Reporter: Muhammad
blokBojonegoro.com - Turats sebagai warisan ulama harus terus dilestarikan dan Ma’had Aly didorong untuk tidak berhenti pada proses pelestarian saja. Lebih dari itu, turats juga diharapkan sebagai basis distingsi transformasi pengembangan riset Islam yang mampu menjawab tantangan zaman baik aspek sosial, hukum, dan teknologi kontemporer.
Dorongan tersebut mengemuka dalam kegiatan Halaqah Literatur Turats Ma’had Aly yang diselenggarakan pada 11–13 Desember 2025 di Serpong, Tangerang.
Kasubdit Pendidikan Ma’had Aly, Mahrus menyampaikan bahwa Ma’had Aly perlu memiliki identitas keilmuan khas yang membedakannya dari Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. “Ma’had Aly bukanlah salinan dari PTKI. Ia memiliki keilmuan khas yang lahir dari tradisi pesantren, tetapi disusun secara akademik dan metodologis,” ujar alumni pesantren al-Munawir Krapyak di Tangerang, Sabtu (13/12/2025).
Ia menjelaskan bahwa keilmuan khas tersebut perlu dibangun melalui struktur literatur yang sistematis sesuai KMA 1495 tahun 2025. Menurutnya, pengembangan keilmuan Ma’had Aly harus ditopang oleh tiga pilar utama, yakni literatur primer berupa kitab-kitab inti sesuai takhasus, literatur sekunder berupa kitab penjelas (syarah), serta literatur interdisipliner yang memperluas horizon keilmuan pesantren.
Lebih lanjut, alumni UIN Sunan Kalijaga ini menekankan pentingnya penguatan kelembagaan melalui penambahan konsentrasi keilmuan dan kaderisasi ulama berbasis kebutuhan masa depan masyarakat.
“Kita harus mulai lebih serius lagi untuk melakukan tahqiq, syarah, hasyiyah, terhadap karya-karya ulama, khususnya dari pendiri awal Ma’had Aly. Dari situlah fondasi keilmuan kita dibangun, bukan sekadar mengulang kitab yang sama,” tegasnya.
Ia juga mendorong pengembangan repositori digital nasional antar-Ma’had Aly agar khazanah keilmuan pesantren dapat diakses secara luas dan terintegrasi.
Sementara itu, narasumber yang juga asesor Ma'had Aly, KH. Ahmad Ubaydi Hasbillah mengkritisi pola kajian Hadis di lingkungan pesantren yang dinilai masih mengalami stagnasi. Ia menyoroti kecenderungan kajian yang terlalu fokus pada periwayatan tekstual (riwayah), tanpa penguatan analisis metodologis (dirayah) dan konteks sosial.
“Hadis seringkali dipahami hanya sebagai teks yang dihafal, bukan sebagai sumber ilmu yang dianalisis secara metodologis dan dikontekstualisasikan dengan realitas sosial,” ujarnya.
Menurut alumni Darus Sunnah, turats Hadis sejatinya merupakan warisan intelektual yang dinamis dan menuntut pengembangan metode kajian yang relevan dengan perkembangan zaman.
“Turats bukan teks mati. Ia hidup dan menuntut inovasi. Jika tidak dikembangkan, maka kajian Hadis akan tertinggal jauh dari dinamika masyarakat,” tambahnya.
Dalam forum tersebut, ia mengusulkan penyusunan peta jalan nasional takhasus Hadis yang mencakup standardisasi literatur dan standardisasi bahasan (bahts). Standardisasi tersebut meliputi penguasaan literatur Hadis utama seperti Kutubut Tis‘ah, literatur kritik Hadis, hingga pendekatan rekontekstualisasi seperti living hadis.
Selain itu, ia menekankan bahwa setiap kajian Hadis harus mencakup analisis sanad, matan, dialog dengan literatur klasik dan modern, serta pembacaan konteks sosial. Pendekatan ini, menurutnya, telah berkembang pesat dalam kajian Hadis di Timur Tengah dan Barat, dan perlu menjadi rujukan akademik Ma’had Aly.
Pembicara lainnya, KH. Ma’ruf Khozin, yang juga ketua fatwa MUI Jawa Timur memaparkan fleksibilitas Fikih dan Usul Fikih klasik dalam merespons persoalan-persoalan mutakhir. Ia menegaskan bahwa prinsip-prinsip fikih memiliki daya adaptasi yang kuat terhadap perubahan zaman.
“Tidak ada satu peristiwa pun yang menimpa umat kecuali syariat memiliki petunjuknya, baik secara eksplisit maupun implisit,” ujarnya, merujuk pada pandangan Imam Syafi‘i.
Dalam pemaparannya, Ma’ruf Khozin mengulas penerapan fikih dalam berbagai isu kontemporer, mulai dari muamalah digital, transaksi daring, akad nikah melalui media elektronik, hingga praktik transaksi di ruang virtual.
Menurutnya, selama rukun dan syarat akad terpenuhi, media digital dapat diposisikan sebagai bentuk kinayah yang sah secara fikih. Ia juga membahas persoalan fikih ibadah dalam kondisi darurat, fikih lingkungan, fikih minoritas, fikih medis terkait tindakan pengobatan dan teknologi reproduksi, serta fikih keuangan, termasuk prinsip riba dan praktik perbankan konvensional dalam kondisi keterpaksaan.
“Fikih tidak kehilangan relevansinya. Justru tantangan hari ini menguji sejauhmana kita mampu membaca realitas dengan perangkat manhaj (metodologi) klasik,” jelasnya.
Melalui halaqah ini, para narasumber sepakat bahwa Ma’had Aly perlu melangkah lebih jauh dari sekadar transmisi kitab klasik.
Ma’had Aly diharapkan menjadi pendidikan tinggi yang melahirkan manhaj (metodologi), pendekatan, dan produk keilmuan baru yang tetap berakar pada turats akidah, syariah, dan akhlak tasawuf, sekaligus responsif terhadap perkembangan zaman.
Peserta kegiatan ini selain para naib (wakil) mudir Ma'had Aly bidang akademik juga staf direktorat pesantren subdit pendidikan Ma'had Aly. Para wakil mudir juga menyampaikan berbagai literatur yang selama ini dijadikan referensi agar selaras dengan KMA terbaru tentang Standar Mutu Ma'had Aly. [mad]
0 Comments
LEAVE A REPLY
Your email address will not be published