Dinamika Perilaku Peserta Didik, Tinjauan Kurikulum dan Amanat UU Sisdiknas
blokbojonegoro.com | Saturday, 07 October 2017 08:00
Oleh: Whan Laba
Membicarakan persoalan dinamika perilaku peserta didik amatlah menarik. Sebab, hal tersebut sifatnya dinamis. Perlu kita sadari bersama, ada beberapa perilaku peserta didik yang perlu dibenahi. Untuk itu sebagai orang tua maupun pendidik haruslah merespon dinamika tersebut. Disini penulis ingin mencoba menguraikan dinamika tersebut dilihat dari sudut pandang amanat kurikulum dan UU Sisdiknas.
TINJAUAN AMANAT KURIKULUM
Sebelum kita panjang lebar membahas perilaku peserta didik, mari kita ingat kembali paradigma penting dalam perubahan kurikulum 1994 menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yaitu terletak pada reorientasi tujuan pembelajaran dari content oriented menjadi competence oriented, dan reorientasi proses pembelajaran dari proses penyampaian informasi menjadi proses melatihkan atau membangun kompetensi. Pembelajaran bukanlah proses transformasi informasi, melainkan sebuah proses melatihkan kompetensi kepada peserta didik kita. Hasil dari proses pembelajaran bukanlah “siswa tahu banyak” tetapi “siswa mampu berbuat banyak”. Sedangkan paradigma penting perubahan KBK menjadi KTSP adalah pemberian otonomi yang lebih luas kepada sekolah dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakter dan potensi sekolah tersebut. Pada KBK indikator kompetensi ditentukan oleh kurikulum, sedangkan pada KTSP indikator kompetensi disusun dan dikembangkan oleh guru sebagai pengampu mata pelajaran.
Kompetensi didefinisikan sebagai pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik) dan sikap (afektif) yang direfleksikan dalam bentuk kebiasaan berpikir dan berbuat. Seorang peserta didik dikatakan kompeten pada bidang tertentu apabila memiliki pemahaman kritis tentang bidang itu, memiliki keterampilan untuk mengimplementasikan bidang tersebut, dan terbentuknya sikap yang direfleksikan dalam bentuk perilaku sehari-harinya. Sebagai contoh, pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) belum dikatakan berbasis kompetensi apabila proses yang terjadi hanya sebagai proses penyampaian teori-teori tentang agama Islam. Proses pembelajaran PAI dapat dikatakan berbasis kompetensi apabila mampu membangun perilaku keberagamaan Islam pada peserta didiknya. Pertanyaannya adalah, apakah proses pembelajaran kita sudah mampu membangun kompetensi?
Kalau kompetensi dimaknai sebagai kognitif, afektif dan psikomotorik yang direfleksikan dalam bentuk perilaku berpikir dan berbuat peserta didik, maka alat evaluasi yang digunakan untuk mengukur keberhasilan suatu proses pembelajaran tidak cukup hanya diukur dengan tes tulis. Tes tulis (pencil and paper test) hanya mengukur perubahan perilaku berpikir, belum mampu mengukur perubahan perilaku berbuat peserta didik. Bentuk penilaian seperti penilaian kinerja (performance assessment) merupakan bentuk penilaian alternatif untuk mengukur refleksi kompetensi siswa dalam bentuk perilaku berbuat. Perilaku berbuat dapat dipandang sebagai refleksi kognitif maupun sikap.
Pada tahun ajaran baru ini, sudah diterapkan kurikulum baru secara serentak di Indonesia yang sebelumnya hanya beberapa sekolah yang menjadi pilot project dalam penerapannya, yaitu kurikulum 2013. Lalu pertanyaannya: apakah pada kurikulum 2013 bisa memperbaiki system pendidikan kita? Kita lihat saja nanti bagaimana dinamika perubahan kurikulum pendidikan kita, serta bagaimana perkembangan pendidikan kita, maju atau malah terjadi stagnasi pendidikan.
Selama ini kita masih dominan menerapkan penilaian yang mengukur perubahan perilaku kognitif yang diasosiasikan dengan angka-angka saja sebagai representasi kemampuan menjawab soal tes, bukan representasi perilaku berbuat. Ada siswa yang nilai agamanya mendapat skor “100” tetapi perilaku keberagamaanya tidak sesempurna angka “100”. Lantas, mengapa kita sebagai guru masih mempertahankan model penilaian seperti ini? Bisa jadi ini dikarenakan sistem pendidikan kita yang masih menuntut model penilaian seperti ini.
Lalu apa yang akan terjadi pada peserta didik kita jika guru hanya menerapkan model penilaian yang mengukur perubahan perilaku kognitif saja? Ini merupakan PR bagi kita semua untuk menjawabnya. Kita tidak boleh menutup mata bahwa, peserta didik kita ada sebagian yang kurang memiliki karakter seperti yang diamanatkan oleh kurikulum. Sikap disiplin, jujur, teliti, cermat, santun dan sebagainya harus ditanamkan pada diri peserta didik kita.
TINJAUAN AMANAT UU SISDIKNAS
Perlu diketahui, dalam pasal 13 ayat 1, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa “Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”. Artinya, para orang tua mesti memberikan pendidikan kepada anak sebaik-baiknya dengan cara mengolaborasikan dari ketiganya. Jangan sampai dari ketiganya ada yang timpang. Bukankah pendidikan utama dan yang pertama dimulai dari dalam keluarga itu sendiri? Maka disini pendidikan keluarga merupakan pondasi awal untuk membentuk perilaku serta akhlak moral anak.
Mencermati dinamika perilaku peserta didik saat ini, kepedulian kita bersama sangatlah diperlukan. Lembaga pendidikan baik itu formal, nonformal maupun informal harus berupaya dan berikhtiar dalam pembinaan yang mensinergikan teori/ilmu dan praktik/amal. Dengan pembinaan ini diharapkan peserta didik tidak hanya belajar ilmu-ilmu umum dan agama saja, namun juga disiplin keras untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kata kuncinya: disiplin sebagai modal utamanya, kontinyuitas/istikhomah sebagai pelumasnya. Mengutip pendapat dari el-Fath Rochman, metode yang digunakan untuk mendisiplinkan peserta didik yaitu berjamaah, berdzikir dan belajar (ngaji) secara intensive yang pada akhirnya akan melahirkan satu proses latihan pembiasaan diri. Al-insaanu ibnu awaaidihi (manusia cenderung melakukan apa yang menjadi kebiasaanya). Disinilah perilaku terbentuk karena pembiasaan yang terus menerus (istikomah). Maka, ini sebagai upaya mensinergikan trias peserta didik : iman-ilmu-amal, atau lebih spesifik tercipta manusia dzikir-fikir-ikhtiar. Manifestasinya mencetak peserta didik yang mampu berdzikir kuat, berpikir cepat dan bertindak tepat. Tiga hal tersebut menjadi pedoman sekaligus tuntunan yang merupakan cara hidup (way of live) peserta didik yang pada akhirnya akan menjadi kebiasaan (habit) diluar tembok sekolah. Finalnya tercapai insan kamil dunia akhirat.
Wallahu a’lambishowab.
Penulis adalah alumni UINSA Surabaya.
Tag : Kolom, opini, pendidikan
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini
Loading...