Persibo, Marwah dan Kebanggaan
blokbojonegoro.com | Sunday, 17 December 2017 16:00
Oleh: Ichwan Arifin*
It’s not whether you get knocked down, it's whether you get back up (Vince Lombardi). Perjalanan Persibo mengarungi Kompetisi Liga 3 Sepakbola Indonesia menuju kasta yang lebih tinggi, harus terhenti di babak 8 besar selepas kekalahan dari Aceh United, 13 Desember 2017. Jika hanya dilihat dari sudut pandang sempit, hasil itu mungkin mengecewakan. Namun, jika merujuk pada ungkapan legenda American Football Vince Lombardi, yang lebih penting adalah cara bangkit dari “kejatuhan”, karena itu akan memperlihatkan karakter sejatinya. Merujuk hal itu, hasil yang dicapai Persibo patut dibanggakan. Apalagi jika dikaitkan dengan perjuangan luar biasa membangkitan kembali Persibo setelah “kematiannya” yang panjang.
Ibarat Lazarus, orang miskin yang dibangkitkan kembali dari kematian dan hidup dalam kemuliaan. Persibo bukanlah klub sepakbola yang mati dan dibangkitan kembali dengan limpahan kekayaan. Klub harus mengawali kompetisi dengan modal terbatas dalam segala aspek, misalnya dukungan finansial, fasilitas serta infrastruktur pendukung operasional tim, ketersediaan pemain dan sebagainya. Modal yang tersisa tinggal warisan sejarah masa lalu, tekad mengibarkan kebanggaan kolektif dan semangat membangun sepakbola Bojonegoro.
Pasca pemulihan sanksi PSSI, Persibo harus bermain di liga amatir (Liga 3) meskipun statusnya tetap klub profesional. Konsekuensinya, klub harus dikelola secara mandiri. Persibo tidak boleh lagi menerima dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Badan hukumnya juga bukan lagi perkumpulan tapi badan usaha, dalam hal ini bernama PT Semangat Bojonegoro Jaya. Namun, mengelola sepakbola sebagai industri tidak mudah. Atmosfir kompetisi sepabola Indonesia belum mampu menarik pelaku bisnis untuk berinvestasi, misalnya penyertaan modal, sponsorship atau bentuk-bentuk pendanaan lainnya. Klub yang bermain di kasta bawah seperti Persibo, semakin sulit untuk dikomersialkan dan mengundang sponsor.
Pendapatan yang dapat dikelola secara profesional hanya dari tiket pertandingan, itupun tidak besar. Sumber lainnya adalah “suntikan” dana manajemen atau donatur. Sumber tersebut tentu tidak selalu tersedia setiap waktu, sedangkan kebutuhan pembiayaan tim sangat dinamis. Minimnya dana berimplikasi pada terbatasnya ruang gerak manajemen dalam menyusun kerangka tim, seperti rekrutmen pelatih, pemain serta penyiapan fasilitas pendukung dan operasional tim sehari-hari.
Disisi lain, masyarakat atau pihak eksternal dalam melihat Persibo sangat beragam. Di sisi manajemen, terkesan tidak semua personil memiliki visi dan komitmen yang sama dalam mengelola Persibo. Ada yang sampai “berdarah-darah” untuk memastikan Persibo terus berjalan. Namun hal yang sama, mungkin tidak terlihat dari sebagian personil lainnya. Sudut pandang masyarakat juga dapat dipilah sebagai berikut: Pertama, kelompok masyarakat yang mencintai Persibo dengan sepenuh hati dan melihatnya sebagai media mengekspresikan kebanggaan diri, kelompok maupun atas nama daerah. Kategori ini adalah suporter setia dan pihak lain yang mendukung Persibo dalam kondisi apapun. Kedua, sudut pandang yang selalu melihat dalam kacamata negatif, apapun jejak yang dihasilkan Persibo. Ketiga, sudut pandang yang bersuara mengikuti arus “mainstream”, baik “negative tone atau positive tone”.
Tantangan lain, faktor non teknis seperti isu mafia pertandingan, suap dan sebagainya masih juga menghantui pengembangan sepakbola menuju ranah yang profesional. Bahkan isu itu pun juga menyentuh kompetisi di level amatir. Sulit dibuktikan namun dapat dirasakan atmosfirnya. Motifnya beragam, mulai dari aspek ekonomi, dorongan meraih prestasi secara instan dan sebagainya.
Salah satu penyebabnya adalah menempatkan kemenangan dalam pertandingan olahraga sebagai indikator absolut prestasi. Seharusnya prestasi dalam olahraga dimaknai lebih luas dari hal tersebut. Apalagi jika mengacu pada filosofi olahraga yang mengajarkan sportifitas, menjaga marwah atau kehormatan, integritas, anti diskriminasi dan aspek kemanusiaan lainnya.
Karena itu, dengan segala tantangan diatas, keberhasilan Persibo lolos ke putaran 32 besar nasional, dan finis di perdelapan final, merupakan jejak langkah yang membanggakan. Buah kerja keras pemain, pelatih dan manajemen serta dukungan suporter setia yang tak pernah surut. Hal lain yang patut diapresiasi adalah konsistensi Persibo dalam menjaga kehormatan dan kebanggaan, yang dilakukan tidak dengan cara yang justru bertentangan dengan filosofi dan prinsip dasar olahraga. Namun dengan jalan terhormat, karena cara yang dipilih adalah bagian dari kehormatan itu sendiri. Sehingga terasa menyedihkan jika muncul sinisme, cercaan atau hujatan namun juga tidak melakukan apa-apa sekadar menunggu perubahan.
Meski situasi itu juga mudah dipahami, sebagaimana dikemukakan Coach Timo Scheunemann, the biggest problem with Indonesia football is that everything is sitting around waiting for change. Instead they should be making that change. Tidak banyak yang memilih melakukan perubahan. Karena itu, menjadi bagian yang tidak banyak itu adalah sebuah kebanggaan. Selamat untuk Persibo!
*Pencinta Sepakbola, fans Persibo Bojonegoro.
Tag : sepak bola, persibo, aceh
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini