Kecerdasan dan Ketaatan dalam Beragama
blokbojonegoro.com | Monday, 29 July 2024 13:00
Oleh: Ahmad Zainul Hamdi
أقرب الناس من درجة النبوّه أهل العلم.... ألحدىث
Artinya: “Manusia yang derajatnya paling dekat dengan derajat kenabian adalah mereka yang berilmu…. Al-Hadits.” (Dikutip dari al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din)
Terlalu sering kecerdasan dipertentangan dengan ketaatan, terutama dalam beragama. Dalam kasus kehidupan keberagamaan di Indonesia, sejumlah tokoh Muslim bahkan pernah menjadi korban dari stigma ini. Sebut saja nama-nama seperti Gus Dur, Harun Nasution, dan Nurcholis Madjid. Anak muda (sekarang sudah menjadi bapak setengah tua) yang menjadi korban stigma ini adalah Ulil Abshar-Abdalla.
Nama-nama ini tidak hanya distigma sebagai Muslim liberal karena penggunaan rasio dalam menalar agama, tapi mereka juga pernah menjadi target fatwa kekerasan oleh kelompok yang merasa dirinya paling taat. Dalam sejarah pemikiran Islam, banyak tokoh kredibel yang menggunakan kecerdasan dan ketajaman analisis rasionya dalam memahami Islam.
Sekalipun demikian, kredibilitas ketaatannya dalam ber-Islaman terakui dari generasi ke generasi hingga ini. Tak perlu mencari-cari tokoh tersebut ke kelompok Mu’tazilah yang memang dikenal sebagai para rasionalis Muslim di bidang teologi. Bahkan, di kalangan tokoh Ahlusunnah pun kita bisa menemukan tokoh yang biasa menggunakan rasionya dalam merumuskan pandangan-pandangan keislamannya.
Salah satu dari tokoh itu adalah Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab fiqh Hanafi. Imam Abu Hanifah secara umum dikenal sebagai salah satu dari imam mazhab besar yang gemar menggunakan rasionya dalam melakukan istinbath al-hukm (penggalian hukum).
Begitu rasionalnya pandangan-pandangan fiqh Imam Abu Hanifah, sampai saya membayangkan, andaikan dia hidup di zaman sekarang, mungkin dia akan dihakimi sebagai liberal dan menerima fatwa seperti beberapa tokoh yang saya sebut di atas. Salah satu pandangan Imam Abu Hanifah yang bisa diambil sebagai contoh di sini adalah pandangannya tentang sahnya pernikahan tanpa wali bagi seorang perempuan.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa seorang perempuan dewasa boleh menikahkan dirinya sendiri atau menyuruh orang lain yang bukan walinya untuk menikahkannya. Bahkan, ia bisa menjadi wali bagi perempuan lain. Ini berlaku baik itu untuk perempuan yang belum pernah menikah atau yang sudah pernah menikah.
Dari mana pendapat Imam Abu Hanifah bisa seperti ini? Ini karena perbedaan dalam memaknai istilah “ألأيم” dalam hadits yang diriwayatkan al-Turmudzi. (ألأيم أحق بنفسها من وليها), yang artinya “ألأيم lebih berhak atas dirinya daripada walinya”. Jika kebanyakan ahli fiqh, termasuk Imam Syafi’i, mengartikan ألأيم sebagai perempuan janda, maka, Imam Abu Hanifah mengartikannya sebagai perempuan yang merdeka (bukan budak), baligh, dan berakal.
Oleh karena itu, menurut Imam Abu Hanifah, seorang perempuan merdeka yang sudah baligh dan berakal dapat menikahkan dirinya sendiri, sekalipun pernikahan tersebut tidak diakadkan oleh walinya. Hal ini berlaku pada perempuan gadis ataupun janda.
Lalu, siapakah Imam Abu Hanifah ini? Di dalam tulisan Abdurrahaman Kasdi, Rektor IAIN Kudus dinyatakan, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang ahli dalam ilmu fiqih di Irak. Dia hidup saat di Baghdad terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Dia masih terhitung Tabi’in, karena masih menjumpai beberapa Sahabat, yaitu Anas bin Malik, Abdullah bin Abi, Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, dan Abu Thufail Amir bin Watsilah. Selain itu, dia juga meriwayatkan hadits dari Atha bin Abi Rabah, Nafi’ Mawla Ibnu Umar, Qatadah, dan Hamad bin Sulaiman. Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, al-Ghazali menceritakan kezuhudan Imam Abu Hanifah.
Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqh besar sekaligus seorang sufi yang agung. Dia dilukiskan sebagai pribadi yang sangat santun, yang menghabiskan malam-malamnya untuk bermunajat pada Allah. Suatu kali Khlifah Abu al-Manshur memerintahkan kepada bendahara negara untuk memberi uang 10.000 dirham kepada Imam Abu hanifah. Namun, sang Imam tidak mau menerimanya. Di hari ketika utusan khalifah datang, sang Imam tetap dengan pakaian kesehariannya, tanpa ada keistimewaan penyambutan apapun.
Bahkan, dia tidak mau berbicara dengan sang utusan. Utusan tersebut kemudian meletakkan uang di sudut kamar sang Imam dan kembali pulang. Melihat ada uang yang tergeletak di kamarnya, sang Imam memberi wasiat kepada anaknya. Beginilah bunyi wasiatnya, “Kalau aku meninggal dan kalian selesai mengubur jasadku, bawalah uang ini kepada khalifah. Katakan kepadanya kalau ini adalah kekayaannya yang pernah ia simpan di kediaman Abu Hanifah.”
Wasiat itu pun ditunaikan oleh putra sang Imam. Meneladani kisah orang-orang mulia ini, semestinya membawa kita pada sebuah kesadaran bahwa kecerdasan dalam beragama tidak harus membawa kita jatuh pada hilangnya ketaatan kepada sang Pemilik Agama.
Kemuliaan Islam akan terasa agung jika ia dibangun di atas kaki kecerdasan dan ketatan. Lalu, mengapa kita begitu mudah mencap orang sebagai Muslim bejat dan pengkhianat Islam hanya karena menggunakan akalnya dalam memahami agama?. [lis]
Tag : Kolom, kecerdasan
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini