Jl. KS Tubun, Gang Srinayan No. 3 Kel. Mojokampung Kota Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Menakar Masa Depan Literasi di Tangan Bupati Bojonegoro

blokbojonegoro.com | Sunday, 07 January 2018 09:00

Menakar Masa Depan Literasi di Tangan Bupati Bojonegoro

Oleh: A. Farid Fakih*)

Dalam beberapa bulan ke depan, konstelasi politik di Bojonegoro akan mencapai puncaknya. Bupati Bojonegoro, Suyoto, secara resmi akan digantikan dengan sosok baru. Setidaknya, gambaran itulah yang kini mulai terlihat di jalan-jalan, baliho, selebaran, hingga berbagai bentuk kampanye di kalender. Tentu, hal itu menarik menjadi kajian bersama.

Di lain sisi, beban dan tantangan terhadap bupati baru juga menarik untuk perhatikan.  Apalagi dengan pencapaian yang telah ditorehkan bupati sebelumnya, misal predikat sebagai salah satu daerah dengan sistem keterbukaan publik terbaik di dunia, kebijakan yang kelak dijalankan bupati baru nantinya bakal menjadi sorotan publik. Masyarakat akan bisa menilai sendiri, bagaimana keseriusan pemimpin berikutnya dalam mengelola kebijakan di daerah yang dalam bahasa Rhenald Khasali di bukunya Curve To Blessing sebagai endemic poverty atau ladang kemiskinan.

Tak hanya di situ saja, aspek yang belum terlalu tersentuh bupati sebelumnya juga bakal menjadi tantangan serius. Misal saja dalam urusan literasi. Ancaman seperti ini rasanya bakal menjadi hal yang akan mewarnai kebijakan pemimpin nantinya. Di samping itu, urusan literasi—dalam kacamata penulis—rasanya cukup bisa menjadi salah satu indikator keseriusan kebijakan pemimpin berikutnya.

Mau tidak mau, suka tidak suka, keseriusan membenahi literasi menjadi hal mutlak yang harus disentuh. Sebab di era kekinian, hanya literasi yang rasanya cukup bisa diandalkan dalam menangkal badai informasi yang kerannya terbuka lebar.

Dalam sebuah koloni di media sosial yang menampung netizen Bojonegoro, misalnya, penulis melihat betapa banyak netizen yang harus kerepotan “menyadarkan” netizen lainnya untuk tidak sembarangan menulis dan membaca informasi. Hal itu terjadi karena pemahaman literasi, soal menulis dan membaca, amat kurang terrealisasikan dengan baik. Dampaknya tentu saja serius dan sangat mengancam upaya bermedia yang baik.

Kenyataan yang juga mesti dipertimbangkan oleh pemimpin berikutnya—masih tentang literasi—adalah soal menjamurnya media online. Banyak media online bermunculan dan justru tidak diimbangi dengan kesiapan berliterasi dengan baik. Maka tak heran jika di beberapa media, banyak ketidakseimbangan informasi yang ter-cover. Tak jarang juga informasi yang menyebutkan suatu kasus—yang sebenarnya cukup biasa saja—dikemas begitu heboh dengan judul yang menohok. Celakanya, hal demikian terpaksa dikonsumsi begitu saja oleh mereka yang awam, yang tentu saja tidak terlalu akrab dengan literasi.

Keberlangsungan literasi di masa depan sejatinya memang tak bisa disodorkan begitu saja kepada pemimpin berikutnya. Segenap lapisan masyarakat juga wajib untuk menerapkan literasi di lini kehidupannya. Namun meski begitu, upaya dan kebijakan kongkret dari pemimpin (dalam hal ini bupati dan jajarannya) akan menjadi sebuah langkah mudah bagi segenap masyarakat untuk mengakrabi literasi. Sebab, tak bisa dipungkiri juga usaha kerasa beberapa aktivis literasi tak akan ada apa-apanya tanpa kebijakan real dari bupati, atau pihak terkait.

Memang begitu banyak kegiatan yang melibatkan generasi muda, yang di tahun-tahun 2016 lalu digalakkan. Tetapi rasanya hal itu belum terlalu menyentuh seluruh lapisan, utamanya lapisan kelas bawah. Beberapa aktivis yang berkecimpung di sana (literasi), masih harus tertatih dengan keberlangsungan kegiatan mereka sendiri. Banyak koleksi bacaan, buku, atau bahkan edukasi seputar literasi, harus mereka (para aktivis) lakukan dengan upaya yang luar biasa. Belum lagi jika sewaktu-waktu ada masalah yang menghadang. Bisa dikatakan apa yang dilakukan para pegiat literasi di sana cukup berat.

Hal ini semestinya bisa menjadi fakta serius yang mesti ditelisik pihak terkait. Setidaknya ada tim khusus yang memang fokus konsen untuk memberi pembinaan, pendampingan, maupun memberikan akses yang luas untuk literasi. Dengan begitu, kinerja perbaikan literasi bisa diupayakan dengan baik. Dan lantas upaya pencerdasan di bidang literasi bisa jadi lebih mudah untuk diimplementasikan.

Lain daripada itu, perbaikan literasi harus menjadi kesadaran bersama. Tetapi barangkali jika dalam prosesi pemilihan pemimpin baru saja, literasi tak begitu seksi untuk dilihat, lantas bagaimana dengan keberlangsungannya saat pemimpin tersebut terpilih nantinya? Tentu saja pertanyaan ini akan terjawab nanti.

Sebagai kesimpulan, membangun suatu daerah—terutama Bojonegoro—memang perlu ditinjau dari berbagai lini. Tak pelak langkah pembangunan ini baiknya juga diiringi dengan pembangunan kecerdasan manusianya. Sedang, dalam upaya mencerdaskan manusia, literasi menjadi salah satu hal penting yang perlu dipahami bersama. Dan berliterasi yang baik, hanya bisa dilakukan dengan suatu kebijakan pasti, yang tentu hanya bisa dilakukan oleh sang pengampu kebijakan. Akhir kata, mari semarakkan konstelasi politik di Bojonegoro dengan sungguh-sungguh. Misalnya, dengan tak henti-hentinya mengingatkan bupati selanjutnya. Bahwa literasi jauh lebih penting daripada janji manis kampanye. (*)

*) Mahasiswa Asal Bojonegoro. Aktif di GiSAM (Gerakan UIN Sunan Ampel Menulis) Surabaya.
 

Tag : literasi, bupati



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini