Belajar, Pesan Penting Hardiknas Kini
blokbojonegoro.com | Thursday, 02 May 2024 10:00
Oleh: Usman Roin *
blokBojonegoro.com - Hari ini, kita memperingati hari pendidikan nasional (Hardiknas). Berbagai flayer ucapan selamat dibuat untuk mengingatkan kepada sosok pejuang Ki Hadjar Dewantara, yang namanya abadi menjadi tokoh nasional oleh kiprahnya memperjuangan rakyat bisa mengenyam pendidikan kala Indonesia masih dijajah Belanda.
Perjuangan beliau untuk empatik kepada pendidikan masyarakat patut diteladani. Tentu, itulah substansi kekinian yang perlu diteruskan. Yakni, bagaimana agar masyarakat kita tetap menganggap belajar -formal dan nonformal- sebagai faktor penting untuk kemajuan bangsa.
Karena bicara “belajar” dalam konteks sekolah dan kuliah, masih terdapat stigma yang perlu diluruskan. Sekolah maupun kuliah tidak penting. Padahal, untuk bisa ikut dan berkontribusi secara global, sumber daya manusia (SDM) berpendidikan yang kapabel sangat diperlukan agar bisa hidup di lintas zaman.
Islam
Agama Islam, juga memiliki penekanan tersendiri pentingnya belajar. Mengutip Prof. Dr. Fadhl Ilahi Zhahir (2020:26), berdasarkan riwayat Imam At-Thabrani dari Shafwan bin ‘Asal al-Murad ia berkata, “Saya mendatangi Rasulullah Saw dan beliau di masjid bersadar dengan memakai burdah mereh. Saya berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk menuntut ilmu.”
Beliau kemudian bersabda, “Selamat datang penuntut ilmu! Sesungguhnya penuntut ilmu itu dinaungi olah para malaikat dengan sayapnya kemudian mereka saling menumpuk hingga sampai langit, dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang dipelajari.”
Berdasarkan hadis tersebut, Rasulullah Saw menyambut Shafwan ketika ia datang kepadanya untuk belajar ilmu. Lalu memberi kabar gemberi serta menjelaskan penghormatan malaikat kepada penuntut ilmu.
Atas uraian tersebut, betapa mulia sekali bagi yang mau menuntut ilmu, belajar, baik formal maupun non formal. Terlebih, kini telah banyak beasiswa bisa diperolah. Tentu tidak ada alasan lagi untuk tidak meneruskan belajar. Dari jenjang dasar, menengah, hingga PT.
Kala melakoni dan selesai jenjang formal, jenjang non formal pun juga bisa digunakan untuk tetap belajar. Mulai dari taman pendidikan Al-Qur’an (TPQ), madrasah diniyah (Madin), majelis taklim, zikir serta jenis penamaan lainnya.
Terlebih, orang yang semangat belajar hingga berilmu (ilmuan) sebagaimana firman Allah Swt (58:11), akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
Amalkan
Pasca memiliki ilmu, pesan kekinian dari Hardiknas adalah ringan mengamalkan apa yang diketahui. Terlebih Islam telah jelas meminta kepada kita mencari ilmu sebanyak-banyaknya dari mulai lahir hingga meninggal untuk kemudian dimanfaatkan sebanyak-banyaknya keilmuan yang didapat berhidmah kepada umat (masyarakat).
Karenanya lahirlah sebuatan kiai, ustaz, ustazah, yang menjadi panutan serta tempat bertanya aneka problem kehidupan bagi orang awam. Jika demikian, keberadaan kiai, ustaz, ustazah, bisa menjadi penyinar sekelilingnya supaya kegelapan dalam berpikir bisa berubah menjadi terang.
Dengan demikian, mengajarkan ilmu (sebagai hasil dari belajar) kepada sesama, adalah aktivitas terpuji bahkan masuk dalam kategori sedekah utama sebagaimana riwayat Ibnu Majah (243) yang artinya: “Sedekah yang paling utama, ialah apabila seorang muslim mempelajari ilmu dan mengajarkannya kepada sesama muslim yang lain.”
Hal itu selaras dengan apa yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara yang peduli dengan nasib pendidikan masyarakat, yang kala itu pribumi tidak mendapatkan akses pendidik. Meski beliau lahir dari sosok bangsawan Paku Alam Yogyakarta, dengan ayah yang bernama Kanjeng Pangeran Adipati Ario Suryaningrat putra sulung Sri Paku Alam III, tetapi semangatnya untuk membala pribumi agar tetap bisa belajar dan belajar tidak pernah padam.
Karenanya, marilah menjadi contoh kala kita berada di depan sebagaimana semboyan beliau dalam bahasa Jawa “Ing ngarsa sung tuladha.” Dalam arti luas, siapa pun yang berada di depan adalah teladan. Sebagai contoh, bila kita (guru-dosen) maka menjadi suri tuladan bagi peserta didik dan mahasiswa. Bila pemimpin, maka harus menjadi teladan bagi yang dipimpin.
Kemudian, kala di tengah berilah bimbingan, yang dalam semboyan Jawa “Ing madya mangun karsa.” Bagi pemimpin, selain menjadi contoh juga harus memberi arahan dan bimbingan supaya kinerja bawahannya lebih terarah dan pasti. Adapun dalam dunia pendidikan, guru dan dosen perlu membimbing siswa-mahasiswanya untuk menemukan bakat dirinya masing-masing.
Lalu, manakala di belakang senantiasa memberi dorongan yang dalam semboyan Jawa dilafalkan “Tut wuri handayani.” Bila bicara pemimpin, ia bisa menempatkan diri di belakang untuk mendorong masing-masing pribadi yang ada dalam organisasi yang dinaungi, berada di depan memperoleh kemajuan dan prestasi.
Pada makna lain, meminjam bahasa Saiful Herman (2020:162), pemimpin mampu menyiapkan regenerasi yang lebih baik mendatang. Hal itu sebagaimana pepatah, “bila pemimpin yang baik adalah ia yang mampu menyiapkan pemimpin berikutnya yang lebih baik dari dirinya.”
Akhirnya, bangunan filosofis karakter yang cetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara selain mewujudkan pembelajar sejati sebagai upaya memberantas buta aksara kaum pribumi, juga melalui kepintaran yang diperoleh bisa membantu orang lain, bangsa dan negara. Bukan sekadar mencukupkan pada bekerja mencari uang untuk kehidupan sehari-hari.
* Penulis adalah Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah Unugiri, Pengurus PAC ISNU Balen, serta Pengurus Remaja Masjid Agung Darussalam, Bojonegoro
Tag : Hari, pendidikan, nasional, Ki hajar Dewantara
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini