Membangun Literasi Berbasis Desa
blokbojonegoro.com | Monday, 26 February 2018 13:00
Oleh: Usman Roin
Secara geografis, Kabupaten Bojonegoro yang memiliki luas wilayah mencapai 230.706 Ha, potensial sekali untuk menggerakkan literasi ditingkat pedesaan. Bagaimana tidak, berdasarkan data bojonegorokab.go.id, tahun 2016 saja secara administratif Bojonegoro memiliki 28 kecamatan, 419 desa dan 11 kelurahan. Maka jelas, banyaknya desa yang dalam perkembangannya bisa bertambah perlu dibranding dari sisi literasi. Sehingga, walau terlihat orang desa, melainkan pemahaman wawasan luar perlu ditunjang seiring dengan gerakan literasi nasional (GLN) yang tahun 2017 lalu dicanangkan oleh Kemendikbud.
Bicara memajukan literasi tingkat desa di Bojonegoro, bagi penulis sudah selayaknya dilakukan. Tujuannya, agar pedesaan tidak selamanya berkonotasi dengan ketertinggalan dan keterbelakangan. Melainkan pedesaan yang cakap dalam kehidupan karena memiliki pemahaman literasi yang baik. Terlebih, Bojonegoro yang sudah menyandang penghargaan sebagai percontohan Pemda yang memiliki Open Government Patnership (OGP) tahun 2016, patut menjadi cermin bersama, bahwa keterwujudan literasi tidak boleh parsial, perlu dilanjutkan action-nya secara masif, guna mengedukasi masyarakat pedesaan menjadi bagian dari partisipan yang cerdas dan dewasa ikut menopang proses pembangunan daerah.
Apalagi bila kemudian dikaitkan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, terdapat sembilan agenda prioritas yang dikenal Nawacita berlandaskan idiologi Trisakti yang mencakup, berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dimana, kesembilan Nawacita pada bidang pembangunan pendidikan dan kebudayaan, oleh Kemendikbud diarahkan untuk merealisasikan poin ke 5, 6, 8, dan 9 yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, meningkatkan produktivitas dan daya saing, melakukan revolusi karakter bangsa, serta memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Untuk mencapai itu, pengembangan dan penguatan karakter melalui kegiatan-kegiatan literasi merupakan upaya menyeluruh yang dilaksanakan melalui pembangunan ekosistem pendidikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Tentang literasi sendiri (baca: paduan GLN, 2017:4), bukan hanya sekedar ngomong melek membaca, tetapi juga disimpulkan sebagai kemampuan memanfaatkan hasil bacaan tersebut untuk kecakapan hidup pembacanya. Jika substansi makna literasi demikian, kecakapan hidup yang baik itu cocok bila diprioritaskan di pedesaan. Dasarnya adalah, agar orang pedesaan mampu membangun kebangkitan diri, baik secara nalar dan sisi perekonomian, melalui pemahaman yang baik –positif– berbagai informasi kekinian, bisa diakses dari internet. Jika demikian adanya, literasi dalam konteks baca-tulis lagi-lagi menjadi salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Guna mewujudkan itu, hadirnya revolusi digital telah memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan manusia, sehingga mampu mengubah sendi-sendi kehidupan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. Hal itu ditandai dengan lahirnya fenomena abad kreatif (abad ke-21) yang menempatkan informasi, pengetahuan, kreativitas, inovasi, dan jejaring sebagai sumber daya strategis yang tidak hanya berpotensi positif, tetapi juga negatif. Mengutip asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia tahun 2016 merilis data, bahwa 65% dari 132,7 juta pengguna internet berada di Pulau Jawa, dan 69,8% pengguna internet adalah pelajar yang juga berpotensi mengakses isi dan fitur-fitur negatif.
Data yang diperoleh tersebut menunjukkan, bahwa 40% pengguna internet mengakses internet lebih dari tiga jam per hari. Data tersebut juga mengindikasikan, bahwa mengakses internet sudah menjadi kebutuhan pokok yang hampir sama pentingnya dengan makan dan minum. Jika demikian adanya, bicara adaptasi teknologi, generasi zaman now adalah “aktor” yang bisa berperan dalam mencari hingga mengeksplor informasi terkait sisi edukatif pedesaan sebagai lokal wisdom, untuk diangkat agar bisa memberi manfaat secara luas. Wujudnya, bisa kerjasama dengan Kepala Desa sebagai pengambil kebijakan ditingkat bawah untuk membuat website sebagaimana yang sudah gencar dilakukan ditingkat Kecamatan.
Selain itu, ketersediaan perpustakaan kiranya perlu direalisasikan setiap desa. Tujuannya dalam rangka menggerakkan tradisi membaca melalui hadirnya “pustaka desa” yang dibentuk dan diciptakan berbasis desa. Tidak lain, agar keberadaan dana desa tidak sepenuhnya dialokasikan ke sektor fisik saja, melainkan juga perlu dipikirkan pada ketersediaan sarana baca berbasis masyarakat, sebagai media pembinaan sumber daya manusia (SDM), yang berdikari secara ekonomi dan memperkuat pengembangan karakter berkebangsaan berbasis lokal.
Agar semua hal itu terwujud, tidak ada salahnya bila kita perlu menunggu keterwakilan dari empat kandidat Cabup dan Cawabup Kota Ledre ini. Mana yang punya prioritas pencerdasan melalui program-program literasi berbasis masyarakat (baca: pedesaan), sebagaimana ditegaskan pada poin 1 dan 5, yakni memberikan keteladanan berliterasi kepada seluruh warga daerah, serta membangun sarana dan prasarana penunjang GLN di tingkat daerah. Semoga ada yang merealisasikannya!
*Penulis adalah pegiat literasi dari Kec. Balen, Pengurus Majelis Alumni IPNU Bojonegoro & Mahasiswa Magister PAI UIN Walisongo Semarang.
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini