Membaca dan Menulis Wajah Bojonegoro
blokbojonegoro.com | Monday, 12 May 2025 16:00
Penulis: Choirul Anam
blokBojonegoro.com - Bayangkan Bojonegoro sebagai buku yang belum rampung ditulis. Halamannya penuh warna ada kisah tentang hutan jati yang gagah, sawah yang membentang hijau, ladang minyak yang menggeliat, dan budaya lokal yang tak pernah benar-benar punah.
Namun di antara bab-bab kemajuan itu, terselip juga cerita tentang ketimpangan dan kemiskinan. Inilah tantangan sekaligus peluang: bagaimana kita membaca dan menulis ulang wajah Bojonegoro, membranding potensi lokal, dan menjadikannya alat nyata untuk meningkatkan kesejahteraan.
Membaca wajah Bojonegoro berarti menyadari bahwa kabupaten ini tidak hanya kaya secara sumber daya alam, tapi juga kaya secara kultural. Ada komunitas Samin dengan falsafah kejujuran dan kesederhanaannya, ada batik Jonegoroan dengan motif khas yang belum banyak dikenal luas, ada seni tradisi seperti wayang thengul dan sandur, serta kuliner lokal yang siap saji dan unik.
Sumber daya ini jika dibaca dengan kacamata kreatif dan ditulis dengan strategi yang cerdas, bisa menjadi modal ekonomi yang kuat.
Sumber daya alam Bojonegoro juga bukan main-main. Selain menjadi lumbung pangan (jagung, padi, tembakau), kabupaten ini merupakan salah satu penghasil minyak bumi terbesar di Jawa. Namun, seperti yang sering terjadi di daerah kaya sumber daya, kemiskinan tetap menjadi momok.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, tingkat kemiskinan di Bojonegoro masih berada di angka sekitar 12%, meski sudah menurun dari tahun-tahun sebelumnya.
Kondisi ini mengingatkan kita pada paradoks kutukan sumber daya (resource curse), yaitu ketika daerah kaya justru lambat sejahtera. Maka, diperlukan pendekatan baru: bukan hanya menggali sumber daya, tetapi juga menggali makna dan potensi ekonomi yang berkelanjutan dari warisan budaya dan kearifan lokal.
Strategi itu dimulai dengan menulis ulang narasi Bojonegoro. Branding daerah menjadi kunci penting. Seperti yang dikemukakan Simon Anholt (2007) dalam konsep Nation Branding, kekuatan cerita dapat mengangkat identitas dan nilai tambah sebuah tempat. Produk lokal seperti batik, kopi, kerajinan bambu, atau olahan belalang goreng misalnya, bisa naik kelas jika dibungkus dengan narasi yang kuat: tentang siapa yang membuat, bagaimana proses produksinya, dan nilai budaya yang dikandungnya.
Lebih dari itu, branding yang efektif akan menarik perhatian pasar global dan juga investor. Bojonegoro punya peluang besar untuk mengembangkan geographical indication (indikasi geografis) atas produk-produk unggulannya. Ini bisa mendorong harga jual, membuka pasar ekspor, dan tentu saja meningkatkan pendapatan masyarakat.
Namun branding saja tidak cukup. Diperlukan ekosistem ekonomi lokal yang inklusif yang tidak hanya menguntungkan segelintir pelaku besar, tapi juga memberdayakan masyarakat desa, perempuan, pemuda, dan kelompok rentan. Pendekatannya adalah ekonomi berbasis komunitas, seperti koperasi, BUMDes, atau jaringan UMKM berbasis desa.
Lihat saja keberhasilan sejumlah desa wisata di Bali atau Yogyakarta yang mengangkat potensi budaya dan alam mereka secara komunal. Di sana, penghasilan warga meningkat karena mereka menjadi bagian dari rantai nilai ekonomi mulai dari pengelolaan homestay, pemandu wisata, hingga produksi suvenir. Bojonegoro pun bisa belajar dari model seperti ini.
Peran literasi juga tak bisa diabaikan. Membaca dan menulis wajah Bojonegoro secara harfiah berarti juga meningkatkan literasi masyarakat: literasi budaya, ekonomi, dan digital. Generasi muda perlu didorong untuk mendokumentasikan, mengisahkan, dan memasarkan kekayaan lokal mereka melalui media sosial, blog, podcast, atau marketplace digital. Beberapa komunitas seperti Kelas Literasi Bojonegoro telah memulai langkah ini, meski butuh dukungan lebih besar dari pemerintah dan dunia usaha.
Digitalisasi adalah jembatan penting dari lokal ke global. Produk UMKM tak akan berkembang jika hanya dijual di pasar desa. Namun dengan strategi digital marketing yang tepat, produk batik dari Kanor atau tempe kripik dari Kalitidu bisa dikenal di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Pemerintah bisa mendukung lewat pelatihan digital, subsidi ongkir, dan pendampingan e-commerce.
Penting juga untuk menata ulang relasi antara masyarakat dan sumber daya alam. Jangan sampai kekayaan alam justru merusak lingkungan atau menciptakan ketimpangan baru. Dalam The Economics of Ecosystems and Biodiversity (TEEB, 2010), disebutkan bahwa pembangunan ekonomi yang berkelanjutan harus menghitung nilai ekologi dan sosial, bukan sekadar keuntungan jangka pendek. Artinya, membangun ekonomi Bojonegoro juga harus menjaga sungai, hutan, dan tanah tetap lestari karena mereka adalah penyangga kehidupan jangka panjang.
Akhirnya, membaca dan menulis wajah Bojonegoro adalah pekerjaan kolektif. Tak bisa hanya dibebankan pada pemerintah, atau segelintir aktivis dan komunitas kreatif. Semua pihak perlu terlibat: dari petani, pelajar, perangkat desa, tokoh adat, hingga pelaku usaha. Bersama-sama membangun narasi baru: bahwa Bojonegoro bukan hanya “lumbung energi” nasional, tetapi juga “gudang kreativitas” yang siap go global.
Jika dilakukan dengan konsisten, upaya ini tak hanya akan memperkenalkan Bojonegoro ke dunia, tapi juga membawa pulang manfaat nyata: peningkatan pendapatan masyarakat, terciptanya lapangan kerja baru, hingga pengentasan kemiskinan berbasis kekuatan lokal. Dan yang paling penting, warga Bojonegoro tak hanya jadi penonton tapi penulis utama dari kisah kemajuan mereka sendiri.
Sudah siap menulis bab selanjutnya?
*Penulis Perangkat Desa Margomulyo Balen
Tag : bojonegoro
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini
No comments