Tetap Damai Walau Beda Idul Fitri
blokbojonegoro.com | Thursday, 20 April 2023 20:00
Oleh: Usman Roin *
KINI-saudara kita Muhammadiyah telah lebaran, dan 1 Syawal 1444 H ditetapkan pada Jumat (21/4/23). Adapun pemerintah sebagaimana Hasil Sidang Isbat, menetapkan 1 Syawal 1444 H pada Sabtu (22/4/23). Dan NU sebagaimana ikhbar, 1 Syawal 1444 H pada Sabtu (22/4/23). Perbedaan lebaran tahun 2023 ini, bagi penulis tidak perlu dibesar-besarkan. Yang urgen adalah saling menghormati terhadap penetapan Idul Fitri.
Saling menghormati kenapa digaungkan agar persatuan di tengah perbedaan tetap menjadi cita-cita bersama-sama. Sebagai muslim yang baik, kita persilahkan warga Muhammadiyah lebaran pada tanggal yang ditentukan. Begitu pula, Muhammadiyah juga menghormati bila pemerintah melaksanakan lebaran sebagaimana tanggal yang ditetapkan.
Hormat menghormati kenapa perlu dipupuk, agar perbedaan ini menjadi keindahan. Penulis teringat dengan pendapat Prof. Dr. Umar Shihab dalam bukunya “Beda Mazhab, Satu Islam” (2017:2) mengatakan, bila perbedaan tidak boleh merusak kasih sayang (rahmat). Justru, perbedaan yang terjadi harus dipahami dalam kacamata rahmat, sehingga bisa menjadi kekayaan khazanah Islam dan menjadi pemersatu umat.
Sebagai gambaran, di Dusun penulis sendiri Dusun Ngantulan, Desa Bulu, Kecamatan Balen, saling menghargai riil terjadi. Warga NU menghormati warga Muhammadiyah yang telah mengumandangkan takbir lalu paginya menggelar salat Idul Fitri. Bila ada orang yang meninggal, prinsip mendoakan kepada sesama muslim dikedepankan dengan tetap mengikuti rutinitas tahlil yang digelar warga nahdliyin.
Secuil perilaku menghormati di atas perlulah selalu dipupuk. Agar tidak menganga menjadi jurang pemisah antar sesama umat Islam. Perlu diingat, Islam sebagai agama yang rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) menegaskan kepada mereka yang berbeda agama pun harus menjunjung tinggi kasih sayang.
Tidak sekadar itu, kepada alam semesta dan seluruh mahluk yang ada di dalamnya kasih sayang harus menjadi cita-cita bersama untuk diwujudkan. Apalagi, kok kepada mereka yang berbeda dalam pandangan dan tubuh umat Islam sendiri, memandang perbedaan dengan kacamata sentiment perlulah dihindarkan.
Pada sisi yang lain, menghormati perbedaan kenapa perlu dipupuk agar terwujud kedamaian. Sebagaimana kita mafhum, bagaimana sengsaranya beribadah di tengah negara yang selalu berkonflik. Untuk sekadar beribadah saja was-was. Jangan-jangan kena hujan peluru, atau pembubaran paksa yang justru memunculkan pertikaan persaudaraan yang tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya.
Nikmat kedamaian di tengah perbedaan harus selalu dipupuk. Oleh siap? Tentunya siapa saja yang mengerti akan nilai-nilai perbedaan membawa kepada kedamaian. Pemimpin, cendekiawan, ustaz, tokoh agama, masyarakat, pemuda, penulis, jurnalis bersepakat dan massif memberi edukasi menjaga kerukunan di tengah perbedaan. Dihindari pernyataan-pernyataan provokatif keunggulan diri dan kelompok yang ujung-ujungnya saling melemahkan dan mencela.
Sisi yang lain pula, menghormati di tengah perbedaan perlu dipupuk agar Indonesia yang terkenal dengan aneka ragam bahasa, suku, agama, mampu menjadi miniatur dunia bahwa kedamaian di dalamnya menjadi nomor wahid. Cita-cita besar ini perlu gayung sambut banyak orang dari berbagai latar belakang. Sehingga, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang diartikan “berbeda-beda tetapi tetap satu jua” adalah representasi dari penghargaan terhadap bentu-bentuk perbedaan yang ada.
Islam sendiri ketika kita menengok surah Al-Hujurat: 13, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal,” tegas menunjukkan, bila perbedaan adalah keniscayaan. Bukan hanya dalam perkara agama, melainkan dalam perkara lain seperti gender, suku, bangsa dan lainnya.
Dikarenakan perbedaan sudah menjadi keniscayaan, tidak sepatutnya menjadi penyebab perpecahan. Melainkan kita jadikan jawaban untuk saling mengenal satu sama lain sehingga terbentuk horizon local wisdom ciptaan Allah maupun Islam ala Indonesia khususnya. Terhadap hal ini, Prof. Umar Shihab (2017:6) juga menegaskan, dalam perbedaan kemungkinan untuk bersatu itu ada. Tetapi kalau perpecahan kata beliau, tidaklah demikian.
Terhadap itu pula, mengutip Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya “Memahami Khazanah Klasik, Mazhab dan Ikhtilaf” (2003:177), dari Mahmud Al-Khazandari, ia menyebut fikih perbedaan (figh al-ikhtilaf) justru dengan sebuatan fikih persatuan (fiqh al-i’tilaaf). Sebab, baginya yang menjadi tujuan dalam memahami fikih perbedaan adalah justru untuk mewujudkan persatuan di antara umat Islam.
Melalui secuil ulasan penulis di atas, mari kita pahami, bila Idul Fitri sama-sama kita diperingati 1 Syawal 1444 H/2023 M.
* Penulis adalah Dosen Prodi PAI, Fakultas Tarbiyah, Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI).
Tag : lebaran, idul fitri, perbedaan, islam
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini