Bojonegoro dari Dalam
blokbojonegoro.com | Monday, 09 April 2018 17:00
Oleh: Ali Ibrohim
Mungkin para pembaca pernah tahu buku berjudul "Pram Dari Dalam". Buku yang berkisah kehidupan pribadi sang legenda itu ditulis langsung oleh adik kesayangan beliau, Susilo Toer. Digambarkan dalam buku tersebut kehidupan sehari-hari pengarang Novel tetralogi Pulau Buru, terutama soal sisi manusia biasa yang penuh dengan kekurangan. Begitu juga, kita harus bisa memandang Bojonegoro yang informasinya Matoh ini dari dalam. Agar, selain bangga dan optimis, harus ada keprihatinan serta kritik membangun atas apa yang terjadi selama ini. Khususnya yang berkaitan dengan pembangunan di zaman eksplorasi dan eksploitasi minyak gas (migas). Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa APBD Bojonegoro menjadi yang tertinggi kedua di Jawa Timur salah satu sebabnya adalah adanya sumber daya alam tidak dapat diperbarui itu.
Pertama, Bojonegoro belum punya solusi pengurangan kemiskinan yang efektif dan efisien. Banyak progam penanggulangan kemiskinan malah datang dari pusat melalui Program Keluarga Harapan (PKH) milik Kementerian Sosial dan Patra Daya dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Kedua, banyak mimpi dan jualan phrase kata. Ingat dengan slogan Bojonegoro melebihi Lamongan. Desa Sehat Desa Cerdas. Masyarakat Bojonegoro Sehat, Cerdas, Produktif dan Bahagia. Beberapa slogan itu informasinya tidak benar-benar digodok dalam Peraturan Daerah yang dilengkapi dengan bentuk program serta indikator keberhasilan menuju slogan/phrase mimpi-mimpi. Jika benar demikian, iti tidak ubahnya iklan sabun mandi atau sabun cuci. Miris sekali.
Ketiga, pembangunan berkelanjutan di bidang penyadaran masyarakat masih kurang. Open Data and Open Goverment yang dibanjiri penghargaan adalah bentuk proses penyadaran publik. Sayangnya tak dibarengi dengan penyiapan sumber daya manusia yang memadai untuk menanggapi serta mengawal maksut dari program tersebut. Orang di desa jika mau disurvei satu persatu, akan lebih banyak yang tak paham dan tak mengurusi Open Government.
Aslinya masih banyak lagi kekurangan di Bojonegoro. Hal tersebut sebaiknya tak dijadikan alat politik untuk menjatuhkan kelompok tertentu. Begitu juga keberhasilan yang dicapai tak terlalu diakui sendiri sebagai kinerja satu orang, dua orang atau satu kelompok. Toh, yang bayar pajak orang banyak. Termasuk rakyat (buruh, tani dan kelompok miskin lainnya).
Lalu apa yang bisa dikerjakan setelah melihat beberapa fakta tersebut. Dunia pergerakan mahasiswa maupun kaum intelektual organik masih tersandera oleh perbedaan bendera. Bahkan, mereka sering terpecah belah oleh sudut pandang, cara pandang dan jarak pandang yang tak sama. Padahal, tujuan awalnya sama. Membawa kesejahteraan yang berkelanjutan pada masyarakat dengan pemberdayaan serta partisipasi.
Tawaran saja. Pemerintah Kabupaten sebagai pemimpin pembangunan harus mampu mengordinir seluruh kekuatan yang ada dengan mempedomani asas demokrasi, ilmiah dan berpihak pada rakyat. Siapakah rakyat? Buruh, tani, rakyat miskin dan kelompok rentan lainnya. Bukan pemodal. Soal demokrasi dan ilmiah tidak perlu dijelaskan. Sebab, orang di pemerintahan sudah banyak yang sarjana dan semestinya paham betul dengan dua kata tersebut.
Pada intinya, pembangunan terpadu yang berkelanjutan dan merata adalah kunci. Bukan hanya soal dana abadi. Pendidikan politik, kebudayaan dan penguatan ekonomi rakyat adalah lebih penting. Mungkin juga pemerintah perlu memperhatikan aspek filosofis untuk membedakan material, subtansial dan esensial dalam pembangunan.
*Guru MDH di MA Sabilul Muttaqin Margoagung dan petani desa.
Tag : kolom, bojonegoro
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini