Jl. Desa Sambiroto, Kec. Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Bojonegoro Baru, Tantangan Menjawab Kutukan Sumber Daya Alam?

blokbojonegoro.com | Wednesday, 22 November 2017 08:00

Bojonegoro Baru, Tantangan Menjawab Kutukan Sumber Daya Alam?

Oleh: Muhammad Fajar Dermawan*

Bojonegoro yang tengah merajut pembangunan di segala bidang lewat kekayaan sumber daya Migasnya tentu menghadapi banyak masalah dan ancaman. Menurut M. Sachs dan Rosser kelimpahan sumberdaya alam tidak selalu dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. Hal tersebut yang kemudian di kenal dengan “kutukan sumber daya alam”. Masalah sosial, lingkungan dan budaya tentunya harus mampu dijawab oleh pemangku kebijakan bersama dengan seluruh lapisan masyarakat.. Dan pada tahun 2018 nanti masyarakat Bojonegoro akan menjalankan suatu pesta demokrasi untuk memilih pemimpin baru yang harapannya dapat menjawab kutukan sumber daya alam tersebut. Namun, di tengah panasnya marketing politik yang tengah melanda Bojonegoro oleh para calon, pertanyaan sederhananya adalah sampai dimana calon Bupati mampu menjawab kutukan sumber daya alam yang ada di Kabupaten Bojonegoro.

Kutukan Sumberdaya Alam atau yang biasa di kenal dengan Resource Curse seringkali hadir di negara atau daerah yang sedang berkembang. Melimpahnya suatu sumber daya di negara atau daerah berkembang justru menimbulkan berbagai masalah. Di negara Afrika Selatan yang terkenal dengan istilah “Blood Diamond”,negara-negara Timur Tengah yang seringkali memperebutkan Sumberdaya Migas dengan kekuatan represif atau yang dikenal dengan “Arab Spring” tentu menjadi contoh penting bagaimana konflik, bencana kemanusiaan dan rendahnya pembangunan ekonomi justru terjadi di negara dengan Sumber Daya Alam melimpah. Hal ini yang di takutkan banyak akademisi di bidang ekonomi dan politik mengenai nasib Bojonegoro ke depan tentang menjawab tantangan dan ancaman tersebut.

Lebih jauh mengenai kutukan sumber daya alam. Di dalam Teori Kutukan sumber daya alam yang dikemukakan M. Sachs, Rosser dan George Soros terdapat 3 konsep dasar bahwa Bojonegoro akan menghadapi suatu tantangan Rent-Seeking (Sewa/Hutang Tertutup), Dutch Disseas (Virus Hantu/Kota Mati)  dan Lemahnya Institusi Pemerintahan. Sedikit menyinggung tentang teori Kutukan sumber daya alam. Bojonegoro akan di hadapkan pada Rent-seeking dengan asumsi pengelolaan sumber daya Migas yang tidak murah dan memaksa pemerintah menarik Investor seluas-luasnya atau meminjam dana dalam jumlah besar untuk pengelolaan Migas. Hal ini tidak menjadi permasalahan bagi penghasilan penjualan Migas dengan catatan harga minyak stabil, namun sampai saat ini menurut hemat penulis belum ada indikator atau ketentuan men-stabilkan harga Migas karena di pengaruhi banyak faktor eksternal seperti kesepakatan pergerakan harga Migas dunia oleh OPEC dan faktor geopolitik-geostrategi bilateral Indonesia di mata dunia. Dengan kata lain, apabila produksi Migas mencapai puncaknya tapi harga minyak sedang turun maka merujuk pada pepatah lokal Bojonegoro yaitu “Muspro” alias kerugian akibat biaya yang di keluarkan tidak sebanding dengan hutang atau return investasi di bayarkan.

Dutch Disseas (Virus Belanda) akan menjadi suatu kenyataan apabila tidak di imbangin dengan arah pembangunan jelas dari Negara atau daerah terkait. Pembangunan yang pesat di Kabupaten Bojonegoro seperti Hotel (Dewarna, Fave, Aston dsb), Tempat Hiburan (Go-Fun, Cineplex) dan Infrastruktur Pendukung Migas seolah menjadi daya tarik tersendiri. Semangat pembangunan tersebut selain menunjukkan Bojonegoro ber daya saing adalah penunjang penting bagi hadirnya Investor serta serapan Tenaga Kerja dalam jumlah besar yang hadir di Bojonegoro. Pemerintah kabupaten Bojonegoro menyediakan berbagai macam infrastruktur menarik dan seringkali bernilai tinggi sebenarnya tidak hanya di dasarkan pada penunjang Migas semata. Melainkan harus di dasarkan pada semangat SDG’S (Sustainable Development Goals). Pertanyaan sederhana adalah apabila Migas yang mencapai masa afkir 10-15 mendatang, akan digunakan untuk apa hotel, tempat hiburan dan penunjang Migas yang saat ini di bangun ?. Hal ini yang di sebut dengan Dutch Disseas atau kota mati yang dibangun dengan megah dan indah namun sepi dan cenderung rawan kerugian.


Transformasi yang kian pesat di era kepemimpinan Bupati Suyoto yang sebentar lagi purna sebagai “Ayah” tentu membawa banyak dampak. Meningkatnya APBD dan IPM sering kali menjadi tolak ukur keberlangsungan pembangunan suatu daerah. APBD Bojonegoro 2015 sebesar Rp2,9 triliun naik menjadi Rp3,58 triliun, atau mengalami lonjakan di atas 20 persen lebih. Tentu membawa kabar baik dan sejumlah pertanyaan sejalan dengan pembahasan kutukan sumber daya alam. APBD dan IPM memang meningkat, tapi kesenjangan kemiskinan semakin melebar. Data BPS menunjukkan angka kemiskinan menurun, tetapi untuk indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan justru mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Indeks kedalaman kemiskinan, sebesar 2.01 persen (2015) menjadi 2.41 persen (2016). Sedangkan indeks keparahan kemiskinan, sebesar 0.42 persen (2015) menjadi 0.54 persen (2016). Hal banyak dinilai akademisi dan pengamat bahwa kemampuan daya beli sangat rendah, sehingga kesulitan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar (Martanto, 2017) Adapun
adanya peningkatan keparahan kemiskinan, menunjukkan kesenjangan di antara masyarakat miskin di Kabupaten Bojonegoro semakin naik. Artinya, distribusi pengeluaran dan kemampuan daya beli masyarakat miskin semakin tidak merata.

Beberapa paparan di atas harapannya menjadi suatu rujukan bagi masyarakat Bojonegoro untuk bersikap. Di beberapa pekan terakhir ini Kabupaten Bojonegoro tengah ramai dalam menyongsong pesta demokrasi Pilkada Serentak yang akan di selenggarakan 2018 nanti. Banyaknya baliho berukuran “gajah”, poster dan stiker terpampang foto bakal calon bupati Bojonegoro nantinya. Semangat memimpin Bojonegoro di ramaikan oleh para calon dengan latar belakang bermacam-macam. Baik akademisi, pengusaha, politisi, tokoh agama bahkan Pesilat turut serta mengencarkan marketing politiknya. Hal tersebut patut di apresiasi dari segi semangat membangun Bojonegoro yang di sadari semua kalangan. Namun, pertanyaan sederhana dari penulis “Sampai dimana kapabilitas dan kemampuan para bakal calon bupati Bojonegoro mampu menjawab tantangan kutukan sumber daya alam ini?”. Jangan sampai semangat pembangunan tersebut hanya berdasar dari besaran APBD yang dapat dikelola pemangku kebijakan mendatang.

Perlunya pemahaman tentang Good Governance dalam penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel ditujukan bagi semua lapisan masyarakat agar ikut andil dalam pembangunan di Kabupaten Bojonegoro dan SDG’S (sustainable development goals) wajib menjadi landasan dalam penentuan kebijakan jangka panjang dan berkesinambungan Selain itu, siapapun bupati terpilih nantinya tidak boleh terlena dengan kemenangan kecil tersebut. Program kabupaten yang bersentuhan dengan kemiskinan harus lebih ditingkatkan lagi. Begitu juga dana-dana desa harus didorong untuk meningkatkan ekonomi masyarakat miskin yang ada di desa. Utamanya desa yang jadi basis kemiskinan dan daerah terdampak Migas untuk meminimalisir terjadinya konflik.

*Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Airlangga Bojonegoro Community S1 Ilmu Politik Universitas Airlangga.

Tag : hadir, negara



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini