Serpihan Agresi Militer Belanda II di Tuban-Bojonegoro (9)
100 Ledakan di Kaliketek, Hingga Gugurnya Lettu Suyitno
blokbojonegoro.com | Friday, 11 August 2017 12:00
Reporter: Parto Sasmito, Tim Investigasi
blokBojonegoro.com - Sekitar tujuh hari sebelum dilakukan penyerbuan ke Bojonegoro, Belanda telah menyiapkan jembatan darurat di Desa Simo, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban, tepi Bengawan Solo. Tempat itu juga yang menjadi kontak senjata dengan pasukan Ronggolawe yang bertugas mempertahankan kota. Terbentang Bengawan Solo dengan lebar sungai masih 80 meter saat itu, antara pasukan Ronggolawe dengan Belanda terjadi baku tembak.
Selain pasukan Belanda menembak untuk mengetahui pasukan lawan, dibantu dengan pesawat terbang Catalina dan Mustang secara terpisah terbang mengitari pertahanan Kota. Di hari akhir-akhir persiapan di Desa Simo, perahu-perahu karet yang masih dalam lipatan, dijatuhkan dari pesawat terbang untuk mempersiapkan penyeberangan pasukan menuju selatan Bengawan Solo.
[ Baca juga: Molor 5 Jam, Jembatan Kaliketek Berhasil Dihancurkan ]
"Komandan Brigade dan komandan Batalyon dengan beberapa orang perwira pernah mengalami dihujani tembakan kosentrasi mortir pasa saat mengadakan inspeksi pertahanan Kaliketek sampai lebih dari 100 kali ledakan," wawancara dengan Kolonel Purn. Sutrisno Sudirojo, eks Bupati Lamongan, waktu itu berpangkat Sersan sebagai komandan regu turut bertugas di pertahanan Kaliketek. Pernyataan itu, tertuang dalam buku Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe oleh Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe.
Pada 1 Januari 1949, pertahanan Kaliketek, yakni regu Sudarsi dihujani martir dan menerima serangan lagi dari seberang Bengawan Solo. Setelah tak terdengar suara tembakan, Sudarsi berangkat ke komando Batalyon untuk mengurus peralatan senjata 12,7 yang perlu diganti dan mengabil peluru tambahan untuk cadangan. Namun, naas Sudarsi, dalam perjalanan dari daerah pecinan Desa Karangpacar, sebutir peluru yang ditembakkan dari atas loteng sebuah rumah mengenai kepalanya. Karena lukanya itu, Sudarsi gugur di rumah sakit.
Tanggal 13 Januari 1949, Regu Sutrisno dan Regu Harjono, diperintahkan memperkuat seksi kedudukan seksi Suwulo yang mempertahankan penyeberangan Glendeng. Hari berikutnya, tanggal 14 Januari 1949, Belanda dikabarkan berhasil menyeberangi bengawan dan menduduki Desa Glendeng dan pasukan pertahanan telah mundur. Komandan Bataloyon menggunakan sedan berangkat ke pertahanan Kaliketek. Baru sampai di wilayah tepi kota bagian tmur, Basuki Rahkmat memerintahkan untuk menghentikan kendaraan di tepi jalan. Sebab, pesawat Catalina terbang rendah menuju arah barat.
Bersamaan dengan itu, sebuah peluru ditembakkan dari pesawat. Pecahan peluru mengenai Basuki Rahkmat pada pantatnya. Segera, perawatan diberikan dan diangkut ke komando bataliyon di barat alun-alun dan selanjutnya dikirim ke luar kota untuk menerima perawatan lanjutan.
Sore hari setelah peristiwa tersebut, Letnan Satu (Lettu) Suyitno, berangkat menuju pertahanan di Kaliketek untuk menemui komandan pertahanan kota, Letnan Satu Bambang Sumantri. Setelah mengetahui kondisi dan situasi kota keseluruhan, maka kepada Suwolo beserta seksinya, malam hari untuk kembali menduduki Desa Glendeng.
Keesokan harinya, tanggal 15 Januari 1949, Sumantri dan Suyitno dikawal regu Haryono, serta Sersan Nurwulan bintara kelompok komando kompi berangkat menyusul Suwolo ke Glendeng. Sesampainya di Dukuh Ngangkatan, barat Glendeng, tampak di seberang, kesibukan musuh, yakni Belanda sedang mengatur konstruksi, jembatan untuk dilewati melintasi Bengawa Solo. Memanfaatkan kondisi musuh, Suyitno mengambil senapan mesin Lewis yang dibawa Harjono dan menembakkannya ke arah tentara Belanda di seberang.
Tanpa sepengetahuan, ternyata di wilayah selatan, yakni di Glendeng, Belanda telah memperkuat pertahanan dan mengamankan proses pemasangan jembatan. Sehingga, tempat Suyitno menembak, sebutir garanat meledak di dekatnya dan pecahan peluru mengenai badannya, akhirnya Suyitno gugur di tempat. Karena tembakan terus menghujani tempat jenazah Suyitno, Sumantri dan regu Harjono yang mengawal tidak bisa mengambil dan merawat jenazah.
Pada tanggal 15 Januari 1949, Belanda memang mulai melakukan pemasangan jembatan dan pemindahan pasukan dari utara ke selatan untuk mempercepat gerakan penyeberangannya. Dengan adanya jembatan, kendaraan serta peralatan berat bisa diseberangkan ke Glendeng. Dengan demikian, Bojonegoro dalam keadaan terancam dari wilayah timur. Meski pertahanan Kaliketek sudah ditarik mundur dan pasukan Marbrig sudah sampai di tepi timur, mereka tidak melanjutkan pergerakan hari itu.
Esoknya, tanggal 16 Januari 1949, pasukan Belanda dengan tenaga pasukan yang masih segar dan diperkuat kendaraan-kendaraan panser dan brencarrier serta dukungan pesawat terbang, terjadi pertempuran-pertempuran kecil dan terpencar, sehingga, Kota Bojonegoro berhasil diduduki. Akibatnya, selain Lettu Suyitno yang gugur sebelumnya, menyusul kemudian Sersan Sudarsi. Sedangkan Komandan Batliyon XVI luka ringan, dan senjata serta peralatan perang, juga korban penduduk tidak diketahui.
Keterangan:
1. Foto peta lokasi pertahanan melawan Belanda.
2. Jembatan Glendeng, Foto diambil dari sisi utara dari Desa Simo, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban
3. Monumen pahlawan, Lettu Soejitno di Alun-alun Kota Bojonegoro menghadap ke selatan.
4. Sumber: Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe. Oleh: Pantia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe.
Tag : agresi, militer, belanda
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini