Jalan Sunyi Liga Askab
blokbojonegoro.com | Wednesday, 03 January 2018 22:00
Oleh: Ichwan Arifin*
There’s no life without sport and no sport without competition (Randeep Hooda). Tidak ada hingar bingar dan kemeriahan yang berlebih. Penonton minim, tidak banyak liputan media massa, serta hadiah pemenang yang ekonomis. Itulah sekilas gambaran kompetisi internal Asosiasi Kabupaten (Askab) PSSI Bojonegoro yang baru saja usai. Gambaran sama mungkin juga terjadi pada kompetisi internal Askab atau Asosiasi Kota (Askot) PSSI di daerah lain.
Anggaran yang minim membuat gelaran kompetisi tidak selalu ideal. Ada juga Askab/Askot yang hanya menggelar turnamen atau bahkan tidak melakukan sama sekali. Hal yang patut diapresiasi, Askab PSSI Bojonegoro cukup konsisten melaksanakan kompetisi internal meskipun dengan anggaran terbatas.
Musim 2017, Askab PSSI Bojonegoro memutar kompetisi dalam dua kelas, yaitu Kelas Utama diikuti 18 klub dan Liga Askab (gabungan kelas 1 dan 2) diikuti 21 klub. PSP Purwosari menjadi juara Kelas Utama sedangkan Liga Askab dimenangkan oleh Leo FC Kanor. Pelaksanaannya juga tidak sepenuhnya menerapkan sistem kompetisi murni, namun dipadukan dengan model turnamen. Yaitu, klub-klub baik Kelas Utama maupun Liga Askab dibagi ke dalam beberapa grup pada babak penyisihan dan kemudian masuk dalam putaran final.
Untuk efisiensi dan kemudahan operasional klub, pembagian grup memperhitungkan aspek wilayah/geografis asal klub. Kelas Utama dibagi menjadi 2 grup (Barat dan Timur) sedangkan Liga Askab menjadi 3 grup (Barat, Tengah dan Timur). Di tingkat grup, diberlakukan sistem setengah kompetisi, kemudian juara grup dan runner up masuk ke babak final.
Di luar kompetisi tersebut, Askab PSSI Bojonegoro juga menggelar kompetisi untuk usia dini seperti U-12, U-15 dan U-17. Kompetisi ini juga sulit menarik perhatian masyarakat maupun para pemangku kepentingan sepakbola. Di Bojonegoro jumlah klub yang punya tim usia dini, apalagi Sekolah Sepakbola (SSB) juga minim. Bagi tim U-15, ruang eksistensi dan ruang berprestasi masih terbantu karena masih ada Piala Suratin bagi pemain usia 15 tahun yang digelar oleh PSSI atau Asosiasi Provinsi (Asprov).
Kompetisi dalam olahraga apapun, apalagi sepakbola merupakan salah satu jalan pembinaan dan meraih prestasi. Dalam perspektif itu, kompetisi internal Askab/Askot seharusnya juga menjadi lahan pembinaan dan pencarian pemain-pemain berbakat, terutama yang bermain di level kabupaten dan desa. Mungkin publik tidak pernah tahu jika dibanyak daerah, terdapat potensi pemain berbakat namun jauh dari sorotan media. Jika tidak ada roda kompetisi, pemain-pemain tersebut tidak akan pernah ditemukan. Dulu kita mengenal Yonas Sawor, Adolf Kabo pemain timnas dari Manokwari. Contoh lainnya, Tulehu, kecamatan kecil di Maluku Tengah merupakan “penghasil” pemain sepakbola berbakat. Mustadi Lestaluhu, pemain terkenal di era Galatama adalah salah satu produk Tulehu. Terkini, Desa Mojodelik, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro juga melahirkan pemain profesional sekaligus punggawa Timnas, Samsul Arif.
Melihat cakupan Askab/Askot yang ada di hampir semua kabupaten/kota di Indonesia, tentu menjadi peluang bagi ribuan pemain untuk menunjukkan talentanya, seandainya masing-masing memutar kompetisi secara reguler. Jika itu terjadi, akan menguntungkan klub profesional maupun amatir yang berlaga di Liga PSSI, pengurus olahraga tingkat kabupaten/kota dan provinsi, dan pada akhirnya juga memberikan keuntungan bagi Tim Nasional (Timnas) Indonesia dalam sisi ketersediaan pemain berkualitas.
Sekarang tinggal PSSI dan para pemangku kepentingan sepakbola lainnya mengatur dan mengintegrasikan segala bentuk kompetisi itu menjadi jalur-jalur pembinaan, pencarian bakat sekaligus ruang berprestasi. Koneksitas dengan PSSI melalui liga, program atau jalur lainnya menjadi hal mutlak untuk memastikan keberlanjutan pembinaan.
Pemerintah pusat dan daerah juga harus memberikan perhatian penuh, baik dari sisi kebijakan sistem olahraga nasional yang mampu menjawab problem kekinian (misalnya sistem pembinaan), maupun dalam aspek pendanaan. Karena PSSI merupakan organisasi yang terpisah dari struktur pemerintahan, memiliki statuta sendiri dan jalur organisasi ke FIFA, justru harus dapat menjaga hubungan harmonis dengan pemerintah. PSSI dalam segala level (Asprov, Askab/Askot) memerlukan pemerintah, begitu juga sebaliknya.
Indonesia punya segudang pemain berbakat, namun jika tanpa sistem pembinaan yang tepat, bakat-bakat itu akan hilang. Seperti yang dikemukakan Tim Notke, hard work beats talent when talent doesn’t work hard. Kerja keras dapat mengalahkan bakat jika bakat itu tidak bekerja keras.
Selamat dan sukses untuk Askab PSSI Bojonegoro!
Pecinta Sepakbola
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini