Pesan Iman dan Sosial Idul Adha
blokbojonegoro.com | Wednesday, 28 June 2023 20:00
Oleh: Usman Roin *
HARI-ini kita rayakan Idul Adha. Walau ada sebagian sudara muslim kita Muhammadiyah merayakan Rabu (28/6/23), Jemaah Tarekat Naqsabandiyah Deli Serdang, Sumatera Utara, Selasa (27/6/23), serta Jemaah Aolia Gunungkidul, Yogyakarta, pada Senin (26/6/23). Tentu perbedaan itu tidak menyurutkan arti toleransi.
Yang utama, hadirnya peringatan Idul Adha mari dimaknai syukur atas nikmat untuk saling menjaga persatuan. Karena, sebagaimana diungkapkan Syekh Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, hal.138, bila hikmah disyariatkan dua shalat id karena terdapat nilai persatuan yang mulai serta ada kemanfaatan yang lebih besar atau luas.
Terkait dua hal di atas, sebagaimana dawuh poro kiai, habaib, dan ustaz, Idul Adha memiliki sejarah yang agung. Apalagi, setiap tahunnya, kita sebagai umat Islam merayakannya. Idul Adha, -kata pemikir Islam- diperingati sebagai bentuk i’tibar atau proses mengambil pelajaran dibalik kisahnya Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s., yang dalam Al-Qur’an termaktub di surah as-Shafat (37): 99-111.
Melalui kisah tersebut, penulis tidak ingin mengulang sejarahnya, melainkan ingin menyampaikan, dua pesan bijak dibalik Idul Adha yang kita peringati. Pertama, yang bisa penulis sampaikan, adalah pesan keimanan. Pertanyaannya, iman seperti apa yang bisa diambil dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim a.s atas putranya Nabi Ismail a.s?
Dalam bahasa penulis -merujuk berbagai kitab- adalah iman yang total (kamil). Atau totalitas kepatuhan kita kepada Allah Swt sebagai benang merahnya. Allah Swt -melalui pengorbanan Nabi Ibrahim a.s atas putranya Nabi Ismail a.s.- mengingatkan kepada kita semua, bahwa anak hanyalah titipan.
Anak -betapapun mahalnya kita menilai- tidak boleh melengahkan kita, bahwa hanya Allah Swt tujuan akhir dari rasa cinta dan ketaatan. Inilah makna “totalitas” kepatuhan kepada Allah Swt yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim a.s.
Lalu, bagaimana kemudian menerapkan pada zaman kekinian? Terhadap syariat yang sudah kita ketahui, kita jalankan dengan penuh kemantapan, tidak ada rasa janggal (syak/penuh kesangsian sedikitpun) saat mengamalkan atau melaksanakannya.
Adapun terhadap syariat yang belum kita ketahui, kita memiliki motivasi tinggi untuk belajar mendalami, melalui aneka majelis ilmu, baik formal dan non formal. Sehingga antara yang sudah diketahui, dikuatkan oleh pengetahuan keislaman baru, hasil kajian majelis ilmu yang diikuti.
Kedua, adalah pesan sosial. Pesan sosial yang bagaimana? Mengorbankan sebagaian harta dengan membeli hewan untuk dikurbankan pagi hari ini, kemudian dagingnya kita bagikan kepada sesama, itulah kesimpulannya.
Perlu diketahui, tidak semua dari tetangga kita, bisa menikmati kelezatan makan setiap saat. Justru melalui kurban inilah, pemerataan menikmati “daging kurban” itu terwujud. Semangat “berbagi dan memberi” terasah, dan dalam jangka panjang mewujud menjadi budaya keseharian di lingkungan terdekat kita. Jika perilaku sosial kedermawanan itu hadir di sekitar kita, tentu orang yang kekurangan menjadi tercukupi.
Begitu pula, para aghniya (orang yang kaya) akan makin tersadar, bahwa kekayaan yang dimiliki hanya titipan. Firman Allah, surah ali-Imran (3):14, menunjukkan secara gamblang yang artinya: “Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.
Ayat di atas, kata mufassir, bila dihubungkan dengan peringatan Idul Adha, memberi pelajaran bijak. Apa itu? Nabi Ibrahim a.s, memberi pelajaran penting, jangan sampai kita tertipu dengan kekayaan yang sifatnya sesaat. Nabi Ibrahim a.s melalui peringatan Idul Adha ini, memberi cara pandang jauh dan hakiki, yakni kehidupan akhirat.
Lalu dengan apa? Harta benda yang kita miliki, dan hanya titipan, kita gunakan berkurban. Ini menunjukkan, sikap sadar diri, bahwa Allah Swt adalah pemberi semua yang kita miliki. Karena harta kita itu pemberian-Nya, berkurban adalah sarana tepat menyisihkan harta untuk kita bagikan kepada sesama berwujud daging kurban.
Sebagian ahli pikir Islam, juga tidak lupa memberi cara pandang terkini terhadap pelajaran sosial hadirnya iduladha. Bahwa, sedekah daging hewan kurban hanyalah “simbol” dari makna kurban yang hakiki, agar kemudian menjadi cerminan kepribadian kita. Lalu apa maknanya?
Bentuk aneka pengorbanan -harta benda, tenaga, pikiran, waktu, dan lain sebagainya- diharapkan bisa terwujud nyata dalam laku kehidupan sosial. Coba kita bayangkan, bila masing-masing dari kita sekadar memenuhi nafsu dan kebutuhan sendiri, tanpa peduli dengan kebutuhan orang lain, alangkah kacaunya kehidupan ini.
Terlabih pada kehidupan yang luas, kita sebagai manusia, perlu mengorbankan sedikit waktu -sebagai misal- untuk mengantre dalam sebuah loket pejualan, bersedia menghentikan sejenak kendaraan saat lampu merah menyala, dan lain sebagainya. Aneka bentuk pengorbanan itu tidak lain untuk mengalahkan nafsu “serakah” kita.
Apalagi, keserakahan hanya layak dimiliki para binatang. Di sinilah perlunya kita “menyembelih” ego kebinatangan kita, untuk menggapai kedekatan (qurb) kepada Allah. Sehingga, makna terdalam kurban sebagai penguatan solidaritas sesama, adalah berwujud ketulusan memberi dan murni mengharap rida Allah Swt sebagai niat hakiki yang bisa kita petik kelak di hari akhir.
Akhirnya, totalitas kepatuhan kepada Allah Swt, serta kepekaan sosial berwujud pribadi dermawan, kita bawa pulang menjadi oleh-oleh diri pada Hari Raya Idul Adha ini, agar kemudian mewujud sebagai karakter diri yang saleh vertikal-sosial. Amin ya rabbal ‘alamin.
* Penulis adalah Dosen Prodi PAI, Fakultas Tarbiyah, Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI).
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini