Jl. Desa Sambiroto, Kec. Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Mitos Larangan Bagi Pendaki Gunung Lawu

Pendaki Bojonegoro : Yang Terpenting Adalah Menjaga Etika

blokbojonegoro.com | Saturday, 14 November 2020 19:00

Pendaki Bojonegoro : Yang Terpenting Adalah Menjaga Etika

Reporter: Muhammad Qomarudin
 
blokBojonegoro.com - Mitos warga Bojonegoro dan Cepu (Blora)  “Dilarang” naik ke Gunung Lawu, kembali santer diperbincangkan. Destinasi pendakian para petualang yang menyimpan aura mistis ini konon menolak warga dari dua daerah itu, bahkan jika mitos larangan itu dilanggar akan mendapatkan sebuah musibah.
 
Lahirnya mitos ini, memang ada beberapa sudut pandang berbeda yang menyebutkanya. Namun, Gunung dikenal cukup sakral itu, berhubungan dengan keberadaan Raja terakhir Kerajaan Majapahit, yaitu Prabu Brawijaya V (Prabu Kartaning Bumi) yang konon Moksa di sana.
 
Terlepas cerita awal lahirnya mitos ini, mitos tersebut hingga kini masih berkembang di tengah masyarakat khususnya bagi kalangan para pendaki. Menanggapi hal itu, salah satu pendaki asal Bojonegoro Khusnul Fiton mengungkapkan bahwa antara percaya dan tidak percaya dengan adanya mitos tersebut.
 
Pemuda yang berasal dari Kecamatan Balen tersebut mengaku sudah dua kali mendaki gunung yang terletak di antara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Dalam perjalanya 'Muncak' ke Gunung Lawu tersebut, tidak terkendala (Musibah) apapun.
 
"Saya sudah dua kali melakukan pendakian ke Gunung Lawu, pertama pada tahun 2016 bersama 9 teman saya, yang kedua bersama 1 teman saya dan semuanya juga berasal dari Bojonegoro semua, dan alhamdulillah tidak menemukan kendala apapun," ujarnya, Sabtu (14/11/2020).
 
Terkait adanya mitos itu, bisa mempercayainya atau tidak, tergantung dari sudut pandang masing-masing dalam menyikapinya. Yang terpenting menurut pemuda kelahiran 1997 silam ini, adalah yakin terhadap tuhan yang maha esa.
 
Di samping itu, keamanan (Safety) dan bekal juga menjadi hal yang utama yang harus dipersiapkan oleh para pendaki. Serta, juga harus melihat kondisi kesehatan dan juga medan yang ada.
 
"Awalnya juga sempat was-was ketika akan berangkat kalau mendengan mitos yang ada, tetapi sebelumnya melihat teman saya asal Bojonegoro juga pernah mendaki ke Gunung Lawu dan tidak apa-apa, intinya ketika disana  harus menataani anjuran yang ada, karena kalau menengok sejarah yang ada semua gunung merupakan tempat yang sakral," jelasnya kepada blokBojonegoro.com.
 
 
Hal senada juga diungkapkan oleh pendaki lainya asal Bojonegoro, yaitu Arifin, pemuda berasal dari Desa Padang, Kecamatan Trucuk ini. Bahkan, ia sudah 3 kali mendaki Gunung Lawu, pertama, pada tahun 2016, kedua tahun 2018 dan yang terakhir pada pertengahan tahun 2020 lalu. Dalam perjalanannya, ia juga tidak menemukan kendala yang begitu berarti.
 
"Yang pertama saya berangkat bersama 13 orang, yang kedua dan ketiga bersama 5 orang dan semuanya juga berasal dari Bojonegoro," terangnya.
 
Dirinya menceritakan awal pertama berangkat ke Gunung Lawu, dalam perjalananya menuju Gunung Lawu ia sebenarnya sempat bimbang lantaran kendaraan yang ia tumpangi mengalami pecah ban diperbatasan Kabupaten Bojonegoro - Ngawi. Namun, ia bersama rombonganya tetap melanjutkan perjalanan.
 
Tak berhenti di situ saja, saat proses pendakian temanya merasakan hal yang janggal, seperti mendengarkan suara yang tidak ada wujudnya, mencium bau bunga hingga merasakan keanehan lainya. Akan tetapi, temannya baru menceritakan setelah selesai mendaki.
 
"Saat berada di pos keamanan kita memang diberi arahan kepada petugas, terkait beberapa pantangan seperti dilarang berbicara tidak pantas, memakai baju/barang berwarna hijau dan juga himbaun dilarang naik bagi pendaki perempuan yang sedang halangan atau menstruasi, dan kebetulan ada salah satu rombongan yang sedang halangan, tetapi tetap melakukan pendakian dan alhamdulillah tidak terjadi apa-apa," terangnya.
 
Terkait mitos yang berkembang di masyarakat, tentang larangan mendaki bagi masyarakat Bojonegoro dan Cepu, Arifin mengatakan bahwa dikembalikan kepada masing-masing orang. Adanya mitos menurutnya, harus dihormati dan bukan dilawan ataupun meremehkanya.
 
"Yang terpenting kita harus bisa menjaga etika, terkait adanya musibah digunung hingga merenggutnya nyawa, saya kira tidak terjadi bagi keturun asal Bojonegoro dan Cepu saja, tetapi dari masyarakat umum juga banyak," pungkasnya.[din/ito]


Tag : mitos, pendakian, gunung, lawu, magetan, ngawi



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini