Berawal dari Laweyan, Pria Dolokgede Kembangkan Home Industri Batik Lokal
blokbojonegoro.com | Sunday, 29 August 2021 12:00
Reporter: Lizza Arnofia
blokBojonegoro.com - Sejarah membatik mulanya merupakan tradisi dari Keraton. Oleh karena itu motif batik di keraton penuh dengan filosofi kehidupan. Bahkan dari keraton, busana adiluhung itu melebar ke lingkungan sekitar atau keluarga ningrat. Kemudian abdi dalam keraton yang membawa tradisi batik keluar dari lingkungan keraton.
Tak hanya di wilayah Surakarta dan Yogyakarta batik berkembang cukup pesat, bahkan saat ini menjadi ciri khas Nasional. Hampir setiap daerah memiliki beragam corak khas batik sesuai dengan kearifan lokal wilayah.
Hal ini pula yang menjadi semangat perajin Batik Bojonegoro di Dolok Gede, Kecamatan Tambakrejo, Lukdianto. Berawal dari pelatihan membatik dari tahun 2012 yang diselenggarakan oleh Ademos di Kampung Batik Laweyan, Kota Surakarta dia saat ini menjadi produsen batik.
"Dulu di Laweyan belajar selama satu Minggu kemudian tahun 2013 mendirikan usaha sendiri di rumah dengan dibantu beberapa peralatan membatik dari Ademos," ujarnya.
Delapan tahun merintis usaha batik rumahan, hingga kini peminatnya cukup lumayan baik dari dalam kota maupun luar kota.
Motif yang dihasilkan dari sentra produksi Batik Dolokgede cukup beragam. Mulai dari motif Khahyangan Api, Wayang Thengul, Waduk Pacal, Bengawan Solo, Jembatan Sosrodilogo, Wonocolo, Atas Angin, Jati hingga bunga Rosela dan motif Meliwis Putih. "Semua motif batik lokal khas Bojonegoro. Karena pada dasarnya memasarkan potensi lokal daerah," ungkap pria asal Dolokgede.
Dibalik keindahan batik lokal tersebut, ada beberapa tahapan teknik membatik diantaranya berupa batik cap dan tulis. Dimulai dari proses pemotongan kain, pemberian lilin pewarnaan, penguncian warna, perebusan, pencucian dan penjemuran hingga pengemasan.
Dengan lama pengerjaan tergantung teknik pewarnaan. Untuk yang paling cepat yakni teknik kelengan atau 1 warna, memakan waktu pengerjaan 2 hari. Ada juga yang harus menggunakan banyak warna bisa memakan waktu hingga lima hari.
Namun untuk batik tulis produksi kurang lebih satu Minggu bahkan berbulan-bulan. Tetapi untuk batik tulis sentra batik Dolokgede sudah tidak melakukan produksi kembali. "Teknik pewarnaan yang kami gunakan ada kelengan, laseman hingga pecah motif," imbuh dia.
Saat ditanya terkait dimana letak kesulitan memproduksi kerajinan batik, ia mengaku ada pada minimnya sumber daya manusia (SDM) yang ada. Karena yang bisa mengerjakan hanya dua orang, sehingga lama prosesnya terutama batik tulis yang mana harganya cukup mahal dan sulit bersaing di pasaran. "Untuk pemasaran batik tentu menjadi masalah yang cukup sulit bagi para pengrajin, terlebih di masa Pandemi Covid-19 seperti ini," tutur pria 28 tahun ini.
Bahkan agar batik lokal tetap eksis, ia harus mengatur beragam strategi pemasaran. Diantaranya dengan memaksimalkan jejaring online berupa facebook dan instagram. "Terkadang juga banyak pembeli offline yang datang langsung ke sentra Batik Dolokgede," sambung Lukdianto.
Dalam sehari, pria asal Dolokgede ini mampu memproduksi 25 potong untuk satu warna dengan menggunakan teknik kelengan. Kemudian dalam jeda dua hari, ia bisa memproduksi sebanyak 25 potong untuk teknik pewarnaan beragam warna serta menghasilkan 30 potong dalam kurun waktu satu Minggu.
"Dengan harga yang bisa dikatakan relatif bersahabat yakni mulai dari Rp65.000 hingga Rp165.000 per potong. Dan omzet yang cukup lumayan, sebulan bisa mencapai Rp3 juta hingga Rp8 juta," ucapnya.
Sebagai salah seorang perajin batik lokal, yang mana tentunya usahanya berdampak besar saat Pandemi Covid-19. Lukdianto juga berharap, Pandemi ini segala berakhir dan hidup kembali normal termasuk perekonomian rakyat segera pulih kembali.
"Harapan kami tentunya masih sama, Pandemi ini segera berakhir. Agar nantinya pemakaian seragam batik di perkantoran maupun sekolah digencarkan kembali. Sekaligus event tahunan dan pameran tetap eksis mempromosikan batik lokal," harapnya. [liz/lis]
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini