Oleh: Choirul Anam*
blokBojonegoro.com - Setiap bulan November, bangsa ini selalu diajak menundukkan kepala sejenak: mengenang para pahlawan yang telah gugur demi tegaknya Indonesia merdeka. Dari Soedirman yang bergerilya di tengah hutan dengan paru-paru tinggal separuh, hingga Cut Nyak Dien yang kehilangan segalanya demi tanah Aceh tercinta. Tapi di tahun 2025 ini, barangkali kita perlu bertanya ulang—di tengah hiruk pikuk Pilkada, drama politik, dan headline soal kasus suap—apakah perjuangan para pahlawan itu hanya berhenti di medan perang?
Jawabannya jelas tidak. Kalau dulu musuh kita datang membawa senjata dan bendera penjajah, maka kini musuh itu datang dengan dasi, kemeja rapi, dan kadang tanda tangan di atas berkas proyek. Ia bernama korupsi.
Pahlawan yang Hilang di Era Digital
Kita hidup di era yang serba cepat, serba daring, dan serba “trending.” Namun, di tengah banjir informasi itu, sosok “pahlawan” terasa makin samar. Orang lebih mudah viral karena menari di TikTok daripada karena membongkar kasus korupsi. Padahal, pahlawan sejati hari ini barangkali bukan mereka yang mengangkat senjata, melainkan yang berani menolak amplop, menolak gratifikasi, atau menolak ikut tanda tangan fiktif.
Korupsi, menurut Transparency International dalam laporan Corruption Perceptions Index 2024, masih menjadi penyakit kronis Indonesia. Skor kita stagnan di angka 34 dari 100—artinya, persepsi publik terhadap korupsi di negeri ini masih tergolong “tinggi.” Bayangkan, sudah 80 tahun merdeka, tapi kita masih “terjajah” oleh perilaku tamak di meja rapat.
Dari Pejuang ke Penjaga Integritas
Jika Bung Hatta dulu pernah berkata, “Korupsi adalah musuh bersama bangsa,” maka seharusnya setiap warga negara punya tanggung jawab moral untuk menjadi pahlawan integritas. Tidak perlu menunggu punya jabatan, cukup mulai dari hal sederhana: tidak memanipulasi laporan, tidak mencontek, tidak “mark up” uang kas OSIS, atau tidak “main proyek” di tingkat RT.
Di titik ini, makna kepahlawanan harus mengalami redefinisi. Pahlawan tidak melulu soal mengorbankan nyawa, tapi juga soal mengorbankan kenyamanan demi kejujuran. Seringkali, yang membuat orang tak mau jujur bukan karena tidak tahu benar-salah, tapi karena takut kehilangan posisi, relasi, atau “jatah.”
Pahlawan anti-korupsi adalah mereka yang tetap memilih integritas, meski tahu risikonya: dimutasi, dicibir, atau bahkan dikriminalisasi. Lihatlah bagaimana perjuangan para aktivis antikorupsi, jurnalis investigatif, hingga pegawai KPK yang menolak tunduk pada kepentingan politik. Mereka mungkin tidak tercatat di buku sejarah sekolah, tapi jasa mereka menjaga masa depan negeri ini tidak kalah besar dibanding para pejuang di masa revolusi.
Antikorupsi: Dari Nilai ke Budaya
Masalahnya, korupsi di Indonesia bukan sekadar tindakan hukum, tapi sudah jadi masalah budaya. Profesor Robert Klitgaard, dalam bukunya Controlling Corruption (1988), menulis rumus terkenal: Korupsi= Kekuasaan + Diskresi – Akuntabilitas
Artinya, selama ada kekuasaan tanpa kontrol dan kesempatan tanpa pengawasan, di situ korupsi akan tumbuh subur. Di negeri ini, budaya “asal bapak senang” dan “yang penting setoran aman” seringkali lebih kuat daripada sistem yang dibuat seketat apapun.
Maka, pahlawan antikorupsi bukan hanya butuh keberanian moral, tapi juga kecerdasan sosial. Mereka harus mampu membangun budaya baru: budaya malu ketika menerima sesuatu yang bukan haknya, budaya bangga ketika bisa jujur meski tidak populer, dan budaya menolak jalan pintas.
Di sinilah pentingnya pendidikan antikorupsi bukan sekadar di kampus atau instansi pemerintahan, tapi di keluarga. Anak-anak perlu dididik bahwa keberhasilan bukan hanya soal punya banyak uang, tapi juga punya harga diri yang bersih.
Keteladanan: dari Atas ke Bawah
Kita tidak bisa menuntut rakyat kecil berhenti “main nota fiktif” kalau para pejabatnya masih “main proyek besar.” Seperti pepatah Jawa, “Witing tresna jalaran saka kulina”—rasa cinta datang karena terbiasa. Maka, kebiasaan baik juga harus dimulai dari atas. Jika pemimpin memberi contoh jujur, disiplin, dan transparan, bawahan pun akan segan untuk berbuat curang.
Sayangnya, sering kali yang terjadi justru sebaliknya. Banyak pejabat yang berapi-api bicara soal “pemberantasan korupsi” di depan kamera, tapi di belakang layar ikut menandatangani proyek titipan. Kita butuh pemimpin yang bukan hanya pintar bicara antikorupsi, tapi pahlawan integritas yang benar-benar hidup dengan prinsip itu.
Pahlawan Tak Harus Hebat, Cukup Tidak Ikut Rusak
Kadang, menjadi pahlawan bukan berarti melakukan hal besar. Di negeri yang sudah lama dikelilingi praktik tidak jujur, memilih tidak ikut rusak saja sudah tindakan heroik. Seorang bendahara desa yang menolak markup, seorang ASN yang berani melaporkan suap, atau seorang siswa yang tidak menyontek—mereka semua adalah pahlawan kecil yang menjaga bangsa ini tetap waras.
Dan di era digital seperti sekarang, kepahlawanan bisa bertransformasi lewat media sosial. Aktivis muda yang berani bersuara, influencer yang mengedukasi soal transparansi, hingga masyarakat yang ikut mengawasi penggunaan dana publik lewat aplikasi, semuanya turut menjadi bagian dari gerakan antikorupsi nasional.
Hari Pahlawan 2025 seharusnya tidak hanya diisi dengan upacara dan tabur bunga di Tugu Pahlawan. Lebih dari itu, ia harus menjadi momentum refleksi: apakah semangat kepahlawanan itu masih hidup di meja kerja, di ruang rapat, di sekolah, dan di rumah kita masing-masing?
Negeri ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur. Tidak kekurangan pejabat, tapi kekurangan pahlawan. Karena itu, sebelum kita sibuk mencari pahlawan baru di luar sana, mari bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita menjadi pahlawan (anti) koruptor di lingkungan kecil kita?
Sebab, Indonesia tidak akan tumbang karena penjajah berseragam, tapi karena rakyatnya sendiri yang lupa bagaimana caranya berjuang dengan hati bersih. Dan mungkin, di zaman ini, perjuangan paling suci adalah melawan godaan amplop tebal dengan senyum tegar seorang pahlawan integritas. [mad]
*Ketua PAC Ansor Balen dan Pengurus Pusat IKAMI Attanwir Talun
0 Comments
LEAVE A REPLY
Your email address will not be published