Jl. Desa Sambiroto, Kec. Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Pancasila versus Agama

blokbojonegoro.com | Monday, 17 February 2020 13:00

Pancasila versus Agama

Oleh: Ichwan Arifin* 

Isu Pancasila dihadapkan secara konfrontatif dengan agama kembali mengemuka. Salah satu pemicunya adalah pernyataan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyu tentang agama sebagai musuh Pancasila yang menuai banya kritik dan kecaman. Meskipun Yudian sudah mencoba menjelaskan pernyataan tersebut, namun isu sudah terlanjur bergulir di publik.

Namun sebenarnya, pernyataan Ketua BPIP tersebut dapat dikaitkan dengan problem intoleransi yang bersentuhan dengan praktek keberagamaanAkhir-akhir ini semakin mengemuka. mulai dari aksi perusakan makam dengan simbol agama tertentu, penolakan pembangunan rumah ibadah, penolakan kelompok masyarakat terhadap penempatan pejabat yang berbeda agama hingga aturan yang memuat diskriminasi pada keyakinan tertentu.

Fenomena mengerasnya politik identitas telah membuka ruang politisasi agama, dan tentu yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah aksi teror berlabelkan agama. 

Situasi saat ini sepatutnya menjadi momentum refleksi bersama dalam melihat Pancasila. Termasuk mencakup narasi kebangsaan, keberagaman/pluralisme maupun kehidupan keberagamaan. Dalam konteks ini, hal mendasar yang perlu dipahami, Pancasila adalah fundamen, filsafat dan dasar negara (philosofishce grondslag/weltanschauung). Jadi sudah sangat jelas kalau Pancasila itu bukan agama. Bukan pula preskripsi moral individu setiap warga negara. Karena itu, tidak perlu dan tidak tepat kalau kemudian Pancasila dan agama saling dihadap-hadapkan. 

Pancasila sebagai dasar negara mengatur “budi pekertinya negara”, bukan mengurusi moral dan budi pekertinya setiap warga negara. Pancasila juga tidak juga mengurusi isi ajaran agama dan keyakinan setiap warga negara. 

Pengamalan Pancasila harus terwujud dalam pembuatan regulasi negara seperti undang-undang dan peraturan lainnya. Manifestasi lainnya tergambar dalam prioritas, praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara.  Apakah kedua hal tersebut  sudah sejalan dengan sila-sila Pancasila atau belum, itulah ukuran untuk menilai apakah negara ini telah atau belum mengamalkan Pancasila. 

Dalam konteks isu intoleransi, rakyat patut dan berhak mempertanyakan sikap dan kehadiran negara. Terutama terkait dengan fenomena aksi sepihak oleh sebagian anggota masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya yang berbeda dalam keyakinan dan kehidupan keberagamaannya.  

Idealnya, negara harus hadir dalam momen tersebut. Namun tidak dalam rangka mencampuri isi ajaran agama, tapi untuk menjamin bahwa setiap warga negara dapat menjalankan keyakinan agamanya dengan nyaman dan aman. Sehingga tidak boleh ada persekusi, pelarangan, pemaksaan atau tindakan sepihak. Negara juga berkewajiban memastikan tidak ada diskriminasi dalam kehidupan sosial maupun dalam tata kelola penyelenggara kekuasaan negara. 

Karena itu, sangat memprihatinkan jika pada sebagian kasus intoleransi, negara dirasakan tidak hadir atau justru dianggap menjadi bagian kelompok intoleran.  

Karena itu cara merawat Pancasila adalah melalui kebijakan penyelenggaraan negara yang sejalan dengan nilai-nilai dalam ideologi tersebut. Bukan dengan cara lain seperti, mistifikasi Pancasila, menakut-nakuti rakyat lewat ancaman ideologi lain (misalnya; komunisme) ataupun menghadap-hadapkan secara konfrontatif dengan agama. 

Menarasikan kembali Pancasila dalam setiap retorika politik hanya akan mengulang praktik rejim Orba yang menempatkannya sebagai legitimasi kekuasaan belaka. Kita harus belajar dari masa lalu. Misalnya indoktrinasi dan monopoli tafsir Pancasila oleh Rejim Orba. Aparatus negara fasih mengucapkan Pancasila, namun praktek penyelenggaraan negara bicara sebaliknya. 

Namun di sisi lain juga harus dipahami bahwa ekstremitas ideologi, termasuk ideologi berbasis agama juga berpotensi menyeret bangsa ini dalam perpecahan, konflik dan kesengsaraan, misalnya kelompok puritan anti perubahan seperti Taliban, Al Qaeda dan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Hasilnya otoritas teror, kebencian dan kebengisan. 

Patut pula direnungkan ungkapan Goenawan Mohamad, agama, sebaiknya tidak mengklaim untuk menjadi petunjuk praktis pengubah dunia. Semangat agama yang paling dasar adalah menimbang hidup sebagai yang masih terdiri dari misteri. Memang ada orang agama yang seperti kaum Marxis, menyombongkan bahwa “segala hal sudah ada jawabnya pada kami”, tapi pernyataan itu menantang makna doa dan mematikan ruh religius itu sendiri. Sebab dalam doa, kita hanya debu.

***

*Pegiat Sanggar Kebangsaan dan Alumnus Pasca Sarjana UNDIP

 

Tag : Pancasila, agama, toleransi.



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini