Jl. Desa Sambiroto, Kec. Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Email: blokbojonegoro@gmail.com

Jalan Lurus Kang Samin (12)

Racun Manusia

blokbojonegoro.com | Thursday, 08 June 2017 06:00

Oleh: Muhammad A. Qohhar*

blokBojonegoro.com - Ia termenung sendiri. Tidak mengetahui harus berbuat apa. Dunia seperti berhenti berputar. Semua serba gelap dan susah. Musibah masih saja mengintainya silih berganti. Berat da bertambah berat. Sesekali menggelengkan kepala untuk membuang pening, namun hal itu tidak membantu.

Kang Samin tidak bisa berpikir jernih. Ia berdiri dari tempat duduk yang terbuat dari bambu yang dipecah menjadi beberapa bagian dan ditata sejajar hingga menjadi enam buah. Warga lebih banyak menyebut galar. Gubuk di sudut lahan Solo Valley yang ditanaminya jagung itu sepi. Hanya tampak dirinya seorang diri.

"Ya Allah, ujian apa lagi yang engkau timpakan kepada hambaMu ini. Ampunilah dosa yang kami sengaja atau tidak."

Beberapa saat berdiri mematung, Kang Samin duduk kembali. Ia mengeluarkan obat oles dari saku baju koko lusuh sebelah kanan. Kepala bagian kanan dan kiri, serta tengkut atas mulai diolesi. Hangat mulai menjalar. Ia berharap pening di kepalanya bisa hilang, atau mungkin berkurang sedikit.

Dari kejauhan, suara teriakan Kang Sabar terdengar nyaring. Semakin lama bertambah mendekat. Tampak ia mengamati sekitar tepi Bengawan Solo. Setelah itu berpindah ke jagung-jagung yang setinggi orang dewasa. Bahkan ada yang lebih tinggi, karena begitu subur tumbuh di tanah yang bercampur lempung sungai.

"Kang Samin... Kang... Dimana kamu?" Kang Sabar memanggil nama karibnya itu beberapa kali. Bahkan bertambah keras.

Kang Samin hanya terdiam. Ia tidak menjawab teriakan orang yang sangat dikenalnya itu. Sebab mereka bersahabat sejak kecil dan tumbuh bersama-sama di daerah aliran sungai terpanjang di Pulau Jawa tersebut. Walaupun kehidupan mereka tidak berlebih, namun mereka juga tidak termasuk kekurangan. Untuk makan keluarga, tanaman padi di sawah dan sayur mayur maupun palawija di telatah (sebutan tanah di tepi bengawan) sudah sangat cukup dan bahkan sebagian dijual untuk ditukarkan lauk pauk maupun kebutuhan lain.

"Dimana to Kang Samin ini, biasanya santai di tepi bengawan ini, kok tidak tampak." Kang Sabar dengan menggerutu menoleh ke kanan dan kiri.

Sebenarnya, posisi mereka cukup dekat, karena tanaman jagung yang cukup tinggi dan tempat berdiri Kang Sabar di jalan kendaraan pengangkut pasir dari bengawan, membuat Kang Samin tidak terlihat. Untuk sampai di gubuk tempat Kang Samin menyendiri, ada jalan setapak dengan tangga terbuat dari bambu untuk naik dari jalan truk pasir. Setelah sampai di atas, jalan tersebut membelah tanaman jagung yang rimbun dan hanya sekitar lima sampai enam meter sudah sampai.

Tidak mendapat jawaban, Kang Sabar bergegas menaiki anak tangga menuju ke gubuk Kang Samin. Sampai di sisi sebelah kanan teras gubuk, Kang Sabar hanya bisa menggelengkan kepala. Ia melihat sahabatnya itu tengah muram dan pandangannya kosong ke depan, yakni menuju jagung. Karena, bengawan tidak bisa terlihat langsung.

"Kang, kamu kenapa? Kelihatannya kok tengah sedih sekali? Apa yang mengganggu pikiran kamu?" Kang Sabar mencoba menyibak keheningan di tepi sungai terpanjang di Pulau Jawa tersebut.

"Aku bingung saja, Sabar. Manusia selalu diuji dengan fitnah dan kedengkian," jawab Kang Samin lirih.

Ia mulai bercerita tentang sesuatu hal yang dialami beberapa waktu belakangan ini. Sebab, tidak terhitung lagi ia berusaha tetap berbuat baik dengan orang-orang di sekitarnya, tetapi tanggapan mereka tetap belum positif. Kang Samin menyadari jika manusia hidup selalu akan dalam masalah dan perlu mencari solusinya.

"Bahkan, teman sendiri rela menjadi racun di hidupku dengan mengabarkan ke warga hal-hal yang jauh dari kebenaran. Benar-benar gila dunia ini," ceritanya dengan sambil menggaruk kepalanya, walaupun sebenarnya tidak gatal.

Mendengar cerita tersebut, Kang Sabar tercengang. Ia juga 'gagal paham' dengan model manusia sekarang yang lebih mengutamakan dengki, daripada mensyukuri. "Sampai segitunya Kang? Berarti teman Kang Samin itu tipikal orang yang senang lihat saudara susah dan sebaliknya, susah lihat saudara senang," celetuk Kang Sabar dengan mimik muka merah seperti marah.

"Harusnya orang seperti itu dikucilkan saja di puncak Himalaya atau dibuang di tengah Bengawan Solo saja. Sebab, tidak pantas hidup dan hanya menjadi racun manusia." 

Kang Sabar yang sekarang marah. Sebab, ia habis pikir dengan model manusia yang tidak bisa diajak berteman dengan tulus. Ego yang dikedepankan dan kesenangan pribadi diutamakan. 

"Sabar, kenapa malah kamu yang tidak bisa sabar. Sudah-sudah, ini waktunya puasa. Tidak boleh marah-marah," hardik Kang Samin sambil memandangi sahabatnya itu dalam-dalam.

Hening. Angin mulai berhembus pelan, tetapi cuaca panas juga bertambah menyengat. Kang Samin berdiri dan diikuti Kang Sabar. Keduanya beranjak menuju ke surau untuk melaksanakan salat Dhuha. Matahari juga belum seberapa tinggi. Setelah itu keduanya melanjutkan membaca Alquran, terutama surat Arrahman dan Waqiah. Pikiran Kang Samin diendampkan dan ia banyak menyebut nama Allah dan meminta maaf atas segala khilaf. [mad]

*Reporter blokMedia Group (www.blokBojonegoro.com & blokTuban.com)  

Tag : religi, ramadan, jalan lurus, kang samin



* Ingin Beli / Transaksi, Klik di Bawah Ini

Logo WA Logo Telp Logo Blokbeli

Loading...

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Gunakanlah bahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.



Berita Terkini