Guru yang Mendidik dengan Cinta
Ahmad Inung (Sekretaris Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Agama)

Oleh: Ahmad Zainul Hamdi

blokBojonegoro.com - “We don't need no education Wе don't need no thought control No dark sarcasm in the classroom Teachers, lеave them kids alone Hey! Teacher! Leave us kids alone! All in all, you're just another brick in the wall”

(Kami tak butuh pendidikan Kami tak butuh kendali pikiran Tak ada sarkasme kelam di kelas Guru, biarkan anak-anak itu sendiri Hei! Guru! Biarkan kami anak-anak sendiri! Pada akhirnya, kau hanyalah batu bata di dinding)

Di atas adalah penggalan lirik lagu dari grup musik Pink Floyd yang berjudul “Another Brick in the Wall”. Lagu ini adalah salah satu lagu andalan dalam album The Wall yang release di tahun 1979. Liriknya ditulis oleh sang pembetot bas, Roger Waters.

Di belakang lagu ini, ada kisah kelam penulis liriknya. Masa kecil Roger Waters dilalui dengan kepedihan karena mengalami pendidikan yang opresif dan abusif justru dari gurunya sendiri. Pengelaman itu terus menghantuinya, memberi dampak panjang dalam perkembangan jiwanya. Guru yang seharunya membantunya untuk tumbuh, justru menjadi sosok yang terus mengintimidasinya. Ruang kelas yang seharusnya menjadi ruang belajar yang menyenangnya, justru berubah menjadi arena penghinaan. 

Yang diprotes oleh Pink Floyd adalah model pendidikan yang menjadikan anak didik sebagai objek kontrol. Pink Floyd sedang menyuarakan bagaimana seharusnya seorang guru. Yang dirindukan seorang Roger Water adalah guru yang mendidiknya dengan cinta.

Seorang guru yang mendidik dengan cinta adalah guru yang tidak semata-mata metransfer pengetahuan kepada muridnya. Seorang guru yang dipenuhi cinta akan membimbing, menginspirasi, dan membentuk kehidupan murid-muridnya. Pendidik seperti itu menciptakan lingkungan sekolah di mana para murid merasa aman dan nyaman, dihargai, dan didorong untuk terus belajar.

Cinta yangmengalir dari seorang guru kepada murid-muridnya membuat apa yang ditanamnya menjadi abadi. Energi cinta menyebar di luar capaian akademik semata. Dia adalah guru kehidupan yang membentuk masa depan murid-muridnya.

Beberapa karakteristik sang “Guru Cinta” adalah sebagai berikut. Pertama, empati dan memahami. Guru yang mendidik dengan cinta akan mendengar murid-muridnya, memahami masalah-masalahnya, dan memberi dukungan saat muridnya berjuang menghadapi tantangan-tantangannya.

Kedua, sabar. Guru yang rongga dadanya dipenuhi cinta bukan menghadapi muridnya dengan amarah. Ada saat di mana seorang guru mungkin bersikap “enough is enough”, bahkan mungkin meninggikan nada suaranya. Namun, itu bukan ekspresi dari kemarahan dan kebencian. Guru yang mendidik dengan cinta adalah guru yang memberi kesempatan dan mendorong murid-muridnya untuk memahami ilmu-ilmu baru, untuk kemudian tumbuh menjadi dirinya sendiri.

Ketiga, inspirasi. Guru yang mendidik dengan cinta menginspirasi murid-muridnya untuk terus belajaar, mencari tahu, bahkan hal-hal baru yang tidak ada dalam buku pelajaran sekolah. Guru yang mendidik dengan cinta adalah dia yang menumbuhkan cinta belajar pada diri murid-muridnya sehingga belajar adalah menjadi bagian keseluruhan proses hidupnya. 

Keempat, motivasi. Guru yang mendidik dengan cinta adalah guru yang memotivasi murid-muridnya. Dia merayakan kesuksesan murid-muridnya seperti kesuksesannya sendiri. Tapi, dia juga menolong muridnya saat mengalami kegagalan. Dia mendidik muridnya untuk belajar dari kegagalan-kegagalannya. Dia memberi rasa percaya diri dan kekuatan pada muridnya saat menghadapi berbagai tantangan.

Kelima, hormat. Guru yang mendidik dengan cinta menghargai keunikan setiap muridnya. Setiap orang terlahir dengan ‘gift’ masing-masing. Seekor burung tidak bisa dinilai seberapa piawainya dia berenang. Begitu juga seekor ikan tidak mungkin dinilai bagaimana caranya terbang. Setiap murid memiliki latar belakang, perspektif, dan kemampuan yang berbeda-beda.

Ketika murid didik dengan cinta, mereka akan mengembangkan sikap yang positif terhadap proses belajar. Mereka merasa nyaman untuk bertanya, mengekspresikan pikirannya, bahkan mengambil risiko kreatif dalam proses belajarnya. Tidak jarang para murid ini mengalami pencapaian akademik yang tak terduga karena motivasi yang tinggi. Mereka juga memiliki emosi yang baik.

Beberapa hal yang bisa dilakukan seorang guru dalam membangun hubungan positif dengan murid-muridnya. Pertama, hubungan personal. Di sini, seorang guru menyediakan waktu untuk mengenali beragama interes dan keinginan murid-muridnya. Ruang kelas sering kali menjadi mesin penyeragaman. Padahal, setiap anak memiliki keunikannya sendiri-sendiri. 

Kedua, merayakan keragaman. Dalam banyak hal, keragaman sering dipuja sebagai berkah, tapi tidak jarang ditindas dalam realita. Pendidikan seharusnya adalah sebuah proses penciptaan pendidikan inklusif, di mana keragaman budaya, agama, dan pengalaman setiap murid dihargai.

Ketiga, mendukung pertumbuhan. Seorang guru bisa mendukung pertumbuhan muridnya melalui beragama cara, salah satunya dengan cara memberi feedback yang konstruktif. Guru juga memberi dukungan kepada muridnya, terutama saat si murid berjuang untuk menyelesaikan tantangan yang sedang dihadapinya.

Keempat, membangun komunitas. Hubungan positif guru-murid bisa dilakukan melalui penciptaan lingkungan sekolah sebagai rumah bersama. Sebagai rumah bersama, lingkungan sekolah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi setiap orang yang ada di dalamnya. Sebagai satu keluarga, setiap murid merasa dihormati dan dihargai. Tak ada tempat bagi praktik bullying di sekolah.

Intinya,seorang guru yang menddik dengan cinta akan memberi pengaruh positif terhadap setiap murid yang didiknya karena yang keluar dari dirinya bukan hanya rumus-rumus ilmu yang ditransfer ke otak murid, tapi juga energi cinta terus mengalir. Seorang guru yang mengajar dengan penuh kasih sayang meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada setiap siswa yang mereka temui. Kasih sayang, kesabaran, dan dedikasi mereka tidak hanya membantu siswa meraih kesuksesan akademis, tetapi juga memupuk karakter dan harga diri mereka. Di dunia yang seringkali mengutamakan hasil, para “guru cinta” ini mengingatkan kita bahwa inti pendidikan terletak pada hubungan yang kita jalin dan kepedulian yang kita tunjukkan. [mad]

*Ahmad Inung (Sekretaris Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Agama)