Oleh: Usman Roin*
blokBojonegoro.com - “Pacul bilih mboten nate diasah badhe papak.” Artinya, cangkul bila tidak pernah diasah akan tumpul. Itulah perumpamaan orang yang sudah punya ilmu tetapi lupa melakukan upgrade berkala.
Perumpamaan itu kiranya perlu dijadikan muhasabah, bila kemampuan upgrade diri dengan meluangkan waktu sehari membaca buku –sebagai misal, adalah untuk menajamkan pemikiran. Sehingga, kita tidak mudah tergelincir dari hal tidak baik bahkan sia-sia atau jauh dari berguna.
Tentu bila pikiran kita tajam, untuk sekadar “membiarkan” waktu berlalu, dan tanpa nilai positif akan bisa dihindari. Tapi coba, bila pikiran kita tumpul (kethul) waktu akan los dol, buat happy-happy, kemudian game, hingga scroll atas bawah atau melihat status orang yang malah bikin iri.
Terhadap status media sosial (medsos) yang di-scroll atas bawah, kita jarang melakukan analisa, bila status orang –yang sukses ini itu, terdapat proses yang dirahasiakan.
Ada keringat yang bercucuran. Ada yang ngempet tidak beli ini itu. Dower lambene atau lebar bibirnya oleh aktif memasarkan produk hingga laris. Lalu, mengurangi tidak tidur di tengah kebanyakan orang terlelap dalam keindahan versus kehororan mimpi demi menyelesaikan cita-cita.
Terhadap proses yang penulis sebutkan di atas, kita kadang tidak mau tahu. Yang penting sukses. “Ending” sukses itu seakan given atau jatuh dari langit begitu saja. Sehingga yang terlihat di permukaan menjadi hal yang ditahbiskan enak, enak, dan enak.
Padahal proses untuk sukses yang menghabiskan waktu jarang sekali digali. Ada step by step yang dilalui, namun luput dari telaah penikmat warganet.
Konsistensi
Agar kita bisa menjawab tantangan zaman, dan mudah melalui step by stepnya jalan kehidupan, konsistensi upgrade diri adalah mutlak. Yang penulis maksud, mulai dari diri, aktivitas membaca terdesain menjadi rutinitas kegiatan mandiri yang tidak pernah absen (konsisten). Sehingga, membaca selalu mendapat jadwal tetap diri di keseharian yang dilalui.
Terkait waktu membaca bisa dilakukan selepas isya, dengan mengajak anggota keluarga prei (libur) barang sesaat dari pegang gadget, untuk kemudian beralih pegang buku dan membaca. Bisa juga membaca di waktu malam –setelah bangun tidur, atau pagi dini hari sebelum sholat subuh. Yang penting dalam sehari, membaca kudu dilakukan konsisten.
Selain perlu menjadwalkan aktivitas baca bagi diri dan anggota keluarga, membaca juga bisa dilakukan di sela-sela beraktivitas. Artinya, kala menunggu janjian ngafe (ngopi), atau antri di bank, serta jenis aktivitas lain, membaca buku adalah aktivitas bagus yang bisa dilakukan. Fungsinya, untuk menambah pengetahuan diri –meski sedikit, di sela-sela aktivitas bekerja.
Terhadap menyempatkan membaca di sela-sela aktivitas bekerja, alhamdulillah penulis bisa melakukan. Selain membawa laptop sebagai alat untuk menyelesaikan pekerjaan di kampus, buku sebagai bahan bacaan juga tidak lupa penulis masukkan di tas.
Alhasil dari usaha mengisi sela-sela aktivitas bekerja inilah, buku-buku karya Fahruddin Faiz mulai dari “Filsafat Moral: dari Al-Ghazali, Pakubuwana IV, Lawrence Kohlberg, hingga Hans Jonas” (2024); “Filsafat Kebahagiaan: dari Plato via Al-Farabi dan Al-Ghazali sampai Ki Ageng Suryomentaram” (2023); “Menjadi Manusia Menjadi Hamba” (2020); “Menghilang, Menemukan Diri Sejati” (2022); “Jatuh Cinta kepada-Nya: Memaknai Dimensi Spiritual Cinta dan Patah Hati” (2024), sudah khatam.
Bahkan, karya beliau –Fahruddin Faiz, yang lain berjudul “Mati sebelum Mati Buka Kesadaran Hakiki” (2023), tengah on the way (otw) proses baca menuju khatam.
Contoh mengisi sela-sela waktu dari rutinitas bekerja, sehingga membaca tetap bisa konsisten dilakukan inilah yang dinamakan phronesis meminjam bahasa Plato, yaitu kemampuan untuk memilih tindakan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari.
Ikut Komunitas
Selain dari waktu melalui upaya menjadwalkan dan mengisi sela-sela waktu dengan membaca, perihal konsistensi membaca juga bisa dilakukan dengan bergabung di komunitas. Artinya, kita bergabung dengan grup yang gemar membaca. Terhadap grup ini, bisa kita ciptakan sendiri atau menggabungkan dengan yang sudah ada.
Sebagai contoh, penulis punya alumnus yang kini bekerja pada toko penyediaan plafon ternama di Bojonegoro. Meski bekerja bukan sebagai pendidik –untuk sementara waktu, tetapi semangat membacanya senantiasa menyala.
Dari awalnya genre buku fiksi yang digandrungi, setelah penulis kenalkan bukunya Fahruddin Faiz, ia beralih pada karya non-fiksi. Yang sudah dikhatamkan adalah karya –beliau Fahruddin Faiz, berjudul “Mati sebelum Mati Buka Kesadaran Hakiki” (2023); dan yang sedang otw proses membaca karya serupa berjudul “Jatuh Cinta kepada-Nya: Memaknai Dimensi Spiritual Cinta dan Patah Hati” (2024).
Oleh karena ada kesamaan dalam semangat membaca inilah, penulis dengan alumni Prodi PAI tersebut kemudian membuat komunitas seneng moco atau suka membaca. Meski baru penulis dan dia anggotanya, tetapi dialog progres sampai di mana membaca terhadap buku yang sudah dibeli, kami lakukan intensif. Dialog komunitas ini seakan menjadi pengingat (alarm) untuk jangan lupa meneruskan membaca buku koleksi buku yang telah dimiliki.
Tiga upaya konsistensi membaca di atas, semoga menjadikan diri ini –sebagaimana penulis contohkan, dengan pacul (cangkul) yang senantiasa tajam. Tidak kethul (tumpul). Artinya, kehadiran diri kita bernilai kontributif. Yaitu aktif mengurai aneka problem sosial oleh keluasan ilmu, baik melalui nasehat berbentuk ceramah-pengajaran, visual –fyer medsos, hingga penuangan ide sebagaimana tulisan ini.
Akhirnya, alternatif untuk mengonsistenkan membaca bisa pembaca telurkan sendiri, agar kualitas diri naik menjadi wicaksana –meminjam sifat tokoh pewayangan Semar dalam Fahruddin Faiz (2023:97); yakni bukan sekadar bijaksana oleh luasnya pengetahuan hasil baca yang dimiliki, tetapi juga tahu cara dan waktu yang tepat untuk menjalankan ilmunya.
* Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam Unugiri, dan anggota Majelis Alumni IPNU Bojonegoro.
0 Comments
LEAVE A REPLY
Your email address will not be published