06:00 . Gelar Muskab, Setyawan Mubayinan Kembali Terpilih Jadi Ketua Pengkab TI Bojonegoro   |   21:00 . Muhammadiyah Bojonegoro Serukan Pilih Cabup yang Bersedia Dengar Suara Rakyat   |   19:00 . Dipindah ke Lapas Bojonegoro, Napi Teroris Dikawal Ketat Densus 88 AT Polri   |   16:00 . Gebyar Milenial dan Gen Z, Acara untuk Generasi Muda Bojonegoro   |   14:00 . Tim PkM Dosen UNUGIRI Berikan Pendampingan P5 dan PPRA di Lembaga Pendidikan   |   13:00 . Wujudkan Lansia Bermartabat, PD 'Aisyiyah Bojonegoro Gelar Lokakarya Kelanjutusiaan   |   12:00 . Tim KKN 44 UNUGIRI Observasi di Desa Grabagan   |   06:00 . Menilik Pasukan Kopi Rakyat Jelita Pada Kompetisi Nyethe Rokok Kenduri Cinta 2 Wahono-Nurul   |   21:00 . Barisan Muda Bangga Bojonegoro Siap Menangkan Wahono-Nurul   |   20:00 . Setyo Wahono ajak Ketum PP.Ansor, Addin Jauharudin Bermain Fun Badminton   |   19:00 . Empat Kades Terdakwa Korupsi Pembangunan Jalan di Bojonegoro Dituntut 5 Tahun Penjara   |   19:00 . Pj Adriyanto : Pasar Hewan Bisa Menjadi Tujuan Wisata Dan Edukasi   |   18:00 . Diduga Tak Sesuai Spesifikasi, Dua Pembangunan Jalan di Bojonegoro Disidik Kejaksaan   |   17:00 . Judi Online Sebabkan 978 Pasangan di Bojonegoro Cerai   |   16:00 . Jumping Teknologi, Wenseslaus Manggut: Tantangan dan Peluang Industri Media Digital   |  
Fri, 22 November 2024
Jl. Desa Sambiroto, Kec. Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Catatan Hari Perempuan Internasional

Nyai Ontosoroh, Buih Perlawanan dan Feminisme

blokbojonegoro.com | Wednesday, 15 March 2017 12:00

Nyai Ontosoroh, Buih Perlawanan dan Feminisme

Oleh: Sally Atyasasmi*

Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup berkalang lelaki, tapi bukan berarti aku tidak butuh laki-laki untuk dicintai. (Nyai Ontosoroh) – Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer.


blokBojonegoro.com - Kutipan di atas adalah perkataan Nyai Ontosoroh, salah satu karakter dalam Tetralogi Bumi Manusia, hasil kerja kreatif Pramoedya Ananta Toer saat menjadi tahanan politik Orde Baru (Orba) di Pulau Buru. Roman sejarah tersebut mengisahkan perkembangan pergerakan nasional pada masa Kolonial Belanda awal abad ke 20.

Nyai Ontosoroh adalah perempuan pribumi bernama asli Sanikem yang dijual oleh ayahnya sebagai gundik orang Belanda, demi harta dan kekuasaan. Praktik pergundikan sangat lazim pada masa itu. Nyai merupakan sebutan yang disematkan pada gundik. Meski bisa hidup dalam kemewahan, gundik tak ubahnya budak belian. Setiap saat harus siap melayani tuannya, namun disisi lain, setiap waktu dapat dicampakkan.

Nyai juga dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki nilai kesusilaan karena Pemerintah Kolonial Belanda tidak menganggap syah perkawinan campuran laki-laki Eropa dengan perempuan pribumi. Karena itu, yang diakui hanya anak yang lahir dari perkawinan tersebut, tapi tidak untuk ibunya. Status Nyai juga tidak mempunyai hak asasi manusia yang sepatutnya. Ia tidak memiliki hak terhadap harta dan kekayaan lain, meskipun diperoleh dari kerja kerasnya sendiri.

Ketidakadilan itulah yang dilawan oleh Nyai Ontosoroh, dimulai dengan mempelajari semua hal yang berbau Eropa seperti; Bahasa Belanda, tata niaga, budaya dan hukum Belanda, serta membaca media massa Belanda. Semua itu membuat Ontosoroh menjadi seorang perempuan yang memiliki karakter kuat, berpengetahuan tinggi, cakap dalam berdiplomasi dan pergaulan sosial, tidak hanya di kalangan pribumi namun Eropa. Gambaran itu melawan stigma negatif dan stereotip tentang Nyai sekaligus perlawanan terhadap ketidakadilan yang dihadapi perempuan.

Feminisme


Kehadiran karakter Nyai Ontosoroh sangat menarik. Pramoedya merefleksikan realitas sosial pada masa itu, sekaligus pandangannya tentang perlawanan terhadap ketidakadilan dan tata sosial yang bertentangan dengan kemanusiaan. Meskipun mengambil setting masa Kolonial, namun pesan moral roman tersebut masih relevan sampai saat ini. Pramoedya memang tidak menyebut feminisme, namun pokok-pokok pikiran dan nilai yang diperjuangkan Nyai Ontorosoh sangat lekat dengan feminisme.

Di Indonesia, diskursus feminisme sudah lama diperbincangkan, bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Namun, perkembangannya mengalami pasang surut. Relasi dengan Negara berpengaruh besar pada perkembangan feminisme. Salah satunya adalah sesat pikir tentang feminisme, khususnya di masa Orba. Negara menarasikan feminisme dengan emansipasi wanita, namun yang terjadi justru domestifikasi dan marginalisasi perempuan. Secara naratif, sangat kental dengan glorifikasi perempuan, misalnya pemujaan sifat-sifat keibuan, peran ideal istri, perempuan sebagai tiang Negara dan puja-puji lainnya yang membuai kesadaran kritis.

Disisi lain, meskipun Negara juga mendorong keterlibatan peran perempuan di luar sektor domestik melalui jargon wanita pembangunan, namun juga membatasinya melalui istilah kodrat istri dan ibu rumah tangga. Domestifikasi itu secara idelogis disebut Julia Suryakusuma sebagai Ibuisme. Julia, dalam Ibuisme Negara, Konstruksi Sosial Orde Baru, mengemukakan Ibuisme Negara adalah perkawinan antara feodalisme dengan kapitalisme. Ibuisme Negara acapkali bersifat feodal dalam strukturnya yang hierarkis, proses yang tidak demokratis dan orientasi pada status. Negara membentuk organisasi sebagai terjemahan ibuisme negara, misalnya Dharma Wanita. Melalui organisasi seperti itu, perempuan ditempatkan dalam posisi organisatoris, bukan dari kemampuannya tapi bersumber dari statusnya sebagai istri seseorang. 

Dalam Panca Dharma Kongres Wanita Indonesia, disebutkan peran wanita sebagai pendamping suami, pencetak generasi penerus bangsa, pendidik dan pembimbing anak, pengatur rumah tangga, serta anggota masyarakat yang berguna.  Semua itu semakin menguatkan domestifikasi dan lebih jauh lagi, meminjam istilah Betty Friedan dalam The Feminine Mystique adalah mistifikasi peran perempuan.

Hal yang harus dipahami adalah feminisme bukanlah persoalan kesetaraan perempuan di hadapan laki-laki, namun sebuah persoalan kemanusiaan manakala diskriminasi terjadi pada manusia tanpa melihat jenis kelamin. Tommy F. Awuy dalam Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan menyatakan, bahwa feminisme pada dasarnya bukan persoalan gender, namun merupakan gerakan kemanusiaan. Ada hak-hak kemanusiaan yang harus diperjuangkan ketika hak tersebut terdistorsi oleh ketimpangan gender. 

Gender bukanlah takdir, namun konstruksi sosial yang dapat berubah. Perempuan dikarunia kemampuan untuk mengandung dan melahirkan anak adalah takdir, namun peran perempuan sebagai ibu rumah tangga, bekerja disektor domestik adalah konstruksi sosial, bukan takdir. Gerakan kemanusiaan ini harus terus menerus dilakukan. Kesadaran harus selalu dibangkitkan, tidak hanya kepada perempuan namun juga laki-laki. Gerakan ini bukan untuk mengalahkan satu sama lain, tapi untuk mewujudkan tata sosial yang adil dan berlandaskan kemanusiaan.   

Oleh karena itu, peran perempuan harus semakin tampak, bukan bertambah dikerdilkan. Sebab, sudah saatnya perempuan mengambil peran di segala lini dalam berbangsa dan bernegara untuk mewarnai. Karena, tangan dingin perempuan seharusnya bisa menambah lebih baik, bukan hanya dianggap sebagai pelengkap semata. [mad]

*Ketua Fraksi Gerindra DPRD Bojonegoro

Tag : kolom



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.




blokBojonegoro TV

Redaksi

Suara Pembaca & Citizen Jurnalism

Lowongan Kerja & Iklan Hemat