Reporter: M. Anang Febri
blokBojonegoro.com - Tak banyak orang yang pulang ke kampung halaman dengan membawa misi sebesar yang dibawa Sulaiman, warga Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, Bojonegoro. Pada momentum Hari Guru tahun ini, kisahnya layak menjadi pengingat bahwa seorang guru tidak hanya mengajar di kelas, tetapi juga membuka jalan pendidikan di tempat yang belum memilikinya.
Berawal Dari Keprihatinan
Dulu, anak-anak Desa Napis seperti yang ada di Dusun Dalplangu, harus berjalan hampir dua kilometer menuju sekolah dasar terdekat. Jalanan rusak, mbelekuk, bahkan tak jarang anak-anak harus digendong ketika menuju TK di dusun lain. Banyak keluarga akhirnya memilih untuk tidak menyekolahkan anak mereka usia dini.
Melihat situasi itu, muncul kegelisahan dalam diri Sulaiman—saat itu baru kembali dari nyantri tujuh tahun di Pondok Pesantren Subulul Huda, Banyuwangi.
"Kalau hujan, anak-anak tidak datang ngaji. Tapi pendidikan formal bisa lebih stabil," ungkap Sulaiman. Kegelisahan itulah yang kemudian berkembang menjadi tekad.
Guru yang Menjadi Pionir
Pada tahun 2012, ia memberanikan diri membuka RA (Raudhatul Athfal) pertama di desa itu. Bimbingan datang dari sahabat sesama penggerak PAUD, Bu Umi Raisah, yang memberi pesan sederhana:
"Wis gampang wis, dang golek murid."
Sulaiman pun berkeliling kampung mencari siswa. Hasilnya di luar dugaan—24 anak mendaftar sebagai murid pertama. Padahal saat itu ia sendiri masih ragu apakah ia sanggup mengajar anak-anak usia dini.
Keraguan itu akhirnya dijawabnya sendiri dengan kembali kuliah di UNIROW Tuban dan lulus PGPAUD pada 2016. Semua dilakukan agar ia bisa menjadi guru yang betul-betul siap.

Dari RA ke MI: Perjuangan Tiada Henti
Dorongan untuk mendirikan MI muncul dari KKM dan Kemenag, namun Sulaiman menunggu sampai RA memiliki gedung sendiri. Pada 2018, gedung baru berdiri, dan langkah berikutnya pun diambil, yakni mewujudkan MI Silahul Muslimin.
Tantangan berikutnya tidak kecil. Untuk mendirikan MI, harus ada tanah wakaf. Sulaiman berkeliling mencari lokasi sesuai syarat. Banyak yang kurang tepat, banyak pula yang terlalu jauh. Sampai akhirnya ditemukan tanah seluas 1.300 meter lebih, seharga 100 juta rupiah—uang yang hanya bisa dibayar dengan pinjaman.
Namun bagi Sulaiman, pendidikan layak diperjuangkan meski berat. Tanah itu akhirnya diwakafkan, dan MI Silahul Muslimin berdiri.
Guru dan Harapan di Desa
Kini MI Silahul Muslimin memiliki 51 murid, dengan 7 guru dan tenaga pendidik. RA yang lebih dulu berdiri kini memiliki 36 murid dan 5 guru. Di tengah medan yang dulu sulit, tumbuh lembaga pendidikan yang menjadi harapan masyarakat.
Bagi Sulaiman, madrasah ini bukan sekadar sekolah. Ini adalah ikhtiar dakwah, ikhtiar perubahan, dan ikhtiar mencerdaskan generasi desa yang dulu minim akses.
"Dulu masyarakat sini awam soal agama. Semoga lewat madrasah ini bisa ikut tertolong,” katanya merapal harap.
Nama Subulul Huda dipilih sebagai penghormatan kepada pesantren tempatnya menimba ilmu. Hubungan dengan gurunya masih terjalin erat—bahkan anaknya kini juga belajar di sana, meneruskan jejaring keilmuan yang sama.

Guru Tidak Hanya Mengajar—Mereka Membangun Peradaban
Pada Hari Guru ini, kisah Sulaiman mengingatkan bahwa guru bukan hanya mereka yang berdiri di depan kelas. Ada guru yang membangun gedung ketika belum ada sekolah, guru yang mengetuk pintu rumah mencari murid, guru yang meminjam uang demi tanah wakaf, guru yang pulang kampung membawa misi, bukan kemapanan.
Dari jalan mbelekuk di Desa Napis hingga berdirinya MI Silahul Muslimin, perjuangan seorang guru telah mengubah wajah pendidikan sebuah desa.
Hari Guru bukan hanya hari untuk memberi ucapan—tapi hari untuk mengingat bahwa perubahan besar sering dimulai dari langkah kecil seorang guru di desa terpencil. [feb/mad]
0 Comments
LEAVE A REPLY
Your email address will not be published