Natal: Membumikan Toleransi
blokbojonegoro.com | Tuesday, 03 January 2017 11:00
Oleh: M. Mustofa Hilmi*
blokBojonegoro.com - Indonesia merupakan negara dengan tingkat heterogenitas tinggi. Negara yang mempunyai 17.504 pulau ini memiliki 1.340 suku dengan kebudayaannya masing-masing. Untuk menjaga keharmonisan antar anak bangsa, maka toleransi mutlak diperlukan. Semangat saling menghargai dan menghormati dalam keberagamaan agama harus mengilhami setiap warga negara demi terwujudnya persatuan dan kesatuan.
Hari besar umat kristiani yang telah berlalu, Natal merupakan sebuah ujian bagi masyarakat muslim Indonesia dalam mewujudkan ikatan tali persaudaraan antar umat beragama. Dalam hal ini, terdapat pandangan kaum muslim yang saling berseberangan dalam menyikapi hari lahirnya putra Maryam tersebut. Ada kelompok yang berpendapat bahwa mengucapkan selamat natal tidak diperbolehkan, karena hal itu dilarang oleh ajaran normatif Islam. Namun ada sebagian umat muslim lain yang meyakini bahwa ucapan selamat tersebut boleh dilakukan karena menurut Islam hal itu adalah cara muslim bermuamalah dengan umat lain.
Dalam ajaran kristiani, natal terambil dari bahasa portugis yang berarti kelahiran. Pendapat lain mengatakan, kata tersebut berasal dari bahasa latin Dies Natalis, yakni hari lahir. Sedang dalam bahasa inggris perayaan Natal disebut christmas. Setiap tahun, umat kritiani memperingati hari kelahiran yesus kristus tersebut yang ditetapkan jatuh pada tanggal 25 Desember. Natal dirayakan dalam kebaktian malam pada tanggal 24 Desember dan kebaktian pagi tanggal 25 Desember. Untuk menghormati umat Isa al-Masih ini maka Indonesia pada tahun 1963 mengukuhkan hari tersebut sebagai hari libur nasional.
Pandangan Al-Quran tentang Natal
Dalam Al-Qur’an terdapat ucapan selamat atas kelahiran Nabi Isa. Ucapan tersebut termaktub dalam QS. Maryam 19:33, yakni Isa: salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. Melalui ayat ini, Allah telah mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh manusia agung dan suci itu.
Memang ucapan natal (selamat atas kelahiran) dalam Al-Qur’an ada, namun kini ajaran kristiani lebih mendominasi perayaan tersebut yang mana pandangannya berbeda dengan umat Islam. Di sinilah permasalahan timbul karena ucapan “selamat natal” atau mengikuti perayaan dapat menyebabkan pengkaburan aqidah. Tentu karena sudah menyangkut aqidah, maka tidak dibenarkan pengakuan terhadap ketuhanan Al-Masih sebagai satu keyakinan trinitas dalam ajaran Islam. Inilah alasan larangan dan fatwa ucapan “Selamat Natal” bermula.
Seperti terlihat, larangan ini lebih menekankan pada keterjagaan keyakinan dikarenakan kekhawatiran akan tercampurnya dengan aqidah lain. Oleh karena itu, agaknya ketidakbolehan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur aqidahnya. Jika demikian, seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” yang qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana ia diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan aqidah bagi dirinya dan Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Pada kenyataannya, yang terjadi di kaum muslimin adalah mereka hanya sekadar mengucapkan selamat hari Natal tanpa mengakui kebenaran aqidah, terlebih untuk menghormati keyakinan umat lain dalam rangka menjaga kerukunan dan keharmonisan sesama.
Menyemai Toleransi di Indonesia
Dalam kehidupan di era global sekarang, keberagaman adalah sebuah keniscayaan. Terlebih kenyataan bahwa di Indonesia yang didiami kurang lebih 300 kelompok etnik atau tepatnya 1340 suku bangsa (sensus BPS 2010). Dalam hal ini toleransi mempunyai posisi penting dalam sosial masyarakat. Toleransi dalam pergaulan hidup umat beragama diperlukan demi menjaga keharmonisan umat.
Istilah toleransi berasal dari bahasa Inggris tolerance berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Bahasa arab menterjemahkannya dengan “tasamuh” yang berarti saling mengizinkan dan saling memudahkan. Seorang muslim berkewajiban untuk bersikap lebih santun dibandingkan dengan siapapun, karena yang demikian itu merupakan salah satu tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW, yakni untuk menyempurnakan perilaku atau akhlak.
Terkait dengan konsep saling menghormati antar umat beragama, dalam Islam terdapat dua pola dasar pokok yang telah digariskan kepada umatnya yakni hubungan secara vertikal dan horizontal. Hubungan pertama adalah hubungan transenden antara pribadi dengan sang khalik yang terealisasi dengan ibadah yang setiap hari umum dilakukan umat muslim. Sedangkan bentuk yang kedua adalah hubungan antara manusia dengan sesamanya yang dalam hal ini adalah interaksi antar seagama dan non seagama dalam bentuk kerjasama dan masalah-masalah kemasyarakatan.
Terkaitan dengan hari raya Natal, secara vertikal muslim hendaknya tetap meyakini aqidahnya sendiri, namun secara horizontal hubungan antar umat beragama tidak boleh putus. Hal penting bagi muslim yang mengucapkan selamat hari Natal adalah perlunya berniat untuk menampakkan citra terbaik dari ajaran Islam kepada non muslim tanpa perlu ikut serta dalam rangkaian kegiatan pada hari Natal. Dapat dipahami bahwa ini merupakan salah satu tuntunan keharmonisan hubungan dalam normatif Islam.
Tuntunan ini kadang terabaikan karena seringkali muslim diajarkan untuk memperkuat keimanan dengan segala pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pemahaman agama menjadi eksklusif dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme seperti saat sekarang, pandangan agama ini sudah selayaknya dilakukan reorientasi tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis dan multikultural.
Dengan demikian, melalui peninjauan ulang ini, diharapkan umat Islam maupun umat Nasrani dapat hidup berdampingan secara damai, saling hormat-menghormati sesuai dengan batas ajaran agama masing-masing. Kerukunan umat beragama harus dibangun dan dipelihara seharmonis mungkin dengan cara mempersempit sekat pemisah dalam berbagai bidang kehidupan. Sehingga dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat dapat saling menjaga persatuan dan terhindar dari segala sebab yang menimbulkan perpepecahan.
Akhirnya dalam spirit kesatuan, masyarakat diharapkan dapat menghargai perbedaan. Toleransi antar umat beragama harus secara kontinyu disemai dan dikembangkan. Kemajemukan dan kemanusiaan tetap harus menjadi komitmen serta sikap yang dibangun oleh setiap individu dalam beragama, karena keduanya adalah cita-cita yang dibangun oleh Islam melalui asas rahmatan li al-'alamin (kasih sayang bagi semesta alam).
*Penulis adalah santri Pondok Pesantren Abu Dzarrin Kendal Bojonegoro. Saat ini sedang menyelesaikan S2 Magister Komunikasi Penyiaran Islam di UIN Walisongo Semarang.
Tag : natal, M Mustofa hilmi, mustofa hilmi
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini