Tradisi Malam Sanga Akulturasi Budaya Jawa dan Islam Masih Lestari di Bojonegoro
blokbojonegoro.com | Tuesday, 09 April 2024 13:00
Reporter: Lizza Arnofia
blokBojonegoro.com - Tradisi Malam Sanga merupakan salah satu bagian dari malam ganjil dari bulan ramadan pada 10 hari terakhir. Yaitu malam selikur, telulikur, selawe, pitulikur dan malam sangalikur.
Malam terakhir inilah yang oleh paham jawa, disebut sebagai Malam Sanga. Jika ditulis dengan angka 29 (dua puluh sembilan atau sangalikur), angka terakhir yaitu 9 (sanga) merupakan angka tertinggi.
Pasang Colok-Colok Malam Sanga
Menyambung terkait malam sanga di bulan ramadan, tentu dikaitkan dengan para leluhur (arwah para ahli waris). Pada hari puasa ke 29 disebut Malem Sanga, merupakan angka paling Gedhe Sanga/sangat. Di malam tersebut para ahli waris mulai menjemput, mengundang para arwah leluhur untuk tilik ngomah.
"Para ahli waris juga melakukan bancakan maleman terakhir, harapannya bisa diterima oleh Gustinya ditempat yang layak ( Swarga). Tradisi ini bahkan masih melekat di masyarakat Bojonegoro. Uniknya berapa rumah diberikan colok (obor) dari luar rumah, ke dalam rumah. Dengan harapan untuk tenger perjalanan menuju rumah ahli waris," ungkap Budayawan Bojonegoro, Suyanto.
Tradisi Unik Akulturasi Budaya Islam dan Jawa
Tradisi ini memang tradisi unik, yang menghubungkan michrocosmos dengan machrocosmos. Dan ini merupakan pemikiran intelektual zaman dahulu, kala hal tersebut dilaksanakan pada awalnya dan entah diwariskan sejak kapan.
"Esensi dari colok-colok menyambut arwah leluhur, melalui ublik/teplok menuju rumah dan mencari ahli waris. Dan inilah tradisi unik di Bojonegoro malam sanga, harapannya semoga terkabul harapan besar dan menyambut leluhur dengan bancaan, serta diampuni dosanya," ujarnya.
Anggap Pernikahan Malam Sanga Sakral, Diharapkan Neptu Pitung Tak Terpakai Lagi
Selain tradisi colok-colok, sebagian besar masyarakat yang memiliki gawe juga memilih melangsungkan pernikahan di malam sanga. Karena dianggap malam baik/besar, harapannya para leluhur pulang dan diharapkan neptu pitung tidak dipakai lagi.
"Pilihan tersebut dianggap hari baik, itulah luwesnya orang Jawa, menerima aturan agama yang ada di Jawa ini. "Ngebo Bingung" alias norok bontek, menganggap malam sanga juga sebagai hari baik," imbuh Pakde Yanto Munyuk sapaan karibnya.
Dari 28 Kecamatan, hanya 2 Kecamatan tidak ada pernikahan malam sanga. Karena masyarakat di sekitar Sekar dan Margomulyo, masih kental dengan budaya Mataraman dengan petung, yaitu cara Mediunan. "Jadi tradisi Nikah Malem Sanga (sangalikur) dengan tradisi colok-colok ini berkesinambungan alias ada tangkainya," bebernya.
Perlu diketahui, berkaitan dengan relasi agama dan kebudayaan, Koentjaraningrat menilai konsep dasar agama tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat yang menganut agama tersebut.
Konsep dasar yang pertama yakni adanya perasaan emosional yang menjadi pemicu manusia sehingga memiliki sifat religius. Setelah itu, manusia membuat sistem kepercayaan sekaligus tentang bayangan sifat-sifat ketuhanan.
Kemudian sebagai wujud implementasi dari sistem kepercayaan tersebut, manusia memproduksi beragam ritual. Ritual-ritual ini sifatnya tidak statis, karena setiap ritual memiliki orientasi yang berbeda-beda. Terakhir untuk melaksanakan ritual, manusia memerlukan orang lain. Maka terbentuklah kelompok-kelompok yang menjadi penganut agama tersebut (Koentjaraningrat, 2000: 79).[liz/lis]
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini