Peran Guru Tangkal Radikalisme
blokbojonegoro.com | Thursday, 17 October 2019 12:00
Oleh: Usman Roin *
blokBojonegoro.com - Tragedi penusukan Menkopolhukam, Wiranto, Kamis (10/10) di Alun-Alun Menes, Pandeglang, Banten, membawa keprihatinan bersama tak terkecuali penulis sebagai guru. Bahkan Presiden Joko Widodo pasca kejadian tersebut langsung memerintahkan Kapolri dan Kepala BIN untuk mengusut tuntas kejadian penyerangan yang juga memakan tiga korban: Kapolsek, ajudan, serta tokoh masyarakat.
Tragedi di atas membelalakkan mata kita bersama, betapa masifnya gerakan ekstrimis yang menggunakan baju ‘Agama’ untuk melukai orang lain dengan paradok jihadis. Bahkan kata Kepala BIN, Budi Gunawan, pelaku penyerangan yang telah diringkus merupakan anggota Jaringan Ansharut Daulah (JAD) Bekasi.
Ulasan penulis ini bukan hendak memaparkan secara panjang lebar hal yang melatarbelakangi kejadian tersebut, melainkan hendak mempertegas peran pendidik/guru Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai pengendali dini radikalisme di sekolah.
Mengutip Dr. Sri Yunanto (2018:248), dalam buku Islam Moderat vs Islam Radikal, bahwa kelompok-kelompok radikal memilih lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun informal sebagai sasaran dalam mengembangkan gagasan radikalnya. Operasionalnya, lembaga pendidikan dijadikan diseminasi gagasan yang berlanjut tahap rekrutmen.
Jika demikian adanya, guru PAI perlu dibangkitkan perannya sebagai upaya mengentalkan akidah Islam yang benar melalui pembelajaran. Bukan Islam yang menyakiti kepada sesama saudaranya sendiri. Untuk itu, upaya membangkitkan wawasan Islam yang rahmatallil’alamin ini patut menjadi pegangan guru PAI, agar keberadaannya tidak sekadar sebagai penyampai risalah Islam yang normatif, melainkan juga mempertegas pada bagaimana kontribusi nyata ikut membentengi, mengawal, dan juga memberikan pemahaman yang baik dan benar tentang Islam.
Keberadaan guru PAI di semua jenjang pendidikan perlu dioptimalkan perannya agar tidak sekadar mengajar tekstual melalui buku ajar yang dimiliki an sich, tetapi juga mengaitkan peran muslim untuk menjaga kedamaian, membentuk perilaku individu yang santun kepada sesama agar perilaku yang tercermin tidak mengalami disorientasi sebab kedangkalan ajaran yang ‘baru’ diterima.
Jika peran di atas luput, maka elan vital guru PAI akan dipertanyakan. Hal itu karena serbuan ajaran radikalisme begitu masif baik lewat medsos, maupun doktrin buku jihadis.
Jika guru PAI tidak membuka diri (mata dan mind side) terhadap hal demikian, bisa jadi ada celah mulus para siswa terpapar radikalisme. Hal itu tentu tidaklah kita inginkan jika kita menatap optimisme ke depan untuk Indonesia yang lebih baik. Oleh karenanya, agar guru PAI ambil bagian dalam pencegahan paham radikal, bagi penulis ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
Pertama, guru PAI perlu diberikan informasi potensi radikalisme kekinian. Ini artinya, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), akademisi, pemerhati dan lainnya, perlu memberi ulasan mendalam potret radikalisme kepada guru-guru PAI. Mulai dari bagaimana sistem, dan pola teranyar yang dilakukan untuk kemudian dicari solusi apik langkah konkrit, serta peran strategis mereka di masing-masing lembaga pendidikan. Adapun bentuknya, bisa melalui FGD atau pembinaan khusus agar mereka selain melek juga menjadi agen moderasi terhadap upaya-upaya instabilitas NKRI.
Kedua, Perguruan Tinggi (PT) ‘berbasis Islam’ sebagai pencetak pendidik perlu meninjau kurikulum yang ada. Apakah sudah ideal untuk melahirkan pendidik yang menjadi penebar Islam rahmatan lil’alamin atau belum? Jika sudah, maka prototipe PT tersebut perlu dijadikan rujukan diseminasi generasi pendidik yang menjunjung tinggi Islam moderat kepada publik. Namun bila belum, telaah besar-besaran perlu segera dilakukan untuk mengkonstruksi agar output pendidik PT tersebut betul-betul menjadi calon pemimpin yang moderat dan inklusif yang senantiasan menjunjung tinggi kedamaian.
Ketiga, perlunya pembelajar agama yang tidak hanya normatif. Artinya pendidikan Agama yang diberikan oleh guru, tidak hanya berkutat pada transfer atau pemberian ilmu, atau bahkan dominan pada aspek kognitif. Justru proses internalisasi nilai (afektif) perlu dibarengi dengan aspek kognitif. Meminjam bahasa Muhaimin (2002:196), ketika hal tersebut dilakukan akan timbul dorongan siswa untuk mengamalkan dan menaati ajaran dan nilai-nilai dasar agama yang telah diinternalisasikan dalam diri siswa (psikomotorik).
Keempat, guru PAI perlu melakukan supervisi dan mengendalikan kurikulum pendidikan agama di dalam kelas maupun di luar yang dilakukan oleh ustadz, mubaligh, murabbi yang datang dari luar sekolahan. Tujuannya, agar para siswa yang haus dalam ilmu Agama tidak dicekoki dengan doktrin-doktrin radikal.
Untuk itu, kontekstualisasi ajaran agama perlu segera direalisasikan oleh semua guru agama di sekolah agar dapat melahirkan generasi-generasi terbuka, menghargai perbedaan, dan mengedepankan dialog. Akhirnya, kalau strategi pendidikan agama seperti ini dilakukan dan berhasil pasti bisa menjadi daya tangkal yang sangat efektif untuk meminimalisir lajunya perkembangan kejahatan kemanusiaan yang bernama radikalisme. Dan yang terpenting peran bersama guru lain sangat diperlukan untuk ikut menangkal itu semua.
* Penulis : Pengurus Majelis Alumni IPNU Bojonegoro.
Tag : Radikalisme, guru
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini