Sebait Cerita Tentang Puasa dan Corona
blokbojonegoro.com | Sunday, 26 April 2020 18:00
Oleh: Ichwan Arifin
Puasa kali ini terasa jauh berbeda. Tidak banyak masjid menggelar salat berjamaah, termasuk salat tarawih yang biasanya dilakukan sepanjang Ramadan. Kegiatan lain seperti kajian Alquran, iktikaf dan aktifitas keagamaan yang banyak dilakukan selama Ramadan pun tidak banyak ditemukan. Tidak terlihat pedagang yang menjual makanan berbuka puasa dan sahur, atau relawan yang membagikan takjil. Tidak ada lagi acara buka puasa bersama yang biasanya digelar oleh beragam instansi pemerintah, swasta atau organisasi lainnya.
Semua berubah karena kehadiran makhluk yang diberi nama Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Sejak pemerintah mengumumkan adanya kasus positif covid-19 di Indonesia, praktis kehidupan tidak lagi sama. Pada awalnya, masyarakat relatif tenang. Namun arus informasi tentang virus itu yang tak terbendung membuat respon masyarakat terutama kelas menengah atas, semakin eskalatif.
Panic buying sempat terjadi. Mulai dari hand sanitizer, tissue, masker sampai bahan makanan pokok sulit dicari di gerai pertokoan atau supermarket. Tanpa disadari, perilaku tersebut telah mengorbankan orang lain. Panic buying membuat harga melambung tinggi serta kekosongan stok barang. Kalau toh ada, harganya juga sudah melambung di atas harga biasanya. Pemerintah yang mencoba bersikap tenang, justru dinilai lamban.
Kepanikan itu juga mendorong mereka mengkampanyekan lockdown dan social distancing. Seolah jika pemerintah menerapkan lockdown, maka covid-19 akan selesai. Bagi kelompok ini, jika lockdown diterapkan, mereka akan merasa aman dari potensi penularan virus. Aman pula dari potensi kekurangan logistik, karena dengan sumber daya yang dimiliki mampu memborong kebutuhan bahan pokok dan menyimpannya. Aman juga dari kebutuhan mencari nafkah, karena dapat bekerja dari rumah. Masih punya waktu juga membuat status di media sosial, mengkampanyekan lock down, stay at home atau berdebat soal bedanya pulang kampung atau mudik.
Mereka lupa bahwa masih banyak anggota masyarakat lainnya yang tidak beruntung secara sosial ekonomi. Bahkan sebelum corona datang, sudah harus berjuang di luar rumah untuk mencari nafkah dan bertahan hidup. Kondisi sakit juga tetap harus keluar rumah untuk bekerja. Karena memang pekerjaannya tidak bisa dilakukan di rumah, seperti tukang becak, ojek, pedagang keliling dan sebagainya. Karena itu, kampanya lockdown tidak terlalu laku dikelompok masyarakat bawah.
Sebagian diantaranya mungkin beranggapan virus ini lebih banyak berjangkit di kalangan menengah atas yang mobilitasnya tinggi dan interaksi sosialnya jauh melampui batas yang kelas bawah miliki. Keputusan pemerintah untuk tidak menerapkan lockdown sangat tepat dan menggantinya dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku di beberapa daerah sudah tepat. Keputusan lainnya seperti larangan mudik tapi mengijinkan pulang kampung, serta peluncuran program bantuan sosial, juga patut diapreasisi. Karena isu sosial seperti kemiskinan dan penggangguran dipastikan meningkat sebagai dampak perusahaan yang menghentikan operasi dan merumahkan pekerjanya. Jika di PHK, tentu tidak ada pilihan lain bagi kelas pekerja tersebut untuk pulang ke kampungnya.
Kembali bicara Ramadan, apakah corona membuat puasa berubah? Secara substansi sih tidak. Hukumnya puasa dan salat tetap sama. Hal yang sedikit beda misalnya; dari semula salat tarawih berjamaah di masjid, berganti menjadi salat sendiri atau berjamaah dirumah, itu saja.
Apalagi jika ibadah dimaknai bagian dari spiritualitas, tentu substansinya tidak berubah. Namun rasa batinnya dapat berubah karena spiritualitas itu bersifat dinamis. Spiritualitas itu suatu ruang batin sekaligus sebuah perjalanan. Bukan tempat pemberhentian, bukan pula tempat yang akan dituju.
Spiritualitas tidak hanya memberikan pengalaman rohani dan hubungan yang paling dekat antara manusia dan pencipta Nya, namun juga dalam konteks manusia dan kehidupan sosialnya.
Karena itu, beribadah di rumah bukan berarti meneguhkan langkah sunyi menggapai kenikmatan ibadah untuk dirinya sendiri. Beribadah di rumah justru harus semakin membuat daya lenting kesalehan sosial kita semakin kuat. Karena yang dapat bekerja dan beribadah di rumah di rumah adalah orang-orang yang lebih beruntung dari yang lain, yang masih harus berjuang di luar rumah.
Saat ini memang banyak yang beribadah untuk menggapai kenikmatan sendiri sehingga cenderung bersikap egois, selayaknya hendak memonopoli surga. Saya pun mengalaminya, saat Tuhan memberi kesempatan untuk umroh. Egoisme saya muncul saat berebut tempat di Raudhatul Jannah, tempat berdoa paling mujarab, berdesakan untuk menyentuh Ka’bah atau mencium Hajar Aswad. Bahkan tanpa kita sadari, ungkapan seperti nikmat sekali ketika umroh, mudah terhanyut menjadi egoisme spiritual untuk mencapai kenikmatan sendiri.
Mengutip Roy Murtadho dalam Islam Bergerak, ibadah-ibadah tersebut terjatuh hanya sebatas kenikmatan yang tak jauh beda dengan rekreasi. Jika merujuk pada istilah hedonisme dalam terminologi non-filsafat, yang menyamakan kebahagiaan dengan kenikmatan dan menempatkannya sebagai tujuan hidup. Maka laku ibadah kita pun dapat terjebak ke dalam hedonisme spiritual.
Nah, apakah ibadah puasa kita dimasa pandemi corona ini, masih akan egois? Jika kita mengkampanyekan stay at home, beribadah di rumah dan sebagainya, tapi lalai dengan saudara-saudara kita yang tidak beruntung secara sosial ekonomi, maka sangat mungkin laku ibadah kita masuk dalam kategori hedonisme spiritual.
Apakah dengan menyantuni kaum miskin sudah cukup dalam ibadah? Laku keagamaan yang bersifat membebaskan, tidak hanya berhenti pada menyantuni orang miskin atau bicara kekafiran, sorga dan neraka. Namun lebih dari itu, sebagaimana dikutip dari beberapa tokoh pemikir Islam seperti Hasan Hanafi dalam jurnal Al-Yasar Al-Islami, atau Asghar Ali Engineer, menafsirkan Islam sebagai teologi pembebasan. Salah satu caranya, mengartikulasikan agama berkelindan dengan situasi, sejarah dan keprihatinan terhadap kaum miskin dan tertindas.
Meskipun hal itu juga tidak mudah dan beresiko, salah satunya sebagaimana dikemukakan Helder Camara, when I give food to the poor, they call me a saint. When I ask why the poor have no food, they call me a communist. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan 1441 H.
Ichwan Arifin, Penulis lepas, dapat disapa di ichwan.arifin.ia@gmail.com.
Tag : Corona, Waspada, bojonegoro
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini