Tradisi Ritual Ijuk Nganten di Sraturejo Tetap Lestari hingga Kini
blokbojonegoro.com | Saturday, 15 June 2024 20:00
Sepasang Pengantin, Dhika dan Iffa melakukan tradisi Ijuk Nganten. (Foto: blokBojonegoro.com/Rizki)
Reporter: Parto Sasmito
blokBojonegoro.com - Sepasang calon pengantin berjalan kaki diarak dari rumah menuju ke masjid untuk melaksanakan prosesi ijab kabul (akad nikah). Setelah sah menjadi pasangan pengantin, dengan naik becak yang dihias janur kuning, pasangan pengantin kembali diarak, namun kali ini menuju Sumur Nganten.
Di sana, pada sebuah wadah yang berbentuk sumur berisi air penuh, juru kunci menyiramkan air dari dalam wadah ke kaki pasangan pengantin, selanjutnya tangan, dan membasuh muka. Setelah para pengantin, para pengiring juga banyak yang ikut memakai air dari sumur untuk cuci tangan maupun membasuh muka.
Usai prosesi itu, rombongan pengantin kembali pulang untuk melanjutkan acara resepsi di rumah.
Kegiatan itu, menjadi tradisi bagi warga Dusun Grenjeng Desa Sraturejo, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur bagi pasangan pengantin baru yang disebut dengan Ijuk Nganten.
Ijuk dalam bahasa Jawa dialek setempat bermakna membasuh, menyiram anggota tubuh dengan air bersih. Nganten dalam kaitan ini adalah sepasang pengantin baru yang selesai melaksanakan ikrar nikah (ijab-kabul atau akad nikah).
Juru Kunci Sumur Nganten, Sri Utami mengatakan, siapapun pasangan lelaki dan perempuan warga Dusun Grenjeng dan sekitarnya yang sudah resmi menjadi suami-isteri dengan status pengantin baru seolah wajib menjalani prosesi "Ijuk Nganten".
Tradisi ritual bagi pengantin baru ini harus dilaksanakan di lokasi petilasan Sumur Nganten, Dusun Grenjeng, Desa Sraturejo, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur.
"Saat musim nikah, seperti Malam Songo (Malam ke-29) di Bulan Ramadan, setelah akad nikah pasti juga Ijuk Nganten di sini. Bahkan sampai tengah malam. Karena banyak yang nikah di malam itu jadwal akadnya bergantian. Sedangkan kalau ada warga yang melangsungkan nikah di luar desa, maka akan mengambil air dari Sumur Nganten dengan wadah botol untuk dicampurkan dengan air di rumah. Sehingga tetap menjalankan tradisi Ijuk Nganten," ujar Sri.
Ijuk Nganten disebut ritual karena tradisi ini juga menyangkut hubungan dengan spiritualitas serta religiusitas moral bagi warga setempat yang menjalankannya, dengan memohon dan mengharap perlindungan Tuhan penguasa alam (kalau dalam Islam memohon ridho dan rahmat Allah SWT).
Sesepuh Desa Sraturejo, Mbah Simat mengatakan, Sumur Nganten merupakan sebuah pundhen atau tempat yang dimuliakan oleh warga desa, karena dipercaya sebagai petilasan (situs peninggalan) leluhur para pepundhen pendiri ulayat desa.
Pundhen Mbah Krebut Lanang & Mbah Krebut Wedok (Sumur Nganten) Dusun Grenjeng, Desa Sraturejo
Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Di tempat itu pada zaman dahulu menjadi cikal-bakal (awal mula) pendiri desa memulai bubak alas (membuka lahan) untuk permukiman, membangun peradaban baru bersama keluarga dan kelompoknya.
"Lambat laun wilayahnya menjadi ramai oleh pendatang dan semakin meluas hingga terbentuklah desa-desa," ungkap kakek 75 tahun itu, Sabtu (15/6/2024).
Sumur Nganten Dusun Grenjeng diyakini sebagai peninggalan Mbah Krebut Lanang-Wedok (laki dan perempuan) yang berkuasa menjadi pemuka wilayah setingkat akuwu pada masa kerajaan Singhasari hingga Majapahit.
"Mbah Krebut" adalah julukan bagi Akuwu Basunondo (juga disebut "Mbah Sandong") yang meninggalkan warisan Sumur Nganten beserta tradisi "Ijuk Nganten". Akuwu Basunondo dan permaisurinya disebut "Mbah Krebut", karena berhasil karebut (direbut) dari tangan pemberontak.
Pada zaman pemerintahan Akuwu Basunondo pernah terjadi pemberontakan oleh patihnya sendiri yang bernama Joyosingo bersama pengikutnya. Akuwu Basunondo dan permaisurinya dipenjarakan oleh Patih Joyosingo, dengan rencana akan dipancung di alun-alun.
Sebelum rencana itu terlaksana, keburu terjadi penyerbuan ke dalam istana pakuwon dan bangsal pakunjaran oleh para punggawa pakuwon dan rakyat yang masih setia kepada Akuwu Basunondo.
Dalam penyerbuan itu Patih Joyosingo sampyuh (sama-sama tewas) bersama putera akuwu yang bernama Raden Sastromirudo. Selanjutnya Akuwu Basunondo dan permaisuri berhasil direbut sekaligus dibebaskan dari penjara.
Untuk kembali menduduki tahta pemerintahan perlu diadakan ritual penyucian terhadap diri Akuwu Basunondo dan permaisuri, maka keduanya dibawa ke sebuah sumur suci.
Petilasan Sumur Nganten untuk uphacara tradisi ritual "Ijuk Nganten" di Dusun Grenjeng.
Di sumur itulah, dengan dipimpin oleh seorang resi, Akuwu Basunondo bersama permaisuri dibasuh tangannya, mukanya dan kakinya sebagai pertanda prosesi penyucian diri.
Prosesi penyucian diri dengan air sumur ini kemudian hari menjadi tradisi bagi warga setempat, yakni warga Dusun Grenjeng dan sekitarnya. Terutama setiap ada "nganten" (pengantin baru) sudah dipastikan akan menjalani "ijuk" ("wisuh"; membasuh tangan, muka dan kaki) di sumur suci yang kemudian disebut pula sebagai "Sumur Nganten", hingga kini.
Pemerhati Budaya, Herry Abdi Gusti mengungkapkan, filosofi dari prosesi ini adalah pengantin baru yang akan memasuki jenjang kehidupan berupa rumah tangga diawali dengan niat suci, jiwa raga yang bersih, doa yang khidmat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mewujudkan keluarga yang penuh kasih-sayang, sejahtera dan bahagia.
"Didoakan pula semoga pasangan pengantinnya langgeng sebagai suami-isteri, tetap sehat, selamat, dianugerahi anak-anak yang baik, rukun lestari selama-lamanya menurunkan generasi berikutnya," ulas Herry. [ito/red]
Tag : tradisi, ijuk nganten, sumur nganten, sraturejo, baureno, bojonegoro, grenjeng, akuwu basunondo, patih joyosingo
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini