Jl. Desa Sambiroto, Kec. Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Melawan yang Diganjar Pahlawan

blokbojonegoro.com | Saturday, 10 November 2018 09:00

Melawan yang Diganjar Pahlawan

Oleh: MK ROSYID*

“Jika ingin perdamaian, maka berperanglah,” Ronald Reagan. Penggalan kalimat itu muncul pada film Dilan 1991 yang ditempel di dinding kamarnya. Ya, Dilan selama di sekolah dikisahkan sebagai siswa petarung. Suka melawan. Bahkan, Pak Suripto yang galak pun dilawannya meski beresiko.

Seiring perkembangan zaman, bentuk perang perlahan telah berevolusi. Dari sebelumnya perang fisik sejak abad sebelum masehi, abad 21 bentuk perang dari fisik beralih ke perang ideologi, psikis, ekonomi dan budaya. Kecuali di sebagian Timur-Tengah, yang masih terjadi perang fisik akibat konflik etnis dan ekonomi. Sarananya pun juga berbada. Sains dan teknologi kini menjadi sarana utama untuk melanjutkan peperangan yang sejak dulu ada. Hoaks misalnya, penjajahan informasi yang terus harus dilawan sebagai penjajahan dengan bentuk kebohongan informasi melalui sarana teknologi telekomunikasi.

Dari beberapa kisah para pahlawan tidak bisa dilepaskan dari sebuah perlawanan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perlawanan adalah sebuah proses melawan. Jadi, melawan merupakan usaha merubah suatu keadaan. Jika perlawanan itu dilakukaan terhadap keadaan yang tidak adil, maka perubahan yang ingin dicapai adalah kondisi dan tata kelola keadilan.

Jika perlawanan adalah proses melawan. Berarti ada yang dilawan. Jika ada yang dilawan, berarti ada lawan. Dulu, bangsa ini melawan karena penjajahan. Yang dilawan penjajah. Apa yang dijajah? Kemanusiaan. Kemanusiaan yang seperti apa yang dijajah? Kemanusiaan yang tidak memanusiakan manusia. Apa yang terjadi dari tindakan yang tidak berprikemanusiaan? Ketidakadilan. Ketidakadilan yang seperti apa wujudnya? Keadilan sosial dan ekonomi.

Sebab dari berbagai kondisi tersebut, muncullah perlawanan. Yang melawan putra bangsa negeri ini dengan cita-cita mewujudkan kemerdekaan manusia, dan kemudia negara.  

Tampaknya, perlawanan terhadap ketidakadilan itulah yang sering dicatat oleh sejarah. Sementara perlawanan semacam yang justru bertentangan dengan nilai keadilan, malah dianggap pemberontak. Bukan pejuang atau pahlawan. Perlawanan juga macam-macam bentuknya. Ada yang melawan dengan perang secara fisik. Ada yang melawan tanpa perlawanan fisik. Jadi, perlawanan tidak harus berupa perlawanan fisik. Sejak dulu perlawanan tanpa menggunakan bentrok fisik juga sudah pernah ada kok.

Jika menengok perlawanan bangsa ini dari penjajahan, polanya bermacam-macam. Ada yang menggunakan perlawanan fisik seperti yang dilakukan Bung Tomo di Surabaya. Ada perlawanan dengan tanpa melawan secara fisik, misalnya seperti yang dilakukan Samin Surosentiko yang dilakukanya bersama-sama suku Samin. Juga Mahatma Ghandi di India saat melawan penjajaha Inggris. Ada pula perlawanan dengan membentengi diri dengan kekuatan moral dan ideologi, seperti yang dilakukan para kiai dan para guru mengajarkan murid di pesantren dan sekolahan.

Telah banyak dikisahkan bagaimana perlawanan Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Soekarno, Cokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, hingga Bung Tomo. Bahkan, di wilayah Blora dan Bojonegoro ada perjuangan Samin Surosentiko melawan penjajahan pada masanya. Mereka ada yang diganjar gelar kepahlawanan oleh negara, ada pula yang cukup hanya dikagumi sebagai pahlawan yang hingga kini masih diteladani oleh penerusnya.

Melawan dari Bojonegoro

Perlawanan bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Apalagi di era digital sekarang tidak terbatas ruang dan waktu. Selama di dalamnya terdapat unsur ketidakadilan dan penindasan. Di Bojonegoro, masih banyak realitas sosial yang perlu dilawan. Perlawanan yang dimaksud adalah merubah kondisi suatu masyarakat dari keadaan sekarang menjadi kondisi yang lebih baik.

Terbaru, adanya 72 desa yang tersebar di 18 kecamatan di Kabupaten Bojonegoro masih kekurangan air bersih. Data itu sebagaimana yang dikeluarkan Badan Penaggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro yang diberitakan blokBojonegoro.com; https://blokbojonegoro.com/2018/11/02/haah-saat-kemarau-72-desa-butuh-air-bersih/. Faktanya, air yang menjadi kebutuhan hajat utama manusia di Bojonegro masih mengalami kelangkaan di sebagian desa. Padahal, Bojonegoro dari ujung barat sampai ujung timur dilewati Bengawan Solo yang dialiri air sepanjang hari. Di wilayah selatan ada waduk Pacal di Kecamatan Gondang.

Itu memang permasalahan tahunan yang selalu muncul. Namun, hingga tahun ini belum ada tindakan yang meringankan beban masyarakat di wilayah yang jauh dari bantaran bengawan Solo. Pembangunan embung desa di beberapa wilayah juga belum memberikan dampak signifikan bagi kebutuhan air masyarakat.

Dari sisi indeks pembangunan manusia (IPM) di Kabupaten Bojonegoro misalnya, masih belum mampu tembus di angka 70 persen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, IPM manusia pada 2017 berada di angka 67,28 persen. Artinya, IPM Kabupaten Bojonegoro masih bertahan di kategori sedang.

Dengan postur APBD 2018 di angka Rp3,4 triliun, atau bisa dikategorikan Kabupaten Bojonegoro merupakan salahsatu kabupaten dengan APBD tinggi di Jawa Timur. Bahkan tahun depan, sebagaimana diberitakan blokBojonegoro.com pada 7/9/2019 APBD Kabupaten Bojonegoro ditargetkan mencapai Rp3,6 triliun.

Boleh  disimpulkan, jika dilihat dari postur APBD sekian besar, Kabupaten Bojonegoro sudah layak tembus 70 persen dalam angka IPM. Dimensi IPM sendiri mencakup tiga dimensi dasar manusia, yakni mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak.

Kiranya tiga dimensi itu yang perlu kita lawan agar terdapat perubahan yang lebih baik. Perlawanan terhadap kemiskinan dan kebodohan, itulah tugas utama Kabupaten Bojonegoro ke depan. Seluruh elemen perlu terlibat dalam perlawanan ini, agar semuanya  menjadi subyek minimal bagi dirinya sendiri. Sudah tidak zamannya lagi perlawanan dengan kekerasan fisik. Perlawanan bisa dilakukan melalui kontribusi dan gagasan, kritikan atau pengabdian masyarakat lainnya.

Memang perjuangan melawan kemiskinan dan kebodohan itu berat. Seberat Dilan yang merindukan Milea mungkin. Untuk itu, perjuangan melawan kemiskinan dan kebodohan ini tidak bisa dilakukan sendiri seperti Dilan yang merindukan Milea, harus dilakukan bersama-sama. Kalau tidak bisa menjadi pahlawan bagi bangsa dan negara, ya, minimal jadi pahlawan bagi Milea-mu, lah.

*Penulis adalah mantan aktifis Forum Komunikasi Mahasiswa Bojonegoro (FKMB) UIN Sunan Ampel Surabaya/sekarang politisi muda DPC PKB Bojonegoro.

Tag : MK Rosyid, pahlawan



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini