Menyantrikan Anak Sekolah
blokbojonegoro.com | Tuesday, 22 October 2019 22:00
Oleh: Usman Roin *
“SANTRI-bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak santri, yang tawadlu kepada Gusti Allah, tawadlu kepada orang-orang alim kalian namanya santri.” Apa yang disampaikan Gus Mus terkait tafsir santri sangat memberi “peluang” kepada siapa saja untuk dinamakan santri. Terlebih hari ini, Selasa, 22 Oktober 2019, menjadi peringatan Hari Santri Nasional (HSN) yang dikukuhkan oleh Presiden Joko Widodo tahun 2015 lalu.
Seiring dengan peringatan HSN, tentu geliat pesantren secara umum baik salafi (tradisional) maupun khalafi (modern) bersama-sama ikut memeriahkannya dengan berbagai kegiatan. Mulai dari kegiatan monumental, perlombaan hingga upacara seremonial yang dilakukan secara luas oleh kalangan santri diberbagai pondok pesantren.
Sebagai santri, adanya peringatan HSN ini adalah peneguh bahwa pesantren juga merupakan bagian terpenting pembentuk karakter bangsa. Mulai dari sopan santun, kebersahajaan, kemandirian, kedisiplinan dan keistikamahan. Nilai-nilai yang menjadi denyut nadi santri tersebutlah gambaran karakter perilaku baik santri untuk senantiasa ikut menebarkan nilai-nilam Islam yang damai, cinta kepada NKRI, sebagai tantangan mencetak para santri di era sekarang.
Bila di pesantren atau lembaga pendidikan gegap gempita HSN terlaksana meriah, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana menciptakan santri di sekolah yang notabene formal? Untuk menjawab ini, tentu secara kasat mata menjadikan sekolah formal layaknya pesantren tidak akan mungkin. Selain karena beda kurikulumnya, menurut Saeful Bahri (2019:49) keberadaan pesantren memang dirancang untuk mengajarkan dan mendidik anak siap menghadapi situasi yang tidak nyaman. Santri ditempa untuk hidup susah, bukan siap senang, serta harus melayani diri sendiri (self service) bukan dilayani (home service).
Jika demikian adanya, sekolah yang khas NU atau yang bernaung dibawah Kemenag akan relatif mudah menciptaan iklim santri. Karena secara kelembagaan kultur pesantren menjadi khas kurikulum pendidikan formalnya sebagai bagian dari pendidikan plus. Yang menarik adalah bagaimana menciptakan santri di lembaga pendidikan formal (swasta atau dinas) yang visinya jauh dari kultur nyantri (baca: di Pesantren) serta notabene bukan afiliasi pesantren?
Guna menggaungkan santri di sekolah formal, bagi penulis sekolah perlu meningkatkan kegiatan nyantri. Terkait nyantri (bermukim dan mengisi waktu dengan ilmu agama yang intensif), hampir semua sekolah baik swasta dan negeri telah menyelenggarakan saat bulan Ramadan. Bedanya hanya dari segi waktu saja hal itu dilakukan. Lalu juga muatan kurikulum khas pesantren berupa ngaji kitab gundul yang tidak ditemukan. Sehingga kegiatan nyantri yang dilakukan oleh sekolah walau terbatas pada pembiasaan untuk hidup bersama dengan siswa lain, tidur yang beralaskan tikar saja, bersama-sama menjalankan ibadah hingga kebiasaan makan, namun tetap harus dilakukan.
Selain itu, sekolah juga perlu melakukan penanaman nilai-nilai yang dimiliki oleh pesantren. Karena di pesantren akan ditempa untuk menjadi pembelajar yang sabar, mau menunda kesenangan, dan mau menghadapi kesulitan yang menghadang, dan yang terpenting di pesantren itu kegigihan, kesabaran, ketekunan tidak diajarkan di atas kertas dengan definisi-definisi angka atau huruf. Nilai-nilai itu justru harus dilalui dengan latihan yang keras, ditempa secara langsung, dan membutuhkan waktu yang panjang.
Oleh karena itu, kesederhanaan (sebagai contoh) adalah sifat khas pesantren yang perlu ditanamkan kepada para santri hendaknya juga diperkenalkan ke siswa. Kesederhanaan itu terlihat mulai dalam hal berpakaian dan makan, dalam rangka mencetak karakter rendah hati untuk menumbuhkan sifat menghargai pada apa yang dimiliki saat ini. Kesederhanaan ini juga mempunyai fungsi, membentuk sikap bersyukur terhadap yang ada, dengan tetap semangat meraih impian mencari ilmu yang berkah selama di sekolah.
Hal lain, kegigihan terhadap tantangan dan kesulitan juga perlu diperkenalkan kepada siswa. Sehingga akan membantu mereka memutar otak, berpikir kreatif memecahkan masalah, dan mencari jalan keluar. Dan yang lebih terpenting, adalah hormat kepada guru sebagaimana yang dilakukan oleh santri kepada kiai atau ustaz juga harus ditingkatkan. Caranya dengan mencium tangan serta senantiasa mengucapkan salam kala bertemu guna memperoleh keberkahan ilmu yang diajarkan oleh guru atau ustaz. Akhirnya, selamat hari santri untuk pesantren dan sekolah, Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia.
* Penulis adalah Koord. Devisi Komunikasi & Hubungan Media Majelis Alumni IPNU Bojonegoro asal Kecamatan Balen, anggota Majelis Pembina Perhimpunan Remaja Masjid Dewan Masjid Indonesia (PRIMA DMI) Jawa Tengah, serta Mantan Ketua Umum Remaja Islam Masjid Agung Jawa Tengah (RISMA-JT).
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini