Menyemai Asih, Merawat Asuh, Merajut Asah Menuju Terbitnya Generasi Fajar
blokbojonegoro.com | Saturday, 20 April 2024 12:00
Oleh: Adinda Alfiranda Zahroh*
blokBojonegoro.com - Dunia memasuki era society 5.0 yang ditunjukkan dengan tranformasi teknologi, hal tersebut menjadi dua sisi magnet yang berbeda. Bisa saja membawa suatu progresivitas kemajuan sebuah peradaban atau justru akan mendatangkan kemrosotan bencana peradaban manusia.
Adanya perubahan jaman dengan segala hal yang dibawanya pasti tidak dapat dihindari, karena kemajuan akan terus berproses seiring dengan perkembangan kecerdasan manusia. Pendidikan dimulai sejak manusia dilahirkan dibumi, namun terdapat pendapat lain bahwa pendidikan dimulai sejak berada dalam kandungan.
Pendidikan merupakan sebuah proses memanusiakan manusia, artinya manusia didudukan sebagai makhluk hidup dengan segala keunikan yang dimilikinya serta tidak mereduksi jika manusia sebuah objek yang tidak memiliki diri. Dari asumsi tersebut bisa disimpulkan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan manusia yang berbudaya.
Sebuah peradaban bangsa akan semakin baik ketika manusia sebagai subjek utamanya juga semakin baik, dalam artian mampu menjadi manusia sejati dengan kecerdasan dan kehalusan budi pekerti luhur.
Menjadi guru seperti menjadi petani yang memiliki tanggung jawab moral untuk mengawasi, memberi tanaman vitamin melalui kegiatan tambahan dan menjadi sahabat sebagai sesama manusia yang saling mencintai dan menyayangi. Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia melalui filosofi dasar ajar pendidikan yaitu ”Asih, Asuh, Asah” menciptakan sebuah landasan untuk guru dalam membentuk karakter peserta didik.
Merenungi filosofi tersebut memberikan pengetahuan tentang hakikat pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan tetapi membentuk karakter, dan memberikan kasih sayang terhadap peserta didik.
Asih yang memiliki arti saling mengasihi dan saling menyanyangi. Masih sering dijumpai corak dialektika antara guru dan peserta didik yang menerapkan hirarki absolut, Soe Hok Gie pernah mengatakan guru bukan dewa yang selalu benar dan murid bukan kerbau yang dicocok hidungnya. Kasus kasus kekerasan seksual yang terjadi banyak yang dilatar belakangi oleh pola ketundukan peserta didik, utamanya yang berada di lingkungan pesantren.
Pelaku kejahatan seksual seringkali memanfaatkan relasi kuasa yang dimilikinya untuk memperdayai peserta didik, di sisi lain peserta didik yang menjadi korban juga tidak berani untuk melaporkan pelaku. Hal ini juga dilatar belakangi adanya relasi kuasa yang kuat absolut dalam habitus pendidikan di lingkungan tersebut.
Bagaimana menerapkan ”Asih” secara baik dan proporsional merupakan suatu tantangan besar dalam pendidikan, khususnya bagi pendidik. Bagaimana menerapkan ”Asih” dalam berinteraksi dengan peserta didik agar senantiasa dialektis dan terjaga dalam koridor tujuan pendidikan.
Rasulullah Muhammad SAW sebagai utusan yang bertugas menyampaikan Islam, menyempurnakan akhlak manusia telah memberi teladan kepada kita dengan tidak adanya satupun ayat atau hadist yang menyebutkan Rasulullah SAW bersama murid-muridnya atau bersama anak buahnya, yang ada hanyalah Rasulullah SAW bersama para sahabatnya.
Kemudian Asuh adalah perilaku kerelaan hati dalam membimbing, menjaga, memperhatikan peserta didik. Hal ini juga saya jumpai saat saya mengajar di sekolah swasta di Bojonegoro. Ada beberapa guru yang malas membimbing dan memperhatikan peserta didiknya. Ketika peserta didik melanggar sebuah tata tertib, guru langsung memberikan sanksi tanpa adanya sebuah pengertian atau bimbingan khusus terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
Padahal implementasi ”Asuh” seharusnya menjadikan guru sebagai seseorang yang memiliki ketulusan hati dalam membimbing peserta didiknya, dengan kata lain setiap tindakan yang diberikan kepada peserta didik baik apresiasi pujian maupun hukuman hendaklah dengan sifat kepengasuhan dalam rangka mendidik atau menjadikan peserta didik menjadi lebih baik.
”Asah” memberi sebuah pengertian bahwa pembelajaran bukan sebuah transfer pengetahuan saja tetapi juga membentuk pemikiran yang kritis. Saya juga pernah menjumpai kejadian dimana teman saya yang menjadi guru itu sedang memarahi salah satu peserta didik ketika dia mulai membantah teori yang sedang dijelaskan oleh guru. Sebagai guru yang baik seharusnya dia tidak marah, justru menimbulkan rasa bangga ketika peserta didik memiliki sikap kritis.
Saya pernah nonton di Channel Youtube Dr. Indrawan Nugi 19/9/2023 mengundang Merry Riana sebagai guest star. Disitu Mbak Merry berpendapat bahwa pendidikan seharusnya tidak difokuskan pada skill set saja tetapi guru juga harus menanamkan growth mindset. Semua peserta didik memiliki kemampuan yang berbeda-beda dibidang tertentu. Belum tentu yang mendapat nilai rendah di pelajaran matematika, berarti peserta didik tidak cerdas. Tapi bisa saja dia cerdas di mata pelajaran lainnya.
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara diilustrasikan sebagai upaya untuk meningkatkan martabat manusia. Pentingnya mendukung perkembangan individu sesuai dengan bakat dan potensi yang dimilikinya.
Dalam konteks menerapkan nilai asih, asuh, asah yang telah menjadi pilar kekuatan, semangat, pengikat, dan panduan dalam pendidikan. Jika konsep ini dijalankan dengan efektif, maka terbuka harapan bahwa pembelajaran tidak hanya menjadi transfer of knowledge, tetapi juga transfer of value. tidak hanya menciptakan peserta didik yang cerdas, tetapi juga membentuk karakter peserta didik yang berakhlak mulia.
*Peserta PPG Prajabatan Gelombang 2 jurusan Pendidikan Bahasa Jawa, Universitas Negeri Surabaya (On going).
Tag : Pendidikan
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini