Tantangan Relaksasi Pendidikan
blokbojonegoro.com | Sunday, 13 September 2020 12:00
Oleh: Ninik Hartati*
Situasi pandemi Covid 19 belum berakhir, data menunjukkan bahwa setiap hari jumlah pasien di Indonesia yang positif terpapar virus ini terus bertambah. Berbagai upaya dan kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi persebaran Covid 19, namun hingga saat ini upaya tersebut belum juga berhasil seratus persen. Sulitnya penanganan masalah ini bukan hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi semua negara juga mengalami kendala dan kesulitan untuk menghentikan persebaran virus yang satu ini, karena sejatinya ketika kita berbicara mengenai penanggulangan Covid 19, maka semua negara harus menghadapi dua permasalahan sekaligus yaitu menjaga kesehatan dan keselamatan masyarakat serta menjaga stabilitas ekonomi dari ancaman resesi.
Sebuah pilihan yang dilematis. Jika ingin meminimalisir persebaran Covid 19, maka cara yang dianggap paling ampuh adalah dengan cara mentaati protokol kesehatan dan menerapkan pembatasan aktivitas masyarakat atau menerapkan sistem lockdown. Cara ini terbukti efektif untuk membantu mencegah perebaran Covid 19. Namun di sisi lain, ketika aktivitas masyarakat dibatasi maka efek domino dari kebijakan ini mulai dirasakan oleh masyarakat. Dunia bisnis terlihat lesu, sektor pariwisata tidak bisa beropersi, aktivitas perdagangan juga sepi termasuk proses pendidikan untuk anak bangsa juga tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Tidak ingin masalah berlarut-larut dan menyadari adanya ancaman bahaya berupa resesi ekonomi, maka beberapa waktu lalu pemerintah sedikit demi sedikit melonggarkan kebijakan pembatasan sosial. Perkantoran, perdagangan dan beberapa aktivitas bisnis yang lain mulai diperbolehkan untuk dijalankan oleh masyarakat meskipun di bawah tatanan protokol kesehatan yang ketat, termasuk wacana untuk menjalankan dan memulai proses pembelajaran dengan sistem tatap muka atau dikenal dengan istilah relaksasi pendidikan.
Rencana memulai uji coba pembelajaran dengan sistem tatap muka ini tertuang dalam Surat Keputuan Bersama (SKB) antara Kemdikbud, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan dan Koordinator Gugus Tugas penanganan Covid 19 pada pertengahan Juli kemarin yang pada intinya sekolah boleh menerapkan sistem pembelajaran dengan tatap muka asalkan memenuhhi beberapa persyaratan, diantaranya : sekolah berada di zona hijau, mendapatkan izin dari pemerintah daerah setempat, siap menerpakan protokol kesehatan secara ketat dan mendapatkan persetujuan siswa melalui orang tua atau wali murid mereka.
Keputusan telah diambil, beberapa sekolah (baca: yang merasa memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan) telah melaksanakan uji coba pelaksanaan pembelajaran tatap muka. Sebagai bahan evaluasi, beberapa minggu ini khalayak disuguhkan oleh pemberitaan diberbagai media mengenai meningkatnya persebaran Covid di Indonesia. Bahkan beberapa daerah yang semula sudah berada pada zona kuning (resiko rendah), harus kembali menjadi daerah zona oranye (resiko sedang) atau bahkan kembali menjadi zona merah (resiko tinggi). Jakarta mulai ancang-ancang untuk menerapkan kembali pembatasan sosial karena jumlah pasien pengidap Covid 19 di daerah ini sudah melebihi batas rata-rata WHO, Bogor kembali menerapkan PSBB dan jam malam seiering melonjaknya pasien positif Covid 19, bahkan beberapa waktu yang lalu kabupaten Tuban juga kembali masuk menjadi zona merah (Radar Bojonegoro, 30 Agustus 2020).
Pesan yang tersurat, Covid 19 belum sirna, bahkan tidak menutup kemungkinan tercipta “corona jilid II” mengingat baru-baru ini muncul pemberitaan mengenai mutasi virus corona D614G yang disinyalir telah ditemukan di Yogyakarta dan Jawa Tengah dan beberapa daerah lain di Indonesia.
Menurut Pokja Genetik FKKMK Universitas Gajah Mada (UGM), mutasi D614G pada virus SARS-CoV-2 ini mempunyai daya infeksius 10 kali lebih tinggi sehingga jika kita semua tidak waspada, maka bukan tidak mungkin kita akan dihadapkan pada situasi yang lebih buruk lagi.
Relaksasi pendidikan harus aman
Menyadari ancaman bahaya yang menyertai pelaksanaan relaksasi pendidikan membuat pemerintah sangat berhati-hati dalam menerapkan langkah ini. Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri bahkan telah melaksanakan rapat koordinasi dengan seluruh pemimpin atau kepala daerah yang intinya menghasilkan keputusan bahwa pada masa pandemi ini, kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat secara umum tetap menjadi yang utama, namun pemerintah juga tetap memperhatikan dan mempertimbangkan tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial dalam upaya pemenuhan layanan Pendidikan anak bangsa. Intinya pemerintah memberikan fleksibilitas kepada pihak sekolah selaku lembaga penyelenggara pendidikan (baca: di daerah zona hijau dan kuning) untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan catatan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan., namun jika sewaktu-waktu daerah tersebut kembali menjadi zona oranye atau merah, maka proses pembelajaran tatap muka wajib ditutup kembali.
Dengan tetap memperhatikan kondisi kesehatan masyarakat dan tanpa mengurangi hak-hak layanan pendidikan untuk anak bangsa, maka harus ada win-win solution dalam proses pelaksanaan relaksasi pendidikan. Beberapa pihak terkait juga harus membantu menjamin terwujudnya relaksasi pendidikan yang aman, dintaranya : Pertama, Pemerintah Daerah. Sebagaimana Instruksi presiden beberapa waktu yang lalu bahwa pemerintah daerah melalui dinas terkait harus mampu menyeimbangkan antara rem dan gas. Analogi rem dan gas ini mengandung maksud gas adalah kebijakan untuk membantu memulihkan perekonomian nasional, sedangkan rem mengarah kepada upaya menenekan atau menghentikan persebaran Covid 19.
Di sini Pemerintah daerah harus jeli memandang situasi kapan harus menginjak gas, dan kapan harus menginjak rem, termasuk dalam memberikan izin pelaksanaan relaksasi pendidikan; Kedua, Orang tua. Restu atau persetujuan orang tua juga menjadi sesuatu yang vital dalam penyelenggaraan relaksasi pendidikan, karena menurut Menteri Pendidikan jika orang tua tidak memberikan izin dan masih mengkhawatirkan kondisi yang ada, maka siswa tetap diperbolehkan melaksanakan pembelajaran dari rumah. Disnilah kejelian dan kebijaksanaan orang tua siswa di uji, jangan hanya karena bosan melihat anak belajar di rumah dan dianggap merepotkan orang tua, lalu tanpa berfikir panjang memberikan izin untuk belajar tatap muka tanpa melihat perkembangan situasi dan kondisi yang ada.
Ketiga; Tokoh masyarakat. Peran tokoh masyarakat sangat diperlukan untuk mengedukasi masyarakat secara persuasif bahwa situasi pandemi masih terjadi dan masyarakat harus tetap disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan dan jangan menganggap bahwa Covid telah berlalu sehingga membuat masyarakat mengabaikan dan menganggap telah aman menjalakan segala aktivitas sebagaimana sebelum terjadinya pandemi.
Persamaan persepsi, komunikasi, dan kerjasama yang sinergis antara beberapa pihak terkait selaku pemangku kebijakan diharapkan mampu menjamin dan mewujudkan pelaksanaan relaksasi pendidikan yang aman dan jangan sampai upaya relaksasi pendidikan justru menjadi bumerang bagi kita semua dan mengarahkan kita ada situasi pandemi jilid dua.
*Guru SMA Negeri 1 Gondang, Bojonegoro
Tag : Pendidikan, pandemi, opini
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini