratis baik di masjid, musala atau di jalan raya yang sering dilaksanakan oleh banyak elemen baik muda, tua, organisasi, akademisi, media, mahasiswa, ormas, politik dan lain sebagainya. Maka, dari sisi kepekaan sosial inilah bagi penulis datangnya ramadan seperti menumbuh suburkan perilaku positif untuk berbagi, berderma kepada sesama yang itu dilakukan oleh banyak orang dan elemen secara bergantian.
Kedua, ibadah sosial. Maknanya, hadirnya ramadan ini menumbuh kembangkan jumlah Ibadah secara kuantitas. Yakni, besarnya jamaah yang ikut untuk melaksanakan ibadah mahdoh atau sunah, tua, muda, bahkan anak-anak. Serta, dari tempat yang digunakan untuk beribadah tidak hanya terpusat pada masjid saja. Melainkan, juga di musala serta instansi perkantoran baik dengan cara tarling (tarawih keliling) ataupun yang lainnya.
Ketiga, ekonomi sosial. Ini berarti, hadirnya ramadan menghadirkan bentuk ekonomi kreatif. Memang pada siang hari tidak akan ramai terhadap aktivitas jual beli makanan atau minuman. Namun pada sore hari menjelang buka puasa, ekonomi itu muncul, dan tumbuh menjadi nuansa jual berli makanan atau minuman –penyaji berbuka– yang ramai diperjual belikan dengan tidak memandang strata sosial. Artinya, yang punya mobil maka ia akan berjualan di mobil. Yang memiliki sepeda motor akan berjualan di motornya. Apalagi yang hanya punya lapak di depan rumah ia akan berjual beli di depan rumah. Dengan demikian, secara tidak langsung ekonomi itu tumbuh secara sosial merata dan bisa dilakukan oleh siapa saja seiring dengan hadirnya ramadan.
Selain jual beli secara konvensional, aktivitas ekonomi juga terlihat secara modern. Buktinya, jual beli secara online tumbuh subur. Mulai dari jaringan pribadi (japri) atau lewat group yang dimiliki di medsos, whatsapp, facebook, instagram, serta toko-toko online yang dikelola secara profesional sebagai lapak resmi penyedia barang belanja. Jadi, tumbuhnya spirit ekonomi sosial ini menunjukkan bahwa siapa saja bisa berjualan, walau pelakunya tidak mempunyai barang atau tempat secara kongkrit untuk diperjual belikan.
Dan yang ke empat, sosial informasi. Hadirnya ramadan ternyata meramaikan aktivitas dalam bentuk informasi lewat sosial media (sosmed). Artinya, aktivitas yang dilakukan orang muslim tidak luput dari proses pengabadian –foto atau video baik online atau offline–untuk kemudian di bagikan ke sosmed. Hingga kemudian bisa di lihat secara langsung oleh lainnya sebagai bukti bahwa ia melakukan amaliah di bulan ramadan. Adapun pesannya tidak lain agar orang yang melihat juga bisa melakukan hal yang sama –yakni mengabadikan– sehingga semaraklah ramadan yang dijalani dimanapun berada.
*Penulis adalah Alumni PC IPNU Bojonegoro sedang menempuh Magister PAI UIN Walisongo Semarang
Tag : ramadan, perspektif, sosial, usman roin
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini