Pendekatan Based On Actual Revenue Pembagian DBH Migas
blokbojonegoro.com | Wednesday, 03 October 2018 17:00
Oleh:Herry Sudjarwo*
Dalam perumusan kebijakan fiskal ketika Pemerintah bersama DPR-RI menyusun R-APBN untuk tahun mendatang, yang sesuai konvensi biasanya diawali dengan Pidato Pengantar Nota Keuangan R-APBN oleh Presiden kepada DPR-RI pada tanggal 16 Agustus, lazimnya Pemerintah mengusulkan kepada DPR-RI beberapa asumsi dasar dalam R-APBN yakni : prognosa lifting per hari, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price / ICP) dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (kurs). Bagi daerah yang tidak ditetapkan dalam kategori sebagai daerah penghasil migas, asumsi-asumsi makro itu tidaklah terlalu menjadi perhatian, karena hanya akan berpengaruh dalam capaian target penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) bagi Pemerintah, dan tidak ada pengaruh signifikan terhadap penerimaan daerah.
Lifting atau sejumlah minyak mentah dan atau gas bumi yang dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody transfer point), dinamika atau fluktuasi ICP dan kurs menjadi masalahyang krusial bagi sekitar 80 Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota penghasil migas, karena akan membawa pengaruh besar dalam pencapaian target pendapatan daerah, yang otomatis akan berpengaruh juga terhadap realisasi belanja daerah yang sudah ditetapkan dalam APBD.
Ancaman defisit anggaran pada ujung perjalanan tahun anggaran yang tidak bisa lagi ditutup dari pembiayaan netto (sisa lebih pembiayaan tahun anggaran berkenaan /silpa) karena adanya keseimbangan (balancing) antara pendapatan (revenue) dan belanja (expenditure) telah ditetapkan dalam Perubahan APBD, tanpa ada misalnya, agenda menutup defisit dengan pinjaman daerah, baik jangka pendek, menengah atau panjang. Akibat yang timbul akhirnya adalah adanya hutang belanja kepada pihak ketiga atas prestasi pekerjaan yang telah dilakukan, di mana beban hutang belanja tersebut akan menjadi beban anggaran tahun berikutnya.
Ketika APBN telah ditetapkan dengan Undang-Undang, kemudian dijabarkan untuk daerah lebih lanjut melalui Peraturan Presiden (Perpres), selanjutnya diikuti dengan penjabaran lebih detail melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), sesungguhnya penetapan besaran Dana Bagi Hasil (DBH) migas masih berupa perkiraan (proyeksi) yang akan diperhitungkan kemudian dalam perjalanan tahun anggaran, apakah semua asumsi dalam APBN seperti prognosa lifting nasional (termasuk lifting daerah penghasil) tercapai atau tidak, apakah asumsi ICP rata-rata per bulan tercapai atau tidak, apakah kurs rupiah masih sesuai atau tidak.
Pengertian diperhitungkan kemudian itulah yang disebut sebagai dasar pendapatan riil (based on actual revenue). Selain itu, adanya faktor pengurang total lifting karena belum diperhitungkannya cost recovery, yang umumnya baru diketahui pada tahun berikutnya, setelah dilakukan proses audit oleh BPK-RI.
Perhitungan DBH migas sampai menjadi Bagian Daerah Penghasil, pada dasarnya melalui proses perhitungan lifting harian dan bulanan, ICP harian dan rata-rata sebulan serta perkembangan kurs. Rumus perhitungan pendapatan dimulai dari : Lifting (barel) dikalikan ICP
(USD) menghasilkan Gross Revenue. Gross Revenue akan dipotong : First Trace Petroleum (FTP) atau bagian tertentu yang diambil BP Migas sebagai jaminan penerimaan negara, juga dipotong Cost Recovery (termasuk kemungkinan adanya Investment Credit yang diberikan Pemerintah kepada Kontraktor).
Hasil pemotongan itu berupa Nett Income Equity to be Split (ETBS) yang dibagi menjadi Bagian Pemerintah (85 % dikurangi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pertambangan) dan Bagian Kontraktor (15 % dikurangi Domestic Market Obligation / DMO dan PPh Badan). Bagian Pemerintah diatas setelah dikurangi beban pajak baru kemudian dibagi hasilkan ke daerah penghasil (6%), Kabupaten/Kota se Propinsi (6%) dan Propinsi (3%).
Dari perhitungan di atas, maka jelas realisasi pendapatan dari DBH migas tentu tidak dapat dipastikan, apakah sesuai prognosis atau tidak. Kalau lebih besar dari prognosis, maka timbulah istilah Kurang Bayar, artinya Pemerintah masih harus menambah alokasi penyaluran DBH migas kepada Daerah, sedang kalau lebih kecil dari prognosis, maka muncul Lebih Bayar artinya Pemerintah akan memotong alokasi DBH migas bagi Daerah pada tahun berikutnya.
Kurang Bayar atau Lebih Bayar akan menjadi faktor penambah atau pengurang penerimaan DBH migas. Bojonegoro tahun 2014 mengalami Lebih Bayar 153 M, 2015 sebesar 550 M dan 2016 sebesar 281 M. Sebaliknya tahun 2017 terdapat Kurang Bayar 703 M.
Cost recovery sebagai faktor pengurang terbesar capaian lifting pada dasarnya juga tidak dapat diprediksikan secara pasti. Pada awal produksi, cost recovery akan cenderung tinggi, bahkan bisa menghabiskan hamper seluruh lifting (kecuali FTP), kemudian akan menurun dan semakin mengecil (kecuali ada pengembangan lapangan). Sehingga apabila digambarkan antara lifting dan cost recovery seperti dua garis kurva yang berhimpitan pada awalnya, karena produksi masih belum puncak, namun beban cost recovery besar.
Namun dua garis kurva itu akan merenggang, ketika produksi mencapai puncak dan cost recovery semakin kecil. Jarak dua kurva itulah menjadi besaran Nett Income Equity to be Split, yang berarti semakin besar pula perolehan DBH migas bagi daerah.
Atas dasar itu, agar APBD dapat terjamin kapasitas fiskalnya untuk pembiayaan pembangunan, maka asumsi yang digariskan Menteri Keuangan dalam menetapkan target pendapatan dari DBH migas adalah 70 % dari prognosis dan Menteri Keuangan memang telah menjamin penyaluran sebesar 70 % dengan alokasi 20 % di triwulan 1, 20 % di triwulan 2 dan 30 % di triwulan 3. Sedangkan triwulan 4 masih menunggu hasil realisasi riil lifting daerah setelah diperhitungkan semua faktor pengurang. Jadi lebih baik masih menyimpan kemungkinan kelebihan alokasi yang menjadi penambah kemampuan fiskal tahun depan, daripada menanggung resiko hutang belanja.
*Herry Sudjarwo, SH,MM Kabanpenda
Tag : dbh, migas, bojonegoro
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini