RA. Kartini, Ki Hajar Dewantara dan Literasi
blokbojonegoro.com | Monday, 05 May 2025 16:00
Kolase potret Kartini dan Ki Hajar Dewantara. (Ilustrasi. Net)
Oleh: Ahmad Zainul Arifin
blokBojonegoro.com - Raden Ajeng Kartini lahir di Mayong Jepara, pada 21 April 1879. Ayahnya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah seorang bupati di Jepara. Kartini dikenal sebagai pribadi yang supel, menghormati orangtua, dan berjiwa sosial. Sebagai keturunan bangsawan tidak membuatnya merasa sombong dan membeda-bedakan status sosial. Kartini berteman baik dengan siapapun. Kartini juga sangat menghormati orang tua. Ada gejolak di dalam hati saat ia harus menjalani pingitan. Namun, berbekal rasa hormat dan patuhnya terhadap keluarga dan tradisi, beliau tetap mengikuti aturan tersebut. Demikian juga ketika sang ibu, Ngasirah, menolak mentah-mentah pemikiran Kartini untuk mengubah nasib perempuan. Hubungan antar ibu dan anak itu pun sempat renggang. Meskipun timbul rasa kecewa, perlahan RA Kartini kembali memperbaiki hubungan dengan sang ibu, seperti dituturkan Salsabila Nanda.
Adapun jiwa sosial Kartini dapat dilihat dari kunjungannya ke desa-desa, ia bersama kedua adiknya berusaha mengatasi kemiskinan yang dialami oleh masyarakat di kampung Belakanggunung. Hasil karya para pengrajin ukir kala itu dihargai terlalu murah. Kartini menghubungi beberapa orang di Belanda untuk membantu mempromosikan kerajinan Jepara di Semarang, Batavia, dan Belanda. Kesejahteraan para pengrajin ukir pun meningkat setelah itu. Dan setelah menikah dengan Bupati Rembang, Kartini tetap melanjutkan perjuangannya untuk mendidik kaum perempuan dari Jawa dan Madura.
Door Duisternis Tot Licht, merupakan kumpulan surat-surat RA. Kartini kepada teman-temannya di Eropa yang dibukukan oleh Mr. J.H.Abendanon, diterbitkan pertama kali pada tahun 1911, yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Balai Pustaka.
Buku ini menegaskan sosok Kartini sebagai wanita pemberani, berwawasan luas, pantang menyerah, mandiri dan inspiratif, sebagaimana dinyatakan Alifia Kamila pada detik-Jatim. Senada dengan itu Djoko Marihandono dalam Sisi Lain RA. Kartini menyebutkan karena ingin memperjuangkan martabat perempuan, Kartini dengan berani mendobrak aturan-aturan yang ada. Ia berpandangan bahwa perempuan harus keluar rumah untuk belajar dan mengejar cita-cita. Tidak hanya di dalam rumah, hanya mengurusi rumah tangga. Ketika harus berhenti sekolah pada usia 15 tahun dan dipingit tidak menyurutkan semangat Kartini untuk tetap mempelajari hal baru. Ia memperkaya wawasannya melalui leestrommel atau kotak bacaan yang menjadi langganan ayahnya. Bacaannya pun beragam, meliputi buku, koran, majalah baik dari dalam maupun luar negeri. Sikapnya yang berani untuk mendobrak stereotip masyarakat saat itu patut diapresiasi. Sikap beraninya inilah yang membuahkan hasil bahwa wanita Indonesia akhirnya mendapatkan kesempatan yang setara dengan kaum pria, meskipun saat itu pandangan dan sikap RA Kartini ini ditentang oleh masyarakat sekitar.
Ki Hajar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Nama lahirnya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Dia merupakan putra dari G.P.H. Soerjaningrat dan cucu dari Paku Alam III.
Ki Hajar Dewantara adalah pendiri Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Ia percaya bahwa pendidikan adalah hak semua orang, tidak hanya bagi kaum bangsawan atau orang kaya. Ki Hajar Dewantara yang berasal dari lingkungan keluarga bangsawan Kadipaten Pakualaman dikenal juga sebagai aktivis Revolusi Nasional Indonesia, guru, kolumnis, dan politisi.
Als ik een Nederlander was merupakan artikel yang ditulis Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro. Als ik een Nederlander was dimuat dalam surat kabar De Expres edisi Juli 1913, yang artinya Seandainya aku seorang Belanda. ditulis ketika pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda pada 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi Soerjaningrat seperti diungkap Chris Lebeau.
Kritikan tajam dalam artikel itu mengakibatkan dia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan diasingkan ke Pulau Bangka kemudian ke negeri Belanda bersama rekannya Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Namun ketika dalam pengasingan ini Soewardi aktif dalam orgsnisai pelajar asal Indonesia yang kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta (ijazah pendidikan) yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan.
Soewardi kembali ke Indonesia pada September 1919, lalu pada juli 1922 mendirikan lembaga pendidikan Taman siswa di Yogyakarta. Semua anggota keluarga Taman Siswa berniat untuk tidak memandang sesama berdasarkan kedudukan dengan melepaskan sebutan-sebutan dari zaman feodal seperti raden, raden mas, raden roro, raden ajeng, raden ayu, dan sebagainya. Maka pada Februari 1928, Suwardi Suryaningrat menanggalkan gelar Raden Mas (RM) berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
Semuanya dengan ikhlas hati mengganti sebutannya masing-masing menjadi “Ki, Nyi atau Ni”. “Ki” merupakan kata sapaan kepada orang tua atau guru laki-laki. “Nyi” sebagai kata sapaan kepada orang tua atau guru perempuan. Dan “Ni” adalah kata sapaan untuk perempuan yang belum menikah. Hal ini dilakukan agar lebih dekat dengan rakyat dan sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari.
Yang menarik dari RA. Kartini dengan Door Duisternis Tot Licht-nya, dan Ki Hajar Dewantara dengan Als ik een Nederlander was-nya adalah keduanya merupakan karya lietrasi dengan daya gempur yang dahsyat, merefleksikan kondisi riil dan sebuah cita luhur kemerdekaan, baik kemerdekaan berpikir maupun kemerdekaan dari penindasan dan imperialisme. Fenomena yang tercerna pada keduanya menggambarkan kondisi yang tidak selayaknya, kondisi yang perlu dirubah menjadi sebuah peradaban yang memposisikan manusia sesuai harkat dan martabatnya. Dan terbukti membangkitkan nasionalisme dan menjadi tonggak perubahan.
Kuatnya karakter yang ditampilkan adalah berasal dari kuatnya karakter tokohnya yang humanis, rendah hati, menghormati, peduli, menjunjung kesetaraan, dan progresif. Karakter yang patut diteladani dan dimiliki oleh setiap generasi supaya menjadi pribadi yang bernilai dan mampu berkontribusi. [red]
Tag : RA Kartini, ki Hajar Dewantara, literasi
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini