Membangun Ketahanan Pangan dari Kearifan Lokal
blokbojonegoro.com | Monday, 26 May 2025 09:00
Pengirim: Choirul Anam*
blokBojonegoro.com - Mari kita mulai dengan satu pertanyaan sederhana: kapan terakhir kali Anda makan nasi? Mungkin tadi pagi. Atau siang ini. Dan hampir pasti, besok pun Anda akan makan nasi lagi. Tapi pernahkah Anda bertanya dari mana beras itu berasal? Siapa yang menanamnya? Dan bagaimana kita memastikan bahwa anak-cucu kita juga bisa makan nasi dari tanah air sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan itu membawa kita menyusuri kembali jejak panjang sejarah pertanian Indonesia, terutama momen besar yang disebut Revolusi Hijau. Sebuah istilah yang terdengar seperti penyelamat di masa lalu, namun kini juga menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli pertanian, lingkungan, dan pegiat ketahanan pangan.
Kilas Balik: Revolusi Hijau, Solusi atau Sekadar Tambal Sulam?
Revolusi Hijau atau dalam konteks Indonesia, mulai digaungkan sejak era Orde Baru pada akhir 1960-an merupakan upaya sistematis untuk meningkatkan produksi pangan, terutama padi, dengan cara memperkenalkan varietas unggul, pupuk kimia, pestisida sintetis, dan mekanisasi pertanian. Tujuan utamanya: swasembada pangan.
Dan memang, dalam waktu relatif singkat, Indonesia pernah mencatat prestasi swasembada beras pada 1984. Soeharto bahkan menerima penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia). Namun, seperti kata pepatah, tak semua yang berkilau itu emas.
Dampak Revolusi Hijau ternyata bukan hanya panen melimpah. Tapi juga mulai rusaknya ekosistem tanah, ketergantungan petani pada input luar (pupuk, benih, pestisida), punahnya varietas lokal, dan terkikisnya kearifan lokal dalam bertani. Studi dari Altieri (2004) dalam bukunya Agroecology menyebut bahwa Revolusi Hijau, meskipun berhasil meningkatkan produksi, justru menciptakan ketimpangan struktural dan degradasi lingkungan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ketahanan Pangan: Lebih dari Sekadar Urusan Perut
Ketahanan pangan bukan cuma soal tersedia atau tidaknya beras di pasar. Ia adalah soal kedaulatan: apakah kita mengendalikan produksi, distribusi, dan konsumsi pangan kita sendiri? Apakah petani masih menjadi subjek yang dihormati, atau sekadar buruh murah dalam sistem pertanian industri?
Menurut definisi FAO, ketahanan pangan terjadi ketika seluruh masyarakat memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan hidup aktif dan sehat. Di sini, bukan hanya ketersediaan, tapi juga akses dan kualitas menjadi kunci.
Realitas di lapangan cukup mencemaskan. Data BPS menunjukkan bahwa luas lahan pertanian terus menyusut akibat alih fungsi menjadi kawasan industri dan perumahan. Sementara itu, usia petani semakin menua. Anak-anak muda enggan bertani karena dianggap kotor, miskin, dan tidak menjanjikan masa depan. Ironis, bukan? Negeri agraris yang petaninya pun enggan bertani.
Jalan Pulang: Kembali ke Pertanian Berbasis Kearifan Lokal
Lantas, adakah jalan keluar? Tentu ada. Dan jawabannya bisa jadi sudah kita miliki sejak lama: pertanian berbasis kearifan lokal. Di berbagai pelosok Nusantara, masih hidup sistem pertanian tradisional yang terbukti tangguh dan lestari. Sebut saja subak di Bali, ladang berpindah yang berkelanjutan di Kalimantan dan Papua, hingga sistem tumpangsari di Jawa.
Model-model ini bukan sekadar warisan nenek moyang, tapi juga bentuk praktik agroekologi yang kini justru diakui dunia sebagai solusi masa depan. Agroekologi memadukan ilmu pengetahuan modern dengan kearifan lokal, menekankan diversifikasi tanaman, penggunaan pupuk organik, dan keterlibatan komunitas dalam pengambilan keputusan.
Peneliti pangan seperti Vandana Shiva dalam bukunya Soil Not Oil menegaskan bahwa masa depan pangan dunia bukan terletak pada korporasi dan bibit rekayasa genetika, melainkan pada petani kecil yang berdaulat atas benih dan tanahnya sendiri.
Menyusun Ulang Peta Ketahanan Pangan Nusantara
Jika kita ingin memastikan bahwa anak-anak kita masih bisa makan nasi dari sawah sendiri, maka ada beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh:
- Perlindungan Lahan Pertanian
Pemerintah perlu benar-benar serius menegakkan UU Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Jangan sampai sawah diubah menjadi pabrik, dan akhirnya kita mengimpor beras dari negeri orang.
- Dukungan untuk Petani Muda
Insentif, pelatihan, akses teknologi dan pasar harus diarahkan pada regenerasi petani. Pertanian harus dijadikan sektor yang keren, cerdas, dan menguntungkan.
- Diversifikasi Pangan Lokal
Jangan hanya nasi. Kita punya jagung, singkong, sagu, sorgum—semua adalah pangan lokal yang bernutrisi dan bisa mengurangi ketergantungan pada beras.
- Reformasi Sistem Pangan
Rantai distribusi yang terlalu panjang membuat petani rugi dan konsumen mahal. Model distribusi berbasis koperasi dan pasar lokal harus diperkuat.
- Pendidikan Pangan Sejak Dini
Ajarkan anak-anak tentang asal-usul makanan mereka. Kunjungan ke sawah dan kebun, bukan hanya ke mal.
Penutup: Menanam Harapan, Menuai Masa Depan
Revolusi Hijau mungkin telah menyelamatkan kita dari kelaparan di masa lalu, tapi untuk masa depan, kita perlu revolusi yang berbeda. Bukan yang serba kimia dan mesin, tapi yang berakar pada tanah, pada kearifan lokal, dan pada relasi manusia dengan alam.
Ketahanan pangan Nusantara bukan soal mencetak sawah baru, tapi soal menyuburkan kesadaran kolektif: bahwa makanan bukan sekadar komoditas, tapi warisan dan kehormatan.
Jadi, jika Anda nanti makan nasi lagi, ingatlah bahwa di balik sebutir beras, ada cerita panjang tentang negeri ini—tentang pilihan-pilihan besar yang akan menentukan: apakah kita akan tetap menjadi bangsa pemakan hasil bumi sendiri, atau penonton di ladang pangan negeri orang.
*Ketua PAC GP Ansor Balen.
Tag : Petani, padi, petani indonesia
* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini