Jl. Desa Sambiroto, Kec. Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Tabir Gelap Sejarah 27 Juli 1996

blokbojonegoro.com | Friday, 27 July 2018 16:00

Tabir Gelap Sejarah 27 Juli 1996

Oleh: Ichwan Arifin*

“Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan…Jika kau menghamba pada ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan,” (Wiji Thukul). Suara untuk membuka tabir gelap dalam sejarah pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terus disuarakan. Namun disisi lain, ada pula ketakutan yang menjadi penghambat dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM, termasuk pengungkapan Peristiwa 27 Juli 1996. Potensi bersinggungan dengan orang-orang “kuat” menjadi salah satu faktornya.

Konflik internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI), memuncak pada penyerangan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, 22 tahun silam, menjadi pelatuk meletusnya kerusuhan sosial di Jakarta dan gelombang demonstrasi di kota-kota besar di Indonesia. Serangkaian peristiwa itu kemudian menjadi momentum politik mengakhiri 32 tahun kekuasaan Presiden Soeharto. Karena itu, 27 Juli bukan sebuah peristiwa tunggal berdiri sendiri, namun sangat erat kaitannya dengan serangkaian peristiwa sebelumnya, kejadian sesudahnya serta kondisi subyektif dan obyektif dalam sketsa perubahan sosial politik pada saat itu.

Sebenarnya, konflik bukan hal baru di PDI. Sejak dipaksa dibentuk oleh rejim Orba melalui fusi dari beberapa partai politik pada 1973, konflik selalu terjadi. Desain politik yang dikonstruksi rejim Orba adalah monolitik, otoriter dan membatasi partisipasi politik bermuara dilapisan elite. Keberadaan partai politik dibatasi tiga, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), PDI dan Golongan Karya (Golkar) memudahkan penguasa mengontrol dan menjalankan agenda politiknya tanpa kegaduhan.

Intervensi aparat juga sering terjadi pada agenda-agenda partai politik, seperti kongres, termasuk Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya pada 1993. Penguasa yang tidak suka dengan hasil KLB yang memunculkan Megawati sebagai ketua umum, kemudian mendorong tokoh-tokoh PDI lainnya menggelar Kongres di Medan pada 1996. Hasilnya Soerjadi, mantan Ketua Umum PDI sebelum Megawati, dipilih kembali sebagai ketua umum.

Ada beberapa faktor yang membuat konflik PDI menjadi momentum perubahan politik, antara lain: Pertama, akumulasi krisis kepercayaan rakyat - terutama kelas menengah - terhadap rejim Orba dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi. Pada saat yang sama, gerakan pro demokrasi mencapai titik puncak. Kaum miskin kota juga mengalami kesulitan hidup dalam krisis. Momentum tersebut menjadi ruang menyalurkan kepengapan sosial ekonomi. Sasarannya kelompok minoritas yang menguasai akses ekonomi.

Kedua, persaingan di internal elite penguasa. Soeharto pada awal kekuasaaanya bertopang pada kekuatan militer, khususnya Angkatan Darat (AD) serta Golkar sebagai mesin politiknya. Sejalan dengan kekuasaan yang menua, persaingan di lingkaran elite Soeharto mulai mengeras. Beberapa peristiwa politik sebelumnya seperti Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974, gerakan mahasiswa 1978, merefleksikan konflik diantara para jenderal. Situasi itu juga mendorong menguatnya gerakan perlawanan anti Soeharto.

Ketiga, para tokoh politik yang berseberangan dengan Soeharto dan gerakan mahasiswa memiliki perspektif yang sama dalam menyikapi peristiwa 27 Juli (prolog dan epilognya).  Situasi itu dilihat pula sebagai momentum melakukan perubahan politik lebih radikal.

Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) dalam laporan investigasinya menilai peristiwa itu sebagai pelanggaran berat terhadap HAM. Sejumlah 5 orang tewas, 149 luka-luka dan 23 orang dinyatakan hilang. Kerugian material akibat kerusuhan, pembakaran, perusakan dan mencapai miliaran rupiah.

Meskipun demikian, hingga kini tragedi politik tersebut masih mengisi bidang gelap sejarah. Pergantian rejim selama masa reformasi juga tidak mampu mengusut tuntas siapa “dalang”, aktor-aktor politik yang bermain. Peradilan hanya dapat memproses 5 tersangka (2 anggota militer dan 3 warga sipil). Vonis yang dijatuhkan pun sangat ringan. Penjara 2 bulan untuk 1 terdakwa warga sipil sedangkan yang lain divonis bebas.

Karena itu, momentum peringatan 27 Juli ini harus dimaknai sebagai merawat ingatan dan upaya menolak lupa, sekaligus menjaga konsistensi dan stamina perjuangan penegakan HAM. Dorongan untuk menuntaskan kasus ini, antara lain; Pertama, Pengungkapan kasus ini akan menjawab keraguan rakyat terhadap kehadiran negara dalam menjamin HAM. Pengusutan beragam kasus dugaan pelanggaran HAM lenyap ditelan waktu. Kegagalan mengusut kasus ini berpotensi menyuburkan impunitas yang kontraproduktif dengan penegakan HAM.

Kedua, elite politik yang saat ini seharusnya merasa “berhutang” terhadap penyelesaian kasus 27 Juli. Reformasi membuahkan pergantian rejim sekaligus membawa para elite gerakan masuk dalam pusaran kekuasaan. Karena itu, sepatutnya memiliki tanggungjawab lebih untuk mengusut tuntas.

Bangsa ini idak boleh lagi masuk dalam dosa sejarah yang sama; budaya politik barbar dan kekuasaan tiran. Karena itu, memori kolektif rakyat harus terus dijaga. “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa,” Kata-kata Milan Kundera dalam Novel The book of Laughter and Forgetting, akan selalu relevan dalam perjuangan menegakkan demokrasi dan HAM.

*Penulis adalah alumnus GMNI dan Pasca Sarjana MIP Undip, dapat disapa di Ichwan.arifin.ia@gmail.com

Tag : sejarah, 1996, ham, pdi



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini