Kolom
Menguatkan Marwah Guru
blokbojonegoro.com | Sunday, 03 November 2024 17:00
Oleh: Usman Roin *
Akhir-akhir ini, viral video parodi dengan inti, guru takut menegur peserta didik karena malas berurusan dengan orang tua dan tidak ingin berakhir penjara.
Coba tengok video reels ig-nya @langit_gardanegara “When guru udh gak mau nasehatin murit karena takut dipenjara” dengan menyisipkan pesan mau ditegur, takut dipenjara, nasib guru sekarang. Hal itu setelah siswa pada ramai sendiri –sebelum guru meninggalkan kelas, mulai dari ada yang naik bangku, serta siswi yang saling menggendong.
Belum lagi tik-tok-nya @mutiauti42 “Pov guru BK ga mau nasehatin siswa siswinya karna Takut dipenjara”. Di situ sang guru mengabaikan saja ada siswa yang saling menjambak, kemudian anak laki-laki yang berantem sesama teman hingga ada yang memberi bunga untuk sang pacar.
Dua contoh video guru tersebut, hakikatnya mencerminkan autokritik dalam hal ini kepada orang tua yang kebetulan dalam berita yang viral berprofesi sebagai penegak hukum.
Sebagai perbandingan, kala penulis mengajar di kelas jurnalistik Prodi PAI Unugiri, penulis sempat bertanya kepada para mahasiswa perihal pendisiplinan guru saat mengajar, kala mereka masih berada di bangku sekolah atau madrasah.
Pertanyaan penulis kepada mahasiswa, apa yang dilakukan guru kala menegur mereka –mahasiswa kala masih bersekolah, ketika tidak serius dalam pembelajaran? Satu mahasiswa ada yang pernah dilempar sepatu. Kemudian mahasiswa lainnya menambahi, ada yang dilempar penghapus kayu, lalu kapur. Bahkan ada mahasiswa yang bilang dicubit, hingga dikampleng –tampar.
Penulis tidak sekadar berhenti di pertanyaan perlakukan disiplin guru kepada peserta didik –yang hari ini menjadi mahasiswa saya. Tetapi, penulis sampaikan pertanyaan tambahan kepada mereka. Perihal pendisiplinan guru apakah panjenengan jengkel?
Para mahasiswa dengan logika jujur menyampaikan bila mereka tidak jengkel. Mereka sadar, bila apa yang dilakukan salah. Sehingga upaya pendisiplinan yang dilakukan oleh guru sudah betul, agar membuat mereka berubah dan tidak mengulangi lagi perilaku tidak terpuji.
Pertanyaan berikutnya penulis kepada mereka, ketika mahasiswa –yang dahulunya peserta didik di sekolah atau madrasah, menceritakan perihal pendisiplinan guru kemudian diceritakan kepada orang tua, bagaimana respon mereka?
Para mahasiswa saling ganti memberi jawaban, “Pak, malah kami yang disalahkan”. Ada lagi jawaban dari mahasiswa lainnya, “Saya malah yang dimarahi Pak”. Hingga ada yang memberikan jawaban, “Saya malah ditambah dapat pukulan dari orang tua Pak”.
Lihat Utuh
Terhadap fenomena yang viral ini, jangan hanya dilihat sebelah mata (parsial). Tetapi utuh atau komprehensif.
Apalagi bagi Wiwid Prasetyo (2018:84), atas dalih hak asasi manusia (HAM), fenomena pelaporan orang tua kepada guru marak terjadi. Padahal baginya, perbuatan guru yang memukul, menjewer sama sekali bukan bertujuan menyakiti. Akibatnya, trauma guru akan muncul –menjadi pengabaian dalam mendidik, oleh karena khawatir dimejahijaukan.
Bagi peserta didik, pendisiplinan yang dilakukan oleh guru –berupa teguran sebagai misal, perlu disadari sebagai upaya mengarahkan untuk lebih baik. Utamanya dari aspek sikap (afektif), setelah aspek pengetahuan (kognitif) dijelaskan panjang lebar dalam pembelajaran.
Celakanya, bila kemudian peserta didik tidak menyadari bahwa pendisiplinan yang dilakukan guru memiliki tujuan membimbing dan membinanya kepada peribadi yang lebih baik, maka upaya pendisiplinan akan kemudian disampaikan peserta didik “berbeda” kepada orang tua.
Bahkan, terkadang ditambah-tambahi, hingga menyulut emosi orang tua, yang berakibat mereka tidak terima terhadap apa yang dilakukan guru kepada anaknya.
Bagi orang tua –siapa pun itu, terhadap informasi pendisiplinan yang dilakukan oleh guru kepada anaknya, juga tidak kemudian menelan mentah-mentah. Perlu kemudian di-cross check terlebih dahulu kebenarannya. Baik dari anak, maupun kepada guru serta stakeholder lembaga pendidikan.
Jangan sampai terjadi, orang tua ikut tersulut emosi mempercayai begitu saja yang disampaikan anak, hingga kemudian tanpa panjang akal marah-marah ke sekolah.
Padahal bila orang tua mau mendengar cerita utuh –dibalik pendisiplinan yang dilakukan guru kepada anaknya, ia akan mengetahui hakikat sebenarnya. Tidak parsial, yang mengakibatkan salah paham.
Di sinilah dibutuhkan kebesaran hati orang tua, untuk berani mengakui kesalahan anak –bila memang salah, dan memohonkan maaf kepada guru atas tingkah laku tidak terpuji yang dilakukan sang anak.
Terlebih, Allah Swt dalam surah al-Maidah, ayat 8, mewanti-wanti “Jangan sampai kebencian kamu kepada satu kaum menjadikan kamu tidak berlaku adil”.
Hanya saja, sikap berpikir utuh ini akhir-akhir seperti hilang. Sehingga orang tua perlu ada kesadaran lebih, bila guru yang secara implisit telah rela dan menerima diri untuk memikul tanggung jawab mendidik yang ada di pundak orang tua, juga perlu didengar, dihormati. Sebab, tidak sembarangan dapat menjabat sebagai guru.
Bahkan menurut Nur Cholid (2015:4), tingginya kedudukan guru dalam Islam, potretnya bisa disaksikan di pesantren-pesantren di Indonesia. Di mana santri sampai tidak berani menatap sinar mata kiai (sebagai guru), badan membungkuk sebagai hormat manakala berpapasan, tawaduk serta aneka sifat baik lainnya.
Perilaku akhlak tersebut, selain semata-mata dilakukan agar pembelajaran yang disampaikan mudah merasuk dalam dirinya, juga menjadikan dirinya manusia terhormat sekaligus dihormati.
Berdasarkan telaah di atas, proses untuk melihat utuh atas persoalan yang terjadi di lembaga pendidikan –yang tengah viral antara peserta didik, guru, dan orang tua, hakikatnya langkah arif dalam mewujudkan keadilan guna terwujudnya kedamaian.
Tanpa itu –kedamaian kata Prof. Quraish Shihab (2017:266), hak-hak akan banyak terancam, hilang, dan kewajiban –mengajar guru, akan terabaikan hingga lahir kekacauan.
Bila hal itu tidak kita inginkan, tentu menjaga marwah guru yang membimbing calon generasi emas mendatang, perlu kita dukung dengan membuka ruang dialog secara baik-baik dan selebar-lebarnya, serta tanpa merugikan sebelah pihak, dan menghindarkan emosional sesaat yang akan menambah runyam persoalan.
Atas persoalan ini, pemerintah bisa segera ikut menyelesaikan. Itu karena, masih banyak PR –perihal pendidikan, yang butuh mendapatkan perhatian dan penangan secara cepat. [lis]
* Penulis adalah Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah Unugiri, pernah jadi Guru di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMP IT).
Tag : Kolom, pendidik, guru, bk, murid, teguran
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini